Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

Percikan Mata Batin Seorang Sufi


Judul Buku : Percikan Cinta dari Surga
Penulis : Geidurrahman El-Mishry
Penerbit : himmah Kelompok Grafindo, Jakarta
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 254 hal
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Pada prinsipnya, manusia diciptakan untuk mengabdikan dirinya kepada tuhan, namun pengabdian tidak semulus apa yang dibayangkannya. Banyak krikil yang menghalangi manusia sampai kepada-nya. oleh sebab itu, manusia perlu mengasah hatinya dengan selalu bertaqarrub kepada tuhannya. Dimensi terpenting dalam pergulatan hamba spiritual hamba mencapai tingkatan dan menjadi tujuan hakiki.
Dengan demikian, setiap dari kita menginginkan kehidupan yang lebih mulia dan bermakna. Hal demikian yang menjadi tujuan hidup manusia, tak lain karena semata ingin mendapat ridha Allah. Keikhlasan dalam beribadah menjadi kata kunci dalam upaya meraih ridha Allah. Kalau ridha Allah sudah kita dapat, apapun akan kita raih, termasuk hidup mulia dan nikmat surga kelak di akhirat.

Nah, dalam buku yang berjudul “percikan Cinta dari surga” ini. Akan mengantar kita pada hal yang demikian, banyak hikmah yang diungkapkan didalamnya. Misalnya tentang terkabulkanya do’anya tukang sapu oleh Allah yang diceritakan oleh Muhammad bin Muhandist, pada suatu malam sang muhandist berada dimasjid, tiba-tiba datang seorang berkulit kecoklat-coklatan, mengenakan kain sarung, dan pada lehernya tergantung kain yang lebih kecil. Lalu laki-laki itu berdo’a agar Allah menurunkan hujan “Wahai rabbku. Para penduduk Madinah kota-Mu telah keluar dan meminta hujan, namun engkau tidak mencurahkan hujan. Kini aku bersumpah atas Mu, turunkanlah hujan”
Lalu suara guntur diiringi hujan yang mulai menjatuhi bumi. Tatkalah itu Muhanndist tadi terkaget-kaget, dari saking penasarannya ia membuntutinya tiap kali habis sembahyang shubuh, yang selalu keluar setelah salam tanpa berdzikir terlebih dahulu.

Sampai dirumahnya. Langsung sang muhandist disambut oleh yang berdo’a dimasjid tadi dan menanyakan tentang apa yang bisa dibantu tapi sang muhandist men jawab sekaligus bertanya,”apa benar anda yang bersama saya pada suatu malam itu”.Tiba-tiba yang ditanya raut wajahnya berubah kerah-merahan dan mengumpat sang Muhannadist, kemudian muhanndist meninggalkannya.

Dari secuil cerita diatas, dalam diri kita akan terbersit sesobek hikmah yang mulai luntur dari kaum muslim ditengah derasnya kilauan dunia. Pertama tidak riya’dalam beribadah kepada tuhan, dan bila riya terdapat pada diri seseorang maka Allah akan melaknat hambahnya. Sebab riya adalah perbuatan yang sama halnya menyandingkan kemuliaan-nya dengan yang lainnya.

Kedua tidak ta’jub, ujub, sombong, dan kemegahan lantaran popularitas. Karenanyamenghindari sebab dan musababnya popularitas menjadi wajib. Kecuali lantaran menyebarkan agama (dakwah) Allah, dengan ketaatan, ikhlas, perbuatan yang bisa dirasakan manfaatnya oleh orang banyak, sehingga ia menjadi masyhur dengan sendirinya. Dan hal ini, perlu diatasi dengan cara mencintai Khumul (anti ketenaran), ia tidak mabuk dipuji dan tidak memperdulikan yang mengaguminya. Orang semacam ini, budi pekertinya baik, bisa menjaga lisannya serta renda hati dalam berbagai persoalan.

Ketiga tidak mencari kedudukan, sedangkan harta dan kedudukan tidak bisa dipisahkan dengan popularitas. Keduanya adalah sendi dari dunia. Secara alami orang yang tertarik dengan harta karena ingin memiliki dan memanfaatkan buat kebutuhan hingga kebutuhan sampai tingkat menguasainya. Sementara itu, orang tertarik dengan kedudukan. karena ingin dihormati, diagungkan, ditaati juga ingin mendapatkan kekayaan. Dua sendi dalam kehidupan ini saling terkait satu sama lain ( hal, 77 ).

Melihat realitas saat ini, mungkin hampir tidak ditemukan orang yang tidak mencintai dan bahkan mencari popularitas, kedudukan dengan cara riya, mengagungkan kelebihan diri sendiri, menjelek-jelekkan orang lain. Kadang supaya dirinya popular dan mendapat jabatan yang diinginkan ia berani menhambur-hanburkan uang dengan beriklan di TV, surat kabar dan lain-lain. Dan andaikan orang-orang mencontoh dan mengambil pelajaran kisah diatas, tidak tidak mempopularkan diri dalam mencari jabatan, yang ujung-ungnya hanya mencari kekayaan pribadi bukan kemaslahatan umat, niscaya selalu teduh dan tidak kering dari spiritual.

Sungguh, Geidurrahman El-Misry sapaan nama pena dari Aguk Irawan telah mampu menyajikan kisah-kisah Sufi dari kalangan sahabat Nabi dan tabi’in yang diangkat dari kitab-kitab klasik dengan dipadukan dengan tafsir hikmah, hingga menambah inspirasi orang-orang yang ingin mendapatkan ridha Allah dengan merasa sejuk bersamanya dan dapat mengambil ibrah dengan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian tidak heran kalau KH. Musatafa Bisri atau Gus-Mus di cover depan mengatakan Bahwa “Buku yang cerdas, yang menghantarkan hidup kita menjadi lebih bermakna dan mulia dengan mengapai ridha dan surga Allah, serta menjadi bagi pencerahan mata batin dan spiritual kita”.

Dengan demikian, buku ini perlu dibaca siapapun yang rindu akan nilai-nilai kearifan berakar dari shahabat, tabi’in dan ulama sholeh. dan tentu dalam buku ini terdapat beberapa kelemahan yang tidak begitu fatal.

Akhirnya, setiap manusia harus senatiasa menjadi hamba pilihan Allah SAW. Karena hanya dengan menjadi pilihannya, manusia bisa mendapatkan tempat dan derajat tinggi disisinya. Untuk mengujudkan keinginan luhur itu tentu tidak gampang, apalagi pada era sekarang, penuh tantangan dan godaan. Wallahu A’lam bis showab.



*)Penulis Alumni PP. Nasy-Atul Muta allimin, Mantan Aktivis PAC. Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama Gapura Sumenep.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar