Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

Sumarah, Simbol inklusvisme Islam


Judul Buku : Kejawen Modern, Hakikat dalam Penghayatan Sumarah
Penulis : Paul Stange
Penerbit : LKIS Yogyakarta
Cetakan : I, April 2009
Tebal : xIvii + 394 hal.
Perensi : Ahmad Shiddiq Rokib*


Siapa yang berani menyatakan sudah mencapai kesempurnaan hidup, “pengertian” mengenainya masih di alam “pemikir”. Pengalaman pencerahan batiniyah pun masih di alam wujud, walau terkadang sangat halus. Kebenaran mutlak atau di sebut hakiki hanya berupa pancaran tuhan yang memang di mungkinkan bergandeng dengan alam-alam yang ditempuh makhluk yang disebut “manusia”. Bagaimanapun, yang mutlak masih “milik Tuhan”, tak tercakup alam terbatas yang disebut “orang”.

Sumarah, sebuah organisasi kebatinan yang dipelopori oleh Sukinohartono, yang kehadirannya menitikberatkan pada prinsip bahwa “kebenaran mendasari semua agama”. Ia berfungsi sebagai penyelaras spritual dan material, serta penguat tali persaudaraan umat manusia. Sumarah sebagai perkumpulan kebatinan yang bersumber pada penghayatan, yaitu saluran atau wahana demi perkembangan batin dari tuhan kepada seseorang secara langsung.

Paul Stange dalam buku ini menyatakan bahwa tema utama sejarah Sumarah adalah upaya mengubah pandangan orang dari keterikatan pada kerajaan arwah leluhur. Ini dibuktikan sendiri oleh pendiri Sumarah, yang menolak bantuan ruh panembahan sinopati untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan pasukan dari alam lelembut. Dan atau ditolaknya gaya islam ala Diponegoro dalam perang Jawa melawan belanda lewat bantuan Nyai Roro Kidul.

Pada prinsipnya, berbagai macam praktik spiritual kalangan mistik diharapkan berhasil dalam meningkatkan kesadaran bahwa segala wujud, termasuk yang mereka gunakan adalah melitansi. Inti pencarian mistik, sebagai kesadaran langsung akan kesatuan adalah berada diluar demensi baik nyata ataupun gaib. Meskipun pengalaman mistik berbuah dalam beberapa gagasan intelektual atau keyakinan emosional, intinya pengalaman itu sendiri tidak bergantung pada keduanya. Kalangan mistik secara universal menyatakan bahwa inti pengalaman adalah sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh nalar, sedangkan otentisitas tidak dapat dinilai berdasarkan wujud yang terpercik dari ekspresi sehingga pada ujungnya ia hanya mampu diketahui oleh dirinya sendiri.

Sebagaian orang jawa masih merasakan islam sebagai agama asing secara esensial. Artinya, ia bukan dari identitas mereka, seperti halnya, budaya india sebelumnya. Pandangan budayawan kejawen lebih cenderung melihat kebelakang pada perpaduan rohani Majapahit Hindu selama lebih dari lima abad yang lalu ketimbang Demak Islam pada masa kemudian. Beberapa tradisi rakyat yang menyuguhkan secara rinci keruntuhan Majapahit memasukkan ramalan bahwa jawa nantinya akan jatuh dibawah kaki kebudayaan asing selam lima ratus tahun sebelum zaman Buddha, atau era kemasaan baru akan membangkitkan kembali jati diri kejiwaan pribumi.

Dan karena orang Sumarah memandang evolusi mereka sendiri sudah barang tentu terdapat begitu banyak keragaman corak perkembangan. Bahkan pada tahapan awal sejarah gerakan kebatinan itu, para juru bicara Sumarah memahami perkembangan tersebut dalam pengertian dinamis. Mereka menyesuikan yang terus berlanjut terhadap pertumbuhan kesadaran internal dan tekanan eksternal dalam konteks yang melatari sebagai sesuatu yang alamiah. Alih-alih membahas magik dan kesaktian, tema pembicaraan mereka sudah mengarah kedemensi kesadaran dalam sehari-hari dan mengaitkan perubahan yang terjadi dengan difusi otoritas spiritual atau yang disebut “demokratisasi spiritual”(hal, 312).

Gerak batiniah, baik dari kesadaran maupun organisasi juga dimengerti sebagai sesuatu yang terkait secara integral dengan pola nasional. Akan tetapi, kesejajaran itu dihayati bukan hanya sebagai hasil dari kekuatan yang sama, melainkan juga sebagai refleksi dari penyelarasan kelompok yang sifatnya khusus terhadap peristiwa yang lebih luas dimensinya.

Secara umum, latihan sumarah mengilustrasikan suatu prinsip yang diakui secara luas. Basis tuntunan spiritual dalam Sumarah adalah “penyelarasan” para pamong terhadap kondisi batiniah para anggota. Disini pamong sebagai penuntun spiritual dianggap mempunyai kepekaan terhadap rasa yang merupakan landasan bagi pernyataan objektif tentang kondisi getaran yang sifatnya halus dalam diri warga Sumarah, yang boleh jadi tidak disadari oleh mereka.

Nah, fenomena ini menunjukkan bahwa sejak dahulu islam di Jawa tidak mengenal apa yang disebut ekslusivitas. Ketergantungan antara islam dan dunia kejawen (kebatinan) juga tampak dalam wayang kulit, sebagai kontinuitas Hindu ke Islam (kisah pertemuan Sunan kalijaga dan Judistira), perjuangan pangeran Diponegoro pada 1825-1830 melawan penjajah Belanda (pertolongan nyi Roro kidul). Artinya, interaksi antara islam dan budaya lokal telah menciptakan sikap inklusivistik islam yang tertanam diJawa sejak dahulu kala.

Buku setebal 394 halaman ini, sangat berharga sekali, disamping jarang sekali, bacaan berat dibahas secara tuntas, gamblang dan mudah dicerna siapapun. Untuk itu, membaca buku ini dengan sendirinya kita berhadapan dengan seoarang yang disatu sisi murni scholar (seorang yang berjarak terhadap Jawa). Namun disisi lain, menjadi “orang dalam” yang menganut dan menghayati nilai-nilai yang diteropong tersebut.

Sehingga buku ini layak dibaca siapapun yang menaruh perhatian pada kebudayaan Nusantara khususnya Jawa. Baik, budayawan, akademisi dan masyakat umum, karena lewat suatu teropong etnoggrafisnya yang dikombinasikan dengan penelusuran leterarnya, buku ini makin lebih hidup.

*) Penulis adalah Staf Departemen Pengkajian dan Penelitian Pondok Budaya Ikon Surabaya.
Read More “Sumarah, Simbol inklusvisme Islam”

Sosok Sufi dibalik Kedai kopi


Judul Buku : JEJAK SPRIRITUAL Kiai Jampes
Penulis : Murtadho Hadi
Penerbit : Pustaka Pesantren
Cetakan : I, 2008
Tebal : xii+76 hlm.
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*


“Kiai kerjanya kok cuman ngopi ngrokok-ngopi ngrokok. Kopi dan rokok kan haram !?”.

Begitu kira-kira kritik tajam yang terlontarkan dari seorang kiai berpandangan ekstrim tentang kopi dan rokok terhadap kiai ihsan. Lalu bagaimana reaksi kiai ihsan terhadap kritikan yang ditujukan pada dirinya. Akankah ia marah, beradu argumen dengan seribu dalil atau mengeluarkan celurit untuk berkelahi? Tidak, beliau hanya tersenyum seakan-akan tidak ada beban. Karena melayani hal demikian hanya bisa menimbulkan jidal ( poro padu dalam istilah jawa ). Dan begitu ada ksempatan yang memungkinkan malah beliau menyempatkan untuk menyusun risalah tentang “kopi dan rokok” dengan judul irsyadul Ikhwan fi Bayani Hukmi Qahwati Wa ad-Dukhan, syair-syair yang amat indah tentang kopi dan rokok.

Kitab sederhana itu hendak mengulas hukumnya “kopi dan rokok” dalam pandangan ulama dengan melakukan menelusuri perjalanan asal-usul tembakau sampai ke kampung-kampung terpencil Amerika, Meksiko, dan Afrika. Hal ini, yang ingin ditunjukkan oleh seorang sufi dari kediri bahwa perang sehat para ulama adalah sebuah wacana (karya) bukan justru berkoar-koar yang hanya sakitkan telinga dan seperti ini kearifan-arifan muncul yang hendak memakmurkan umat dengan hikmah dan Uswatun Hasanah.

Dan tradisi kopi ini sangat kuat dipulau jawa utamanya masyarakat Nganjuk, Tulungagung, Blitar dan bahkan belum ada yang menandingi dikota-kota lain indonesia. Kedai-kedai kopi pun menjadi laris manis dari pagi hingga malam hari sekalipun. Kita bisa bayangkan pemilik warung sekali ngadoni (menyeduh kopi) tiga puluh sampai empat puluh cangkir dalam sekali tuang. Tradisi yang kuat membuktikan bahwa keramaian tidak harus dikota besar yang notabene sibuk dengan aktivitas ekonomi dan dunia hedonis, tapi dibangun dari cangkruan dengan suasana keakraban antar elemen masyarakat.

Tidak heran, kalau hal semacam ini menelorkan gagasan cerdas, memberikan pencerahan pada masyarakat sekitar dengan segala topik pembicaraan mengalir bak air bening. Adalah kiai Ihsan jempes, tokoh karismatis yang dengan kretivitasnya melahirkan karya monomental, yakni siraj ath thalibin yang berarti “pelita para pencari” sarah dari kaya imam Ghazali “minhajul Abidin” .800 halaman, intelektualitas beliau bisa disejajarkan dengan ulama muslim dunia. Didalamnya memaparkan makna-makna lughat bukan dari pengertian yang tunggal, melainkan dalam menyusun redaksi hadist dia memaparkan perbedaan para perawinya.

Sebagai bukti lain bahwa beliau seorang arif yang produktif yang mampu melahirkan karya-karya layak menjadi rujukan bacaan dan referensi umat muslim sedunia adalah Tashrihul Ibarat ( kitab falak syarah Natijatul Miqatnya kiai Dahlan Semarang ) dan kitab Manahijul Imdad ( Syarah Irsyadul Ibadnya kiai Zainuddin dari India-Selatan, yakni kota Malaibari atau Malabar ) setebal 1000 halaman, sayangnya belum terbit.

Dalam buku ini, sebetulnya ingin mengungkapkan prisma pemikiran kiai Ihsan Jempes yang tertuang kitab Siraj at Thalibin dalam bentuk biografi singkat. Dan pemikiran tasawwuf seperti yang dilakukan oleh ulama terdahulu utama al Ghazali yang menjadi rujukan ulama sunni dibelahan dunia islam. seperti tentang kata “aqabah adalah jalan terjal pada sebuah tebing “yang harus dilalui oleh “salikin” ( penempuh jalan ) yang terbungkus dalam tujuh hal yakni petama jalan terjal didalam “Ilmu”maksudnya ilmu prioritas utama yang harus didahulukan, ibarat ilmu sebuah obor yang menyinari ruangan gelap bagi para pencari. kedua jalan terjal didalam “taubat” karena untuk mencapai suatu maqam, taubat merupakan yang harus dipertahankan dan menjadi asas setiap maqam dan ahwal yang harus dilalui para penempu jalan “suluk” dengan tingkatn permulaan (bidayah) dan pencapaian tertinggi menuju tuhan (hihayah).

ketiga Aqabatul-Awa’iq merupakan bisa dikatakan yang yang paling pokok dalam pembahasan sirat at thalibin adalah jalan yang harus ditempuh untuk menyingkirkan setiap rintangan dan penghalang. Imam ghazali menjelaskan bahwa yang dimaksud rintangn dan halangan adalah Dunia, mahkluk, setan dan hawa nafsu manusia. Keempat Aqabatul- Awaridh suatu jalan terjal ( mendaki ) yang harus dituntaskan “persoalaan yang menyibukkan” yang menganggu aktivitas lahir dan batinyang membuat tertatih-tatih dalam beribadah dan tidak cepat beranjak untuk melihat kegaiban alam malakut. Kelima Aqabqtul-Bawa’its yaitu jalan terjal dalam upaya menyingkirkan penghalang ( aghyar, sesuatu selainAllah ) dan dengan membangkitkan kerinduan pada Allah.

Keenam Aqabatul-qawadhil adalah upaya total seorang pejalan untuk mencapai kebersihan jiwa dan mencapai maqam “kemurnian”. Ketujuh Aqabatul-hamdi yang menjadi pemungkas dalam berta’abbud sehingga jalan terjal dalam maqam Syukur menjadi keharusan bagi seorang hamba dan bisa mencapai maqam arif. (hal, 39-45)
Buku setebal 76 halaman ini, merupakan kegelisan dan pesarannya sang penulis terhadap sosok kiai jempes yang lebih suka berdakwah ditempat yang tak terjangkau oleh kendaran dan tempat yang sederhana bahkan di musholla kecil lembah sungai Gajah Wong.dan bagaimana lika-liku menjadi sosok sufi yang disegani hingga melahir karya monomental.meskipun buku ini, risalah kecil hasil diskusi diwarung kopi bisa menambah refensi dunia tasawwuf kita. Meskipun perlu penyempurnaan referensi kuat dari sang penulis tapi tetap patut diapresiasi karena jarang orang menyingkap tokoh yang telah memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman keagamaan yang kita yakini.

Dengan demikian, prinsipnya manusia diciptakan untuk mengabdikan dirinya pada tuhan, namun pengabdiantidak semulus yang dibayangkan, banyak kerikil yang menghalangi manusia sampai padanya. Oleh karena itu, manusia perlu mengasah hatinyadengan selalu berdzikir dan bertaqarrub padanya.dimensi terpenting pergulatan spritual hamba mencapai insan kamil dan menjadi tujuan hakiki.



*) Alumni PP. Ibrahimy Gapura Sumenep dan Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya
Read More “Sosok Sufi dibalik Kedai kopi”

Pak Harto, Kebal Hukum Tidak Kebal Mati


Judul Buku : Rahasia Pak Harto ( Menyingkap Rahasia Umur panjang,
: Kesehatan, kesuksesan, & kekuasaan Pak Harto )
Penulis : Mohammad Shoelhi
Penerbit : GRAFINDO
Cetakan : Maret 2008
Tebal : 133 hal
Perensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Bangsa yang besar adalah yang menghargai jasa para pahlawan dan pendahulunya. Bung karno, Bung Hatta, Bung Tomo dan seterusnya, termasuk pak Harto adalah pahlawan terbaik yang dimiliki bangsa ini. Dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, mereka telah mengukir sejarahnya masing-masing dalam percaturan memerdekakan, membangun, dan memajukan Indonisia.

Haji Mohammad Soeharto atau lebih dikenal sebutan pak Harto, hal ini disebabkan karena beliau menjadi penguasa bangsa ini selama 32 tahun, sehingga nama besarnya terangkat didunia internasional, berakhir pada saat krisis moneter tahun 1998 ditandai dengan krisis kepeminpinan dan turunnya sang peminpin diakibatkan oleh ulahnya sendiri pada saat jayanya selalu bertindak sewena-wena, jika ada suara kritis mengelinding pada istana kekuasaannya.

Saat persakit-sakitan mata dunia tertujuh padanya untuk sekedar mengenang jasa-jasa beliu, mulai dari yang benci dan yang suka, baik teman maupun lawan memberikan perhatian besar, bahkan K.H..Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, BJ. Habibie, Ginanjar karjasasmita dan yang lainnya menyuarakan agar pak Harto dimaafkan dosa-dosanya. Menurut Gus Dur meskipun mantan Presiden kedua ini banyak melakukan kesalahan tapi juga banyak jasa-jasa yang dipersembahkan untuk bangsa ini, paling tidak pak Harto dalam melakukan sesuatu atau bertindak memperhitungkan segala sesuatu, selalu merencanakan dengan matang, dan yang terpenting selalu memikirkan rakyat kecil.

Pada zaman berkuasa pak Harto selalu tersenyum, pada kawan, lawan,termasuk saat susah, senang, bahkan dalam keadaan kalap sekalipun sehingga musuh dan bawahannya sulit memprediksi apa yang sedang direncanakan dan senyum multitafsir hendak mendarat, dari senyum itulah dipercaya menjadi rahasia, kelanggengan kekuasaan, kekayaan, kesehatan, dan umur panjangnya. Dalam sebuah riset disebutkan bahwa senyum memberi manfaat yang luar biasa pada psikologi seseorang. Dan pada masa hidupnya pak Harto selalu menjaga penampilannya dengan senyuman dan tak elak menimbulkan multitafsir.(hal 19)

Tapi apa yang terjadi jika senyum yang multitafsir tersebut hilang dari penampilannya, akankan yang konon katanya, senyun membawa keberentungan pada karir, kesehatan,kekuasaan, dan umur panjangnya, yang.menjadikan orang –orang dsekitarnya deg-degan itu, pada situasi yang tidak menentu? tentu hal ini, bisa terjawab dengan tuntas dalam buku ini.

Buku yang berjudul Rahasia Pak Harto ini, banyak menjelaskan tentang penyebab hilangnya senyum pak Harto, dan bahkan menurut para pakar psikologi, beliau sudah kehilangan 385 senyum perhari.dan pengamatan pakar politik, menilai senyum itu hilang, pertama karena power syndrome kejatuhan kekuasaannya begitu mendadak, penhiayatan yang dilakukan oleh orang –orang kepercayaan yang telah ia besarkan, menghianati dengan turut serta meminta turun dari jabatan kepresidenan, semua itu berbalik lurus begitu cepatnya.

Turunnya sang macan dari kekuasaan, menimbul kasus Hukum yang menyita perhatian publik, yakni KKN hasil berkuasa disinggasana bernama bangsa Indonesia. Penggatinya .BJ. Habibie hingga SBY belum menunjukkan tanda-tanda diusut dengan tuntas dan cendrung tutup buka jalan terhadap kasus tersebut. meskipun sang empunyah sudah pulang ke alam baka. Menurut beberapa versi harta al-marhum. Laporan yang diturun oleh majalah TIME edisi Asia, 24 Mei 1999 menyatakan bahwa kekayaannya mencapai US$ 15 miliar (sekitar 135 triliun), itupun diperkirakan lebih dan majalah Forbes, edisi 28 juli 1997 (sebelum lengser) menobatkan penguasa negeri kaya ini orang terkaya keempat didunia. Dan belum mengusut perusahaan yang begerak disektor usaha dipegang oleh anak-cucuknya.(hal 72-73)

kedua karena adanya penyelewengan keppres, bermula pada tahun 1983 pak Harto mengeluarkannya, pada bidang perhutanan dan perkebunan yang terindikasi terjadi penyimpangan karena berbau Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Dari keppres tersebut, tercatat sejumlah penyelewengan yang menguntungkan bagi kroni-kroninya. Antara lain, keppres No 6 tahun 1983 tentang pembangunan dan pengelolaan gedung manggala Wanabhakti oleh Yayasan Wanajaya sampai pada keppres No 1/1997 tentang koordinasi pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri, keppres No 73/1995 tentang Reklamsi pantai Kapuk Naga Tangerang, dan keppres No 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dikuasai anak dan kroninya, bahkan temuan Masyarakat Transparansi Indonesia ( MTI ) dari tahun 1993 sampai 1998 terdapat 528 keppres yang dibuat mantan Presiden kedua ini, sekurang-kurangnya 79 terbukti menyimpang, baik legalitas, materi, dan dampak pada masyarakat.

Ya, meskipun sudah jelas bersalah tapi nyatanya hukum kita tidak bertaring dan tumpul menenbus cendana, meskipun pak Harto sudah tidak lagi didunia. Akankah rakyat Indonesia telah memaafkan mengiringi kepergiannya ?.dan sekebal-kebalnya pak harto terhadap hukum ternyata tak kebal mati juga !.

Buku bacaan yang semi-populer ini, merupakan sekumpulan informasi yang ditulis dengan gaya jurnalistik, dan mudah dibaca oleh siapapun termasuk siswa yang duduk dibangku sekolah, Cuma sayang, terdapat kekurangan disana-sini dalam bentuk penulisan dan tidak berpengaruh pada subtansi tulisan, yang bertujuan menyajikan informasi masa lalu untuk menjadi cermin oleh generasi yang akan datang dan para politisi sekarang. Dengan demikian buku ini sangat cocok dibaca oleh peneliti, praktisi, akademisi, pemerhati dan bagi mereka yang menaruh perhatian pada masalah hukum dan politik di Indonesia

Lalu Ibarat pepatah, Gajah mati meninggalkan gading, pak harto mati meninggalkan masalah. Allahu Maghfirlahu.!

* Penulis :Pecinta buku dan aktif dikomunitas Baca Surabaya (KOMBAS)
Read More “Pak Harto, Kebal Hukum Tidak Kebal Mati”

Percikan Mata Batin Seorang Sufi


Judul Buku : Percikan Cinta dari Surga
Penulis : Geidurrahman El-Mishry
Penerbit : himmah Kelompok Grafindo, Jakarta
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 254 hal
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Pada prinsipnya, manusia diciptakan untuk mengabdikan dirinya kepada tuhan, namun pengabdian tidak semulus apa yang dibayangkannya. Banyak krikil yang menghalangi manusia sampai kepada-nya. oleh sebab itu, manusia perlu mengasah hatinya dengan selalu bertaqarrub kepada tuhannya. Dimensi terpenting dalam pergulatan hamba spiritual hamba mencapai tingkatan dan menjadi tujuan hakiki.
Dengan demikian, setiap dari kita menginginkan kehidupan yang lebih mulia dan bermakna. Hal demikian yang menjadi tujuan hidup manusia, tak lain karena semata ingin mendapat ridha Allah. Keikhlasan dalam beribadah menjadi kata kunci dalam upaya meraih ridha Allah. Kalau ridha Allah sudah kita dapat, apapun akan kita raih, termasuk hidup mulia dan nikmat surga kelak di akhirat.

Nah, dalam buku yang berjudul “percikan Cinta dari surga” ini. Akan mengantar kita pada hal yang demikian, banyak hikmah yang diungkapkan didalamnya. Misalnya tentang terkabulkanya do’anya tukang sapu oleh Allah yang diceritakan oleh Muhammad bin Muhandist, pada suatu malam sang muhandist berada dimasjid, tiba-tiba datang seorang berkulit kecoklat-coklatan, mengenakan kain sarung, dan pada lehernya tergantung kain yang lebih kecil. Lalu laki-laki itu berdo’a agar Allah menurunkan hujan “Wahai rabbku. Para penduduk Madinah kota-Mu telah keluar dan meminta hujan, namun engkau tidak mencurahkan hujan. Kini aku bersumpah atas Mu, turunkanlah hujan”
Lalu suara guntur diiringi hujan yang mulai menjatuhi bumi. Tatkalah itu Muhanndist tadi terkaget-kaget, dari saking penasarannya ia membuntutinya tiap kali habis sembahyang shubuh, yang selalu keluar setelah salam tanpa berdzikir terlebih dahulu.

Sampai dirumahnya. Langsung sang muhandist disambut oleh yang berdo’a dimasjid tadi dan menanyakan tentang apa yang bisa dibantu tapi sang muhandist men jawab sekaligus bertanya,”apa benar anda yang bersama saya pada suatu malam itu”.Tiba-tiba yang ditanya raut wajahnya berubah kerah-merahan dan mengumpat sang Muhannadist, kemudian muhanndist meninggalkannya.

Dari secuil cerita diatas, dalam diri kita akan terbersit sesobek hikmah yang mulai luntur dari kaum muslim ditengah derasnya kilauan dunia. Pertama tidak riya’dalam beribadah kepada tuhan, dan bila riya terdapat pada diri seseorang maka Allah akan melaknat hambahnya. Sebab riya adalah perbuatan yang sama halnya menyandingkan kemuliaan-nya dengan yang lainnya.

Kedua tidak ta’jub, ujub, sombong, dan kemegahan lantaran popularitas. Karenanyamenghindari sebab dan musababnya popularitas menjadi wajib. Kecuali lantaran menyebarkan agama (dakwah) Allah, dengan ketaatan, ikhlas, perbuatan yang bisa dirasakan manfaatnya oleh orang banyak, sehingga ia menjadi masyhur dengan sendirinya. Dan hal ini, perlu diatasi dengan cara mencintai Khumul (anti ketenaran), ia tidak mabuk dipuji dan tidak memperdulikan yang mengaguminya. Orang semacam ini, budi pekertinya baik, bisa menjaga lisannya serta renda hati dalam berbagai persoalan.

Ketiga tidak mencari kedudukan, sedangkan harta dan kedudukan tidak bisa dipisahkan dengan popularitas. Keduanya adalah sendi dari dunia. Secara alami orang yang tertarik dengan harta karena ingin memiliki dan memanfaatkan buat kebutuhan hingga kebutuhan sampai tingkat menguasainya. Sementara itu, orang tertarik dengan kedudukan. karena ingin dihormati, diagungkan, ditaati juga ingin mendapatkan kekayaan. Dua sendi dalam kehidupan ini saling terkait satu sama lain ( hal, 77 ).

Melihat realitas saat ini, mungkin hampir tidak ditemukan orang yang tidak mencintai dan bahkan mencari popularitas, kedudukan dengan cara riya, mengagungkan kelebihan diri sendiri, menjelek-jelekkan orang lain. Kadang supaya dirinya popular dan mendapat jabatan yang diinginkan ia berani menhambur-hanburkan uang dengan beriklan di TV, surat kabar dan lain-lain. Dan andaikan orang-orang mencontoh dan mengambil pelajaran kisah diatas, tidak tidak mempopularkan diri dalam mencari jabatan, yang ujung-ungnya hanya mencari kekayaan pribadi bukan kemaslahatan umat, niscaya selalu teduh dan tidak kering dari spiritual.

Sungguh, Geidurrahman El-Misry sapaan nama pena dari Aguk Irawan telah mampu menyajikan kisah-kisah Sufi dari kalangan sahabat Nabi dan tabi’in yang diangkat dari kitab-kitab klasik dengan dipadukan dengan tafsir hikmah, hingga menambah inspirasi orang-orang yang ingin mendapatkan ridha Allah dengan merasa sejuk bersamanya dan dapat mengambil ibrah dengan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian tidak heran kalau KH. Musatafa Bisri atau Gus-Mus di cover depan mengatakan Bahwa “Buku yang cerdas, yang menghantarkan hidup kita menjadi lebih bermakna dan mulia dengan mengapai ridha dan surga Allah, serta menjadi bagi pencerahan mata batin dan spiritual kita”.

Dengan demikian, buku ini perlu dibaca siapapun yang rindu akan nilai-nilai kearifan berakar dari shahabat, tabi’in dan ulama sholeh. dan tentu dalam buku ini terdapat beberapa kelemahan yang tidak begitu fatal.

Akhirnya, setiap manusia harus senatiasa menjadi hamba pilihan Allah SAW. Karena hanya dengan menjadi pilihannya, manusia bisa mendapatkan tempat dan derajat tinggi disisinya. Untuk mengujudkan keinginan luhur itu tentu tidak gampang, apalagi pada era sekarang, penuh tantangan dan godaan. Wallahu A’lam bis showab.



*)Penulis Alumni PP. Nasy-Atul Muta allimin, Mantan Aktivis PAC. Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama Gapura Sumenep.
Read More “Percikan Mata Batin Seorang Sufi”

Tokoh Legendaris Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah


Judul Buku :MENGENAL K.H.NAWAWI Berjan Purworejo, Tokoh diBalik Berdirinya Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah
Penulis :Drs.HR.Mahsun Zain, Dkk ( Tim PP . An-Nawawi )
Pengantar :K.H.Ahmad Idris Marzuki
K.H.Maimoen Zubair
Penerbit :Khalista Surabaya
Cetakan :I, Agustus 2008
Tebal :xx+184 hlm
Peresensi :Ahmad Shiddiq Rokib*

Dunia tasawwuf muncul akibat kepongahan kelompok umat islam yang merasa tidak puas dengan kedekatan diri mereka kepada tuhan melalui ritual-ritual formal seperti sholat, puasa, dan sebagainya. Mereka ingin mencapai intisari ibadah yaitu adanya kesadaran akan adanya komunikasi antara roh manusia dan tuhan. Kesadaran inilah yang pada akhirnya memunculkan ajaran-ajaran tasawwuf baik yang hanya disampaikan secara lisan dari seorang guru kepada muridnya maupum yang ditulis dalam bukunyasemisal Ihya Ulum al-din Oleh al-Ghazali. Bahkan pada abad XII Masehi ikatan guru dan murid dalam kontek usaha transfer ajaran ( tranfer of doctrine) mulia terorganisir yang dikenal dengan nama tharikat.

Adalah K.H. Nawawi bin Shiddiq yang merupakan mursyid thoriqah sekaligus pendiri Organisasi Jam’iyyah Thariq al-Mu’tabarah yang cukup dikenal dan patut menjadi tokoh teladan oleh segenap guru dan santri thoriqat dari berbagai aliran utamanya Thariqah Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah dan umumnya seluruh muslim-muslimat dipenjuru tanah air ini. Pasalnya, derajat yang tinggi dalam beberapa kepengurusan organisasi sosial kemasyarakatan baik dalam lingkup organisasi Nahdhtul Ulama (NU), Thariqh, dan sebagainya, tidak menjadikan “ menyembulkan” keluar dari jati dirinya. Tetap mampu menahan godaan pengaruh kewibawaan, yang kini banyak dicari orang.
Posisinya yangat strategis sebagai salah seorang pendiri dan pelopor berdirinya Jam’iyyah Ahli Thariqh Al-Mu’tabarah yang dideklarisikan di Pondok Pesantren Tegalrego Magelang pada tahun 19-20 Rabi’ul Awal 1377 H. /12-13 Oktober 1957 M. Tidak dijadikannya ajang untuk mencari keuntungan Pribadi. Beliau, seorang kyai yang matang dalam berorganisasi khususnya di NU dan Thariqah Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah, tidak pernah mbalelo dalam masa pengabdian yang panjang, banyak kawan sederhana, tidak neko-neko, namun tetap dihormati oleh kalangan tua dan digandrungi anak muda.

Jadi tidak heran, jika semua dilakukan hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Sebab ulama pengasuh Pondok Pesantren ini, seperti ynang dituturkan oleh K.h. Ahmad Idris Marzuki pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri bahwa ia mengawali karir pengabdiannya dengan menimbah ilmu pada beberapa pesantren di Jawa Tengah dan Jawa timur. kesederhanaannya dalam hidup, diwarisi dari ayahandanya K.H.Shiddiq bin Zarkazi, dan nampak jelas dalam ingatan teman-teman selama enam tahun mondok di pondok lirboyo Kediri yang diasuh oleh Syech Abdul Karim bahwa penghidupannya terlalu sederhana karena diperoleh dengan jalan “ buruh ngeseh kitab ” pada teman-temannya.

Semangat pengabdian kepada umat pula yang memompa keprihatinannya menyaksikan pada masanya, banyak terjadi penyimpangan dalam ajaran thariqat. Keprihatinannya inilah yang menuntutnya menemukan ide brilian dengan memprakarsai terselenggaranganya kongres I Alim Ulama Thariqah Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah pada tanggal 12-13 Oktober 1957 dan pada saat ini pula dideklarasikannya Jam’iyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah. Sebelumnya beliau membuat kesepakatan antara K.H.Nawawi Berjen dengan K.H. Masruhan Brumbung pada tanggal 31 Desember 1955 untuk meluruskan dan menyepakati perlunya membentuk jam’iyah tharikat shohihah karena ditengarai terjadi penyimpangan ajaran dan tidak terorganisirnya pengikut thoriqat. Demi memuluskan ide tersebut beliau berkeliling untuk silaturrahim pada pengasuh pondok-pondok yang ada di Jawa tengah dan Jawa Timur ( hal 96).
Disamping itu, beliau adalah sosok pemikir yang tidak kalah produktif dengan pemikir kontemprer ini, utamanya berkaitan dengan din maupun masalah duniawiyah. Ini terlihat dari sejumlah karya tentang keutamaan al Qur’an, Aqidah, tasawwuf / thariqat, fiqih hingga kemandirian ekonomi dan tata Negara, yang hampir semuanya berbahasa arab dan jawa dengan berbentuk syair. Pada bagian pembahasan tentang tata negara beliau sangat cerdas memeparkan bahwa umat islam indonesia harus bisa menata agama dan negara dengan sebaik-baiknya dan bagaimana rakyat indonesia bisa maju dan mandiri secara ekonomi yang tidak berergantung pada negara asing dan peminpin yang mengelolanya untuk kesejahteraan bersama.

Sungguh, buku ini cukup runtut dalam memaparkan fakta sejarah karena didukung sumber yang terpercaya. Lebih dari itu, buku ini saja memaparkan sejumlah peristiwa tetapi penulisannya telah diberikan penjelasan makna sejarah dan fakta yang ditampilkan, sehingga melalui buku ini, pembaca akan dibuat terkaget-kaget dan kagum akan kebesaran visibelitas sang tokoh dengan segalah karya dan pemikiranya yang boleh dibilang komplit. Sehingga patut direkomendasikan bagi akademisi, peneliti, dan tokoh ulama-intelektual yang ingin mendapatkan fakta baru tentang sejarah thariqat di Indonesia, sekaligus menaruh perhatian pada dunia tasawwuf kontemporer.
Akhirnya, dari sejarah tokoh legendaris ini, kita sebagai generasi dan penerus perjuangan ulama terdahulu bisa mengambil suri tauladannya yang suka pengetahuan, kesederhanaan, mengutamakan orang lain, ikhlas, mandiri, disiplin, sabar dan tak kalah penting cintanya pada tanah air dan bangsa indonesia ini. Luar biasa bukan ?.


*) Santri Pondok Pesantren Luhur Husna dan koorditor Student Association of Moslem Indonesia ( SAMI ) di surabaya
Read More “Tokoh Legendaris Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah”

Gur Dur dan Konflik PKB


Judul Buku :GUS DUR GARIS MIRING PKB
kumpulan Tulisan Khusus Tentang Gus Dur dan PKB
Penulis :A.MUSTOFA BISRI
Penerbit :Mata Air Publishing
Cetakan :I, Mei 2008
Tebal :137 hlm
Peresensi :Ahmad Shiddiq Rokib*


Boleh dibilang antara K.H. Abdurrahman Wahid yang biasa dikenal Gus Dur dan K.H. A.Mustofa Bisri atau Gus Mus. Ibarat, dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan apalagi kedua tokoh tersebut memang lengket sejak menempuh studi ke Negeri para Nabi ( Mesir ) hingga kembali ke Tanah Air, meskipun keduanya beda jalan dalam mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan ummat dan bangsa. Gus Dur sibuk dengan mengurus partai politik (PKB) sebagai instrumen, sedangkan Gus Mus sendiri lebih banyak menyapa ummat lewat tulisan, lukisan, dan pengajian. namun keduanya bisa saling mengisi dan melengkapi satu sama lain.

Ada banyak hal, yang membedakan kedau tokoh ini, salah satunya adalah kalau Gus Dur lebih banyak melontarkan pernyataan kontroversial, sehingga gaya yang seperti itu banyak orang rasan-rasan dan menimbulkan pro-kontra, ada yang benci oleh sebagian orang sekaligus dipuji oleh pengagumnya. Gus Mus yang bergelut dengan sastra yang identik dengan estetika ( keindahan ) dan kelembutan membuat kyai bersahaja selalu menjadi penengah atau mengakurkan orang yang bertikai, tidak terkecuali saat konflik menyerang Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB ) dan sering kalangan yang berkonflik menyebut-nyebut namanya untuk segera turun gunung meredakan api yang membara.

Buku yang ditulis oleh Gus Mus yang berjudul ”GUS DUR Garis Miring PKB, Kumpulan Tulisan Khusus Tentang Gus Dur dan PKB” ini merupakan respon seorang kyai kesohor sekaligus pendiri partai berlambang bola dunia dengan dikelilingi bintang sembilan, terhadap konflik yang tak kunjung usai, meskipun sudah banyak makan korban atau lebih tepatnya adanya kepentingan tidak terakomodasi secara rapi.

Bisa dibayangkan, sudah tujuh kali menyelenggarakan Muktamar hampir semuanya menjadi catatan merah ditangan Gus Mus. Ada yang menarik dari apa yang dituturkan oleh pengasuh pondok Roudhotut Thalibin ini, apa yang yang menjadi kemelut ditubuh partai yang selalu meneriakkan jargon “Membela yang benar” disebabkan. Pertama terpilih Gus Dur sebagai Dewan Syuro untuk pertama kali di Surabaya dan masih menjadi Presiden RI dengan Dewan Tanfidznya H.Mathori Abdul Djalil. Sejak itulah, PKB identik dengan Gus Dur atau sebaliknya Gus Dur identik dengan PKB, tepatnya Gus Dur menjadi institusi sendiri dalam partainya. Kedua Gus Dur yang merupakan tokoh besar untuk PKB, sehingga, mempersempit sekaligus tidak menyisakan ruang gerak bagi kader-kader PKB. Seperti, Mathori Abdul Jalil, Alwi Shihab dan yang terakhir A. Muahimin Iskandar menjadi wujuduhu Ka ‘adamihi, adanya seperti tidak adanya.

Ketiga lemahnya kader partai yang belum matang berorganisasi dan belum terbiasa berpartai, sehingga memperparah sekaligus memicu ketidak stabilnya organisasi. Konflik yang terjadi antar elit ditubuh partai besar ini, seharusnya bisa diminimalisir oleh kubuh yang berseberangan dan tidak perluh mengikut sertakan pengikut yang tidak tahu apa-apa.

Gus Mus sendiri telah mewanti-wanti untuk menyelesaikan persoalan yang tidak berujung secara kekeluargaan sebab tidak akan menguntung pada PKB sendiri, utamanya kyai dan warganya yang mulai kebingungan bahkan kecewa oleh tingkah laku pembesar partai. Dari ini Gus Mus, sering melayangkan surat berupa masukan maupun teguran pada partai, meskipun pada diri Gus Mus sendiri harus mengorbankan perasan demi terciptanya tatanan yang harmonis dan mengujudkan tujuan awal dibentuknya partai yang harapkan menampung aspirasi warganya. Misalnya, surat yang ditujukan pada Pinpinan Partai berisi tentang keresahan warga NU atas perilaku pinpinan yang sibuk bertikai dan kebijakan yang diambil DPP seringkali menimbulkan keributan dibawah tanpa memberikan klarifikasi yang jelas. Dari klarifikasi tersebut menjadi semacan jembatan pada tingkat akar rumput agar tidak meninbulkan pro-kontro antar pendukung.

Namun disatu sisi, Gus Mus menjadi seorang romantisme sejati terhadap sahabatnya, ini terlihat dari surat Gus Mus yang ditujukan pada Gus Dur, dengan maksud merindukan sosok yang dianggap selalu demokrat, egalitarian, dan romantis yang dibangun sejak kuliah dimesir, berubah legal-formal lantaran jarak kekuasan, yang menurutnya mengurangi keakraban antara keduanya. Dengan sangat indah ia menulis kata-kata, layak orang kasmaran dan tak lupa diselah-selah kalimat romantisnya menyelipkan pesan agar orang disayangi itu tidak terjebak pada bithanaah lantaran ia berpandangan tokoh sebesar Gus Dur pasti akan dikerumuni banyak orang yang mempunyai kepentingan untuk diri sendiri.(hal 123)

Kumpulan tulisan tentang Gus Dur dan PKB yang tersebar diberbagai media ini ditulis dengan gaya fimilar, mudah dicernah siapapun, membuat orang yang membaca ingin melanjut kata demi kata dan judul demi judul. Demikian juga buku ini patut dibaca oleh para politisi, simpatisan partai, dan insan akademis yang menaruh perhatian pada perjalanan sebuah partai besar. Disamping masih ada kekurangan yang tidak begitu subtansial seperti kesalahan pengetikan teks dan tidak ada tanggal penulisan yang jelas. Namun, patut mendapat apresiasi, hal ini membuktikan bahwa ia memang menaruh perhatian besar dan menyayangi Gus Dur dan PKB.

Meskipun demikian, tetap saja konsekuensi yang barangkali sangat disadari oleh Gus Gur sendiri dari sikapnya yang tidak suka mememdam sikap dan cueknya terhadap reaksi pro-kontra orang lain, Gus Dur pun menjadi tokoh kontroversial sejati yang dipuja sekaligus dalam waktu yang sama dibenci. Konsekuensi ini justru lebih merugikan pihak yang memuja dan membencinya, ketimbang Gus Dur sendiri, bukankah begitu, Gus ?.

*) Penulis : Mantan Aktivis PAC. Ikatan Pelajar NU Gapura-Sumenep dan saat ini studi di IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Read More “Gur Dur dan Konflik PKB”

Sistesis Spiritual Peradaban Jawa


Judul Buku : Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa
Penulis : Paul Stange
Penerbit : LKIS Yogyakarta
Cetakan : Maret 2009
Tebal : xxix+366 hal.
Perensi : Ahmad Shiddiq Rokib*


Sebagai “pewaris sah nilai-nilai spritual jawa”, aliran kepercayaan sebenarnya menghadapi tantangan serius. Dari segi riil politik mereka dituntut untuk mendudukkan dirinya secara tepat dihadapan kekuasaan negara dan lalu lintas hubungan dengan kelompok-kelompok agama yang menggeliat memproklamirkan kebangkitan. Derasnya arus modernisasi yang membawa semangat hidup pragmatis dan konsumeris, juga memaksa mereka merekonstruksi dan melakukan revitalisme nilai-nilai spritual dan kebudayaan.

Buku Paul Stange ini, merupakan penyingkapan nilai-nilai jawa yang menurutnya merupakan tradisi Tantrik yang sudah ada jauh sebelum kedatangan tradisi-tradisi agama india dan samatik. Dalam banyak hal, paul menegaskan kembali apa yang disebut “agama jawa” atau sering disebut Kejawen dengan segala nilai dan praktik spiritual-ritualnya. Jelas, dibutuhkan suatu energi intelektual yang besar untuk mengklarifikasi hal itu, lantaran jawa yang kita kenali sekarang bersifat sinkritik.

Jawa berkembang tidak dengan kekhasan yang terisolasi, tetapi dalam kombinasi dengan masukan kultural dari luar.
Nah, sementara penegasan agama Jawa senantiasa ingin menjernihkan, dengan cara memilah namun tidak berarti mententangkan, mana yang dianggap murni Jawa dan mana yang sekedar tempelan dari Jawa. Dan ini menjadi kontroversi ini sulit dipisahkan antara Jawa dan bukan Jawa. Misalnya, Jawa dan Islam, sering dianggap suatu “politik pengetahuan” yang ideologis, bahkan merambah ketegangan politik, bahkan pada level aliran kepercayaan.

Buku setebal 366 halaman ini terdiri dari tiga bagian dan terdiri dari beberapa bab, meskipun pada awalnya hanya esai yang berdiri sendiri semua sudah diolah kembali. Tidak hanya proses penterjemahan, tetapi pada pembaruan dan pengurutannya. Pada bagian satu, pendekatan secara etnografis dan tekanannya pada rasa, pengalaman dan antologi tunggal sebagai landasan teori maupun penerapan kejiwaan dijawa. Bagian kedua paul mencoba menelusuri perkembangan didalam lingkungan kepercayaan sejak kemerdekaan, dan dengan sendirinya pada bagian ini beralih pada sejarah, tentu sejarah pada masa kini. Dan bagian ketiga dosen senior dalam program Asian Studies di Murdoch University, Perth, Australia Barat. Mengulas masalah politik penafsiran, terutama oleh ilmuwan Barat, namun pada hakikatnya sasarannya ilmu semata-mata.

Pada umumnya, ada kecenderungan untuk menafsirkan kepercayaan seolah-olah dapat dimengerti didalam satu lapisan dari realitas-realitas pemikiran atau tindakan seperti yang ditawarkannya “praksis” ( perpaduan antara teori dan praktik) sebagai landasan inti untuk memahami gejala-gejala agama dan kepercayaan. Dengan praksis sebagai landasan.

Meskipun antara judul dan sub judul buku ini tidak terdapat keterkaitan yang sangat erat, dan pada awalnya tampak kabur. Istilah “politik” menurut pengakuan paul tidak menyangkut lapangan pemerintahan (walapun pada ahirnya terkait) yaitu berkaitan dengan ilmu sosial dan sastra Barat. Di dalam wacana itu, politik menyangkut antara lain, pola kekuasaan di dalam lingkungan keluarga, antara jenis kelamin, didalam susunan wewenang dikantor atau pabrik dan sampai pada beberapa kompetensi antara beberapa bentuk atau jenis wacana.

Sedangkan penggunaan istilah “perhatian” dan bukan (umpamanya) “meditasi” karena jangkauannya luas, tidak terbatas pada lingkup latihan kejiwaan saja. Dengan demikian, menunjukan adanya permainan serta pengarahan perhatian, tidak hanya di dalam lapangan kepercayaan tertentu, seakan-akan merupakan masalah lingkungan tertentu saja, tetapi di dalam dan melalui kebudayaan secara umum sebagai masalah yang menyangkut semua orang. Setiap kebudayaan menitikberatkan lapangan tertentu dengan cara tertentu pula (247 hal).

Dari itu, paul stange sendiri bisa dikatakan merupakan salah seorang pengamat jawa mancanegara, yang turut menyemarakkan jagad perhatian terhadap jawa yang menjadi fenomena intelektual tahun 1970-an. Tidak sekedar pengamat, paul stange bahkan, seperti diakuinya penganut nilai-nilai jawa. Jawa, sebagai sebuah peradaban, bertahan dengan sintesis spiritualnya terhadap peradaban dunia : Hindhu-Budha dan Islam. Tetapi, mengapa gagap menghadapi penetrasi Barat? Upaya memilah Jawa dan non-Jawa selalu saja merupakan perististiwa politik.

Dan itu selalu ada yang ter(di)singkir(kan). Jawa yang takluk ?lalu siapa pula yang berhak mewakili Hindhu-Budha, aliran kepercayaan, koegrafer Sardono atau Bagong, Gus Dur dan pesantrennya, kraton Mataram atau lembaga Javanologi? Mungkin tak seorang pun dari mereka karena Jawa telah menjadi masa silam dan hanya ada dalam imajinasi. Semakin ia dikaji untuk masa kini, semakin kita menelusuri masa silamnya.

Untuk itu, membaca buku ini dengan sendirinya kita berhadapan dengan seoarang yang disatu sisi murni scholar (seorang yang berjarak terhadap Jawa), namun sekaligus disisi lain menjadi “orang dalam” yang menganut dan menghayati nilai-nilai yang diteropong tersebut. Sehingga buku ini layak dibaca siapapun yang menaruh perhatian pada kebudayaan Nusantara khususnya Jawa. Baik, budayawan, akademisi dan masyakat umum, karena lewat suatu teropong etnoggrafisnya yang dikombinasikan dengan penelusuran leterarnya, buku ini makin lebih hidup.
Waallahu a’lam bisshawaf.


*) Penulis adalah Staf Departemen Pengkajian dan Penelitian Pondok Budaya Ikon Surabaya.

Tulisan ini dimuat NU online
Read More “Sistesis Spiritual Peradaban Jawa”

GUS MUS Bicara Nasib Rakyat


Judul Buku :KOMPENSASI
Penulis        :A.MUSTOFA BISRI
Penerbit     :Mata Air Publishing 
Cetakan      :Februari 2008
Tebal           :x+ 312 hlm
Peresensi    :Ahmad Shiddiq Rokib*

Dalam Motto buku Ini tertulis “ Mungkin akan jumpai empat macam orang ; orang tahu dan tahu bahwa dia tahu, bertanyalah kepadanya; Orang yang tahu dan tidak tahu bahwa dia tahu, ingatkanlah dia; Orang yang tidak tahu dan tahu bahwa dia tidak tahu, ajarilah dia; orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu, tinggalkanlah dia ” bisa dikata mencerminkan kegelisan Gus Mus pada realitas sosial.

Betapa tidak, ditengah tertapaan sosial, politik, dan himpitan ekonomi rakyat indonesia makin tak berdaya. Rakyat mengalami goncangan psikologis, dan penguasa tidak peka pada keadaaan yang sedimikian berat tersebut. Ada banyak kebijakan tidak pro rakyat dan wakil rakyat masih jauh yang diharapan.

Buku kompensasi, kumpulan tulisan K.H.A. Mustofa Bisri yang lebih popular Gus Mus ini. Menjadi kompensasi tersendiri bagi rakyat Indonesia meskipun, istilah kompensasi menjadi popular bersamaan dengan kebijakan yang tidak popular dengan naik harga BBM, pengertiannya tidak sesempit itu, disamping sebagai obat terapi bagi penguasa yang sering kali kebijakannya terjebak realitas politik.

Membaca buku ini, bisa diterkah dengan ibrah motto diatas; ada tipe orang yang tahu bahwa dia tahu, bertanyalah. Bisa kita maknai Gus Mus sendiri dalam berdakwah ia sering dimentai pendapatnya tentang perkara sehari-hari baik rakyat, penguasa dan ulama sendiri tapi sang empunya tetap menempatkan diri pada porsi sangat sederhana, dan tidak memanfaatkan kehormatan yang didapatkan untuk mencari keuntungan dibalik kebutuhan orang yang membutuhkan dengan diam seribu bahasa bukan berarti tidak peka melihat realitas atas kedzaliman yang meraja rela.

Menjadi bukti bahwa Gus Mus patut menjadi rujukan bertanya bisa dilihat pada kumpulan tulisan ini. Ia banyak menyampaikan lewat media, dia tidak segan-segan untuk sekedar mengkritik penguasa yang lalim atau menjadi metra berbagi kesedihan rakyat dengan tulisannya. Hal ini, mungkin dipengaruhi jiwanya yang selalu teduh, luas akan penghayatan ilmu dan jiwa kebudayaannya yang terpatri dalam hati melengkapi kepribadiannya yang santun. 

Selanjutnya tafsiran, orang tahu dan tidak tahu bahwa dia tahu, bisa berarti pemerintahdan-wakil rakyat kita sudah tahu nasib rakyat yang selalu tertindas dari kebijakn tapi tidak mau tahu, dan ini bisa kita lihat tulisan berjudul kompensasi dan bagaimana geramnya Gus Mus terhadap kebijakan tadi “ pemerintah eksekutif dan legislatif rupanya belajar dari kenaikan BBM sebelumnya yang tidak diikuti oleh program anti kemeskinan yang efektif dan ternyata berdampak sangat luas di masyarakat. Beban rakyat makin terus meningkat karena kenaikan harga pokok. Kaluapun belajar , tapi tidak sampai memikirkan dampak dari kebijakan tadi, baik mental maupun fisik, seperti budaya bergantung dengan menjadikan rakyat malas bekerja dan terjadi kroyokan antar penerima( hal, 36).

Orang yang ketiga ini, bisa kita maksudkan pada rakyat indonesia yang memang dia betul tidak tahu tentang apa dan bagaimana menjadi bangsa dan menjadi manusia seutuhnya, tentunya karena dia menyadari bahwa dia tidak tahu, sebagai orang terdidik jangan selalu membodohi tapi sebaliknya bagimana kita memberikan pendidikan, pengertian, dan menyadarkan bahwa dia manusia yang patut menjadi mendapatkan hak-hak sebagimana mestinya. 

Dan yang terakhir ini, menjadi repot jika ada orang tidak dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu, bagaimana bisa ? ya bisalah !. kalau rakyat, penguasa/ pemerintah, ulama pura-pura tidak tahu apa yang akan diperbuat untuk bangsa dan kebaikan bersama, meskipun hanya untuk diri sendiri. Orang yang seperti ini digambarkan oleh Gus Mus dalam tulisan berjudul Fenomena ada orang berkepala dua , tikus berkolusi dengan kucing dan sebagainya, sungguh betul-betul tidak tahu apa yang akan perbuat oleh dirinya sendiri.

Dari macam-macam orang -orang diatas, tentu kita berpikir akan menjadi orang seperti apa kita ini, termasuk orang tahu dan tahu bahwa kita tahu, atau pilihan yang kedua, orang tahu dan tidak tahu bahwa kita tidak tahu atau lebih tepat pura –pura tidak, kalaupun kita berada termasuk orang yang ketiga juga tidak apa-apa. Karena orang tidak tahu dan tahu bahwa kita tahu, masih ada orang mengingatkan, tapi menjadi orang keempat ini, menjadi sangat naif sudah tidak tahu dan tidak bahwa dia tidak tahu, juga tidak orang mau untuk sekedar mengingatkan kita, karena orang tahu bahwa kita tidak ada gunanya.

Disinilah, pentingnya membaca buku ini. Untuk sekedar tahu bagaimana orang macam orang bersentuhan dengan baik, ulama, rakyat, bahkan gaya kepeminpinan penguasa. Dan patut menjadi pelengkap referensi kita dalam menatap masa depan yang lebih baik. Kalaupun ada kekurangan dalam buku ini, pada sumber tulisan yang dimuat atua disampaikan pada kegiatan apa ? tapi tidak mempengaruhi subtansi penyampaikan ide-ide segar pengasuh pondok pesantren Raudhotul Tholibin sekaligus budayawan NU ini. Karana jarang orang seperti Gus Mus ini, yang berani mengungkap isi hati tampa ada yang tersinggung dan menariknya buku ini ditulis dengan khasnya.

Dan terakhir, buku ini menjadi kompensasi tersendiri bagi Gus Mus, Rakyat Indonesia dan wakil pemerintah Indonesia. Sekaligus kado bagi bangsa mengalami degradasi di era transisi.

Waallahu a’lam bis shawab.

*)penulis santri Pesantren Luhur Husna dan aktif di Pena Pesantren
Read More “GUS MUS Bicara Nasib Rakyat”

Korupsi dilingkaran Kekuasaan


Judul Buku : Kekuasaan Dan Perilaku Korupsi
Penulis        : Saldi Isra
Pengantar  : Mochtar Pabottinggi
Penerbit     : KOMPAS
Cetakan      : I, Januari 2009
Tebal           : xIii +210 hal
Peresensi    : Ahmad Shiddiq Rokib*

Buku Saldi Isra berjudul kekuasaan dan perilaku korupsi merupakan kumpulan tulisan tentang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur pemerintah. Kegelisahan dosen Hukum Tata Negara andalas cukup beralasan atas perilaku tangan-tangan jahil. Seperti dalam pengantar buku ini, Mochtar Pabottinggi mengatakan ada kesalahpahaman dalam memaknai korupsi, sehingga antara pelaku dan masyarakat merasa perilaku tersebut adalah hal yang biasa dan dapat dimafhumi dalam kekuasaan dengan kata lain korupsi sebagai budaya dan terbudayakan.

Memerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, dari sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan. Mati satu tumbuh seribu, kata pepatah.

Salah satu kekeliruan upaya pemberantasan korupsi selama ini adalah terlalu fokus pada upaya menindak para koruptor. Sedikit sekali perhatian pada upaya pencegahan korupsi. Salah satunya lewat upaya pendidikan antikorupsi. Terakhir, era reformasi melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selain diserahi tugas penindakan, juga tugas pencegahan tindak pidana korupsi.

Pendidikan anti korupsi sebagai Jawaban

Tidak ketinggalan banyak pada peranan birokrasi pendidikan pun. Bukan rahasia lagi, jika praktek korupsi di sekolah juga memiliki korelasi dengan lembaga di atasnya, seperti dinas pendidikan. Mereka menikmati keuntungan melalui setoran-setoran atau jasa tanda terima kasih, malah tidak sedikit yang aktif menjadi bagian dari rantai korupsi di sekolah. Dengan demikian, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum kurikulum antikorupsi diterapkan. Mulai mereformasi institusi pendidikan, sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan kekuasaan antara kepala sekolah, guru, dan orang tua murid. Selain itu, terus mendorong upaya peningkatan kesejahteraan guru atau dosen. 

Tentu saja, akan ada perlawanan dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan dari praktek korupsi di institusi pendidikan. Tapi tidak ada pilihan lain, institusi pendidikan sebagai benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi sudah menjadi tempat mempromosikan korupsi, karena itu harus direbut. Kalau itu semua sudah dilakukan, tanpa menggunakan kurikulum antikorupsi pun dengan sendirinya sekolah akan menjadi tempat mempromosikan nilai-nilai antikorupsi, karena memang itu khitahnya.

Ide memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum mendapat respons positif masyarakat. Hasil jajak pendapat harian Seputar Indonesia terhadap 400 responden (27/5), sebanyak 87% menyatakan perlunya memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum. Keyakinan masyarakat juga relatif besar. Hampir 200 responden menyatakan keyakinannya bahwa pendidikan antikorupsi bisa berjalan efektif membendung perilaku korupsi di Indonesia

Pokok Bahasan dalam Mata Ajaran. Pertanyaan muncul, haruskah pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran tersendiri? Mestinya tidak, sebab hal ini malah akan menyusahkan anak didik. Saat ini peserta didik sudah demikian sesak dengan melimpahnya mata pelajaran yang harus dipelajari dan diujikan. Dikhawatirkan anak didik akan terjebak dalam kewajiban mempelajari materi kurikulum antikorupsi. Bisa jadi yang akan muncul adalah kebencian dan antipati pada mata pelajaran antikorupsi. Bukannya pemahaman dan kesadaran antikorupsi.

Pendidikan Nilai, Pendidikan antikorupsi bagi siswa SD, SMP, dan SMU akhirnya memang mengarah pada pendidikan nilai. Pendidikan antikorupsi yang mendukung nilai-nilai kebaikan. Pendidikan yang mendukung orientasi nilai, mengutip Franz Magnis Suseno, adalah pendidikan yang membuat orang merasa malu apabila tergoda untuk melakukan korupsi, dan marah bila ia menyaksikannya.

Menurut Franz Magnis Suseno, ada tiga sikap moral fundamental yang akan membikin orang menjadi kebal terhadap godaan korupsi: kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab. Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi. Menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Seseorang perlu berperilaku jujur bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk.

Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Magnis mengatakan, bersikap baik tetapi melanggar keadilan, tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju kebaikan. Tanggung jawab berarti teguh hingga terlaksananya tugas. Tekun melaksanakan kewajiban sampai tuntas. Misalnya, seoarang diberi tanggung jawab mengelola dana kegiatan olahraga di tempatnya tinggal. Rasa tanggung jawab seseorang terlihat ketika dana dipakai seoptimal mungkin menyukseskan kegiatan olahraga. Menurut Magnis, pengembangan rasa tanggung jawab adalah bagian terpenting dalam pendidikan masyarakat menuju kedewasaan. Menjadi orang yang bermutu sebagai manusia.

Nah, buku Saldi Isra ini, mampu menguraikan dengan bahasa sederhana dan gamblang, perihal korupsi yang begitu rumit, mengurita, dan melibatkan segala kekuasaan. Argumen cerdas didukung data kuat.. sehingga buku setebal 209 halaman ini patut dibaca oleh segala kalangan yang peduli akan pemberantasan korupsi dan membangun nalar anti korupsi.

*) Alumni Pondok Nasy Atul Muta’allimin Sumenep, dan pengelola pondok Budaya ikon Surabaya. 

Read More “Korupsi dilingkaran Kekuasaan”

Dialektika Perubahan di Era Transisi


Judul Buku : TRANSISI PEMBARUAN
Dialektika Islam, Politik dan Pendidikan

Penulis : Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si.

Pengantar : Prof. Dr. HM.Ridlwan Nasir, MA.

Penerbit : LEPKISS

Cetakan : I, 2008

Tebal : 284 hal

Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

“ yang senantiasa berubah adalah perubahan Itu sendiri ”( Cicero). kalimat ini, bukan kalimat tak bermakna dan bebas nilai, aneh, apalagi ditakuti sebagai ancaman yang menghantui pikiran dan pijakan kita untuk melangkah menatap masa depan yang lebih baik. Tak terkecuali pada masa transisi yang menderah bangsa Indonseia. Tentunya ada banyak perubahan mendasar dalam tatanan kehidupan.

Perubahan politik, pendidikan dan religiositas menarik untuk ditelisik. Didalam politik perubahan politik ternyata mengandung paradoks. Disatu sisi ada keteraturan sosial yang dibangun, sisi lain menhadirkan konflik sosial yanga tidak dapat ditolak. Tapi satu hal yang pasti bahwa semua tindakan politik yang dilakukan para elit poltik memilki tujuan yang sama yaitu ingin menciptakan perpolitikan Indonesia yang demokratis. Hanya saja kapan hal tersebut akan dicapai rasanya masih jauh. Dan yang menjadi perhatian dan menyesakkan bahwa kehidupan keragaman yang diwarnai dengan meningkatnya kekerasan. Ada banyak kasus kekerasan mengatas namakan agama, dan turut memancing konflik sosial yang tidak diharapkan. Sedangkan pada dunia pendidikan juga sangat menyedihkan, selain jauh dari perubahan dan cendrung sangat lambat.

Buku Nur Syam berjudul “ Transisi Pembaruan, Dialektiaka Islam, Politik, dan pendidikan. Merupakan kumpulan tulisan refleksi seorang Profesor Sosiolog Islam yang berserakan di Media Massa tentang Gerakan Ke-Islam-an kontemporer, Perilaku (Oknom) Politik dan carut marutnya dunia Pendidikan Indonesia, yang dinilai Laa yamuutu walaa yahya ( tidak bermutu dan tak berdaya ). Hal berupakan menjadi luar biasa karena di saat kesibukan menjadi birokrat Perguruan Tnggi menyempatkan diri menyumbang dan menyalurkan ide-ide segar.

Dalam sub tulisan “Dialektika Politik, Organisasi Keagamaan dan Tradisi keindononesian”, menbaca dinamika Keagamaan dalam Politik, misalnya bagaimana hubungan antara tarekat dan penguasa, dengan memperlihatkan bahwa adanya dinamika relasi integrati-disintegratif dan juga bagaimana geliat politik kiai dan Ulama yang kian memuncak, kemudian refleksi ulang terhadap peran rakyat sebagai ujung tanduk demokrasi, dan pandangan Nur Syam, tentang Politik yang pernah dilahirkan Jam’iyah Nahdltul Ulama.

Masyarakat memang belum bisa sepenuhnya mengelola kebebasan sosial politik. Hal ini, bisa dibuktikan dengan masih ruwetnya persoalan politik dan masih menjadi pekerjaan rumah tentang kesenjangan sosial, rendahnya daya serap pekerjaan, in come perkapita dan kemiskinan hingga konflik sosial dimana-mana.

Sedangkan, problem pendidikan begitu kompleks. Ketika awal reformasi, para pakar pendidikan langsung menyatakan terletak pada sentralisasi seluruh aspek kehidupan. Penyeragaman pendidikan dianggap sebagai ujung tumbak kerusakan pendidikan. Sistem sentralistik tersebut berdasar atas prinsip semua diatur dari pusat dan cendrung tidak memberikan ruang dinamis bagi lokalis.

Kemudian, ada perubahan paradigma dari pola sentralisasi ke desentralisasi yang banyak mengubah mindset perancang dan pelaksana pendidikan dalam berbagai aspek. Dalam UU sistem pendidikan nasional, No. 20 tahun 2003. misalnya, semangat desentralisasi pendidikan untuk mempercepat kemajuan. Isinya pun tentang pendidikan berbasis rakyat, artinya dari rakyat untuk rakyat.

Dan yang menambah ruwet problem bangsa adalah kehidupan keragaman yang semakin keras. Sering, satu sama lain menjadi hakim kebenaran atas yang berbeda. Ada yang merasa agamanya yang paling berhak hidup sedang lainnya dinihilkan. Kemudian ada yang merasa berhak menafsirkan doktrin keagamaannya. Tarik menarik atas tafsir tadi memicu konflik keagamaan. Ada beragama dengan posisi sangat kanan dan ada beragama pada posisi kiri. Ada yang sangat fundamental dan yang liberal. gesekan demi gesekan ini, tidak dapat didinginkan dengan cara keagamaan lebih mengedepankan rahmatan lil alamin dan bahkan diperbutkan terus menerus.

Sebagai tawaran atas problem, dalam menjalani kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, keagamaan, maupun pendidikan agar tetap eksis dan berjalan lancar diperlukan sebuah perjuangan dalam segala hal. Dengan mengedepankan etika perjuangan dijalan masing-masing, utamanya menghadapi transisisi perubahan disektor manapun yang berdampak langsung pada kehidupan.

Buku setebal 284 halaman ini, sarat akan pandangan cerdas dan sangat luas dalam mencermati perubahan yang terjadi, patut diajungi jempol sekaligus apresiasi besar tertujuh padanya. Hingga tidak salah, jika menjadi bahan referensi baik kalangan akademisi, poltitisi, mahasiswa dan pengamat perkembangan ke-Indonesian masa kini. Kalaupun ada beberapa kekurangan pada buku ini, tidak begitu berpengaruh pada subtansi pembahasan. Dengan ini, membuktikan bahwa profesor lulusan Universitas Airlangga ini mampu mendialektikakan perubahan dan pandangannya dengan menjangkau warna-warni yang tak tersentuh dalam aspek kehidupan dengan bekal ilmu sosiologi-religinya.

Dan akhirnya, kalimat “yang senantiasa berubah adalah perubahan Itu sendiri” yang diucapkan Cicero, harus tetap mendapat perhatian dalam menangkap perubahan yang terus-menerus karena kita ada dalam kehidupan dan kehidupan adalah dinamis.

*) Penulis Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabya dan Aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya


Read More “Dialektika Perubahan di Era Transisi”

Misi Profetik Nabi



Judul Buku :ISLAM PROFETIK,
Substansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik
Penulis : Masdar Helmy
Penerbit : IMPULSE Jogjakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : 271 hal
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Kredibilitas agama-agama sedang dipertaruhkan. Agama tiba-tiba menjadi tidak popular dalam melahirkan resolusi konflik harisontal yang justru ditimbulkan akibat gesekan antaragama. Tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang makin menunjukkan gejala tidak sehat seolah tidak mampu diredam agama.

Dan tampaknya penampilan agama dalam wilayah publik sedang mengalami episode antiklimaks atau titik nadir ditengah disfungsionalnya peran agama dalam proses penyelesaiannya berbagai persoalan kemanusian. ia sudah menjadi ironi agama yang yang diturunkan untuk menciptakan ketertiban dalam kehidupan umat manusia justru menjadi triggering factor bagi lahirnya itu sendiri.

Setidaknya problem keagamaan diatas mencerminkan kerisauan penulis dalam buku berjudul “Islam Profetik, Subtansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik. atas fenomena keagamaan masyarakat akhir-akhir ini, agama yang lahir tanpa celah dan mengimban amanat suci, menyebarkan kebaikan dan membangun solidaritas-pruralisme antar beragama menjadi moester-moester menakutkan dengan sejumlah simbol-simbol.

Kemudian atas problem keagamaan tadi, staf pengajar pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya ini, mempertanyakan buruknya sistem penataan agama dalam ruang publik, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apakah amburadulnya penataan ruang publik itu merupakan buah kesengajaan (be desaign) atau justru keteledoran (by accident)? Jika jawabannya adalah yang pertama, maka tidak salah jika kita berasumsi, fundamental ruang publik yang rapuh merupakan resultant dari upaya penggadain ruang publik yang sengaja diciptakan untuk tujuan-tujuan jangka pendek.

Sementara itu, jawaban kedua mengandainkan rapuhnya fundamental ruang publik sebagai wujud kesembronoan, akibat dikeimbangkannya pengembangan platfom pruralisme dan multikulturalisme yang genuine sebagai perekat seluruh elemen bangsa. Hipotisis ini mensyaratkan kesungguhan dan kerja keras seluruh elemen bangsa, utamanya pemerintah terpilih, untuk membangun sebuah cetak biru ruang publik yang fair, adil, dan tidak menindas satu sama lain.

Dan diantara permasalahan agama kontemporer jauhnya semangat kenabian dalam sejumlah kehidupan yakni; kekersan, terorisme, kriminalitas, kemiskinan, kebodohan, pembohan, ketidakadilan, ketertindasan dan lain-lain. Bahkan dari saking pesimisnya terhadap tanggung jawab agama menjawab persoalan yang menggorita diatas, alumni Universitas Melbourne Australia ini, mengibaratkan “mimpi disiang bolong” ketika persoalan agama sendiri belum terpecahkan. Dengan analogi, bagaiman bisa mampu memjawab persoalan umatnya kalau agama sendiri belum mampu membebaskan diri dari kungkungan test yang diciptakan umatnya.

Karena itu, kesadaran profetik meniscayakan dua hal; membebaskan agama lebih dahulu, lalu mengonstruksi agama, berupa cara pembacaan terhadap agama yang sempit, dalam banyak hal justru lebih berbahaya ketimbang musuh dari luar dirinya., disinilah letak pentingnya pembacaan agama yang profetik guna menghadapi berbagai persoalan kontemporer yang makin rumit.

Kesadaran profetik apa sebenarnya yang menjadi tawaran intelektual Muda Nahdlatul Ulama ini, dalam tulisan berjudul “Menuju Pembacaan Agama yang Profetik” ia mengajak segenap insan untuk meresapi penting dan membumikan misi profetk nabi. Karena misi profetik nabi yang paling utama adalah misi pembebasan, yakni membebaskan umat manusia dari segala belenggu dan ketertindasan.

Dari pandangan yang demikian, bisa kita pahami bawa nabi adalah seorang pembebas bagi umatnya. Dalam perspektif universalitas nilai-nilai kemanusiaan, pembacaan profetik terhadap agama akhirnya tidak bisa dihindarkan dari proses bersama pencarian kebenaran seluruh umat manusia melalui agama masing-masing. Agama yang profetik bukan agama yang memaksakan umatnya memasuki pintu tunggal menuju surga, sebab tuhan telah membebaskan umatnya melakukan pembacaan terhadap agamanya sesuai kapasitas yang dimiliki.

Kehadiran buku setebal 271 ini memberikan Pembacaan atas sejumlah test suci agama yang ramah lingkungan dalam ruang publik dengan meresapi nilai-nilai profetik dan seperti diakuai penulis bahwa buku ini adalah kumpulan tulisan artikel yang berserakan dimedia massa nasional dan jurnal, sehingga memungkinkan tulisan lepas tersebut kurang memiliki koherensi yang tinggi, tidak memiliki mata rantai. Karena diakibatkan respon penulis atas sejumlah fenomena sosial-keagamaan yang hadir saat-saat tertentu. Tapi terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam buku ini, masih patut diapresiasi dan layak menjadi referensi yang harus diakui keakuratan dengan validitas datanya.

Akhirnya, membaca buku ini, layaknya membaca realitas sosial keagamaan yang menjadi kegelisahan tiap insan dalam menatap wajah agama-agama yang tidak ramah dalam ruang publik dan subtansiasi nilai-niulai agama dala ruang publik jauh dari harapan. Semoga kita masih rindu nilai-nilai dan semangat Misi Profetik Nabi.





•) pengurus Forum Study Ilmu Sosial dan keagamaan (Fosiska) IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Read More “Misi Profetik Nabi”

Selendang Cinta dari Sang Nabi

s1600-h/nuku+burdah.jpg">

Judul Buku : Burdah Imam al-Bushiri :
Kasidah Cinta dari tepi Nil untuk Sang Nabi
Penulis : Masykuri Abdurrahman
Penerbit : Pustaka Sidogiri
Distributor : Khalista
Cetakan : I, Maret 2009
Tebal : 121 hlm.
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

“Aku tidur dan bermimpi didatangi Rasululah SAW. Beliau mengusap bagian tubuhku yang lumpuh dengan tangannya yang mulia. Lalu beliau memberikan sehelai burdah (Selendang) kepadaku”.

Potongan cerita diatas adalah jalan panjang seorang penyair dalam menyelesaikan syair-syair sanjungan untuk sang nabi yang kemudian sangat terkenal didunia Islam dengan Sebutan “Burdah”. Burdah merupakan karya al-Buzairy yang sangat fenomenal ketimbang karyanya yang lain, kemashurannya memang telah muncul sejak awal bukan hanya karena faktor keindahan bahasa atau kualitas penulisnya, namun ada faktor keajaiban supranatural didalamnya.

Tak heran, sebab susunan bahasanya indah lagi mudah dilagukan. Burdah memang satu-satunya bentuk puisi dalam khazanah kesustraan arab yang paling kuat bertahan. karena, mudah dihafal, berbobot, karya estitik, romantik, dan memang telah banyak orang yang menghafalnya di luar kepala. Makanya sebagian sastrawan arab pun ada yang mencoba untuk menirukan. Dan para kritikus sastra arab pun mengakui keindahan burdah yang semula memandang remeh berbalik arah mengaguminya. Menurut de Sacy, seorang pengamat satra arab bahwa diera kontemporer saat ini, Burdah tidak tertandingi.

Buku ini merupakan ulasan atas burdah sendiri yang diperuntukan bagi kaum muslim agar lebih paham maksud dan isi burdah itu sendiri. Burdah terdiri dari 160 bait, berisi padat anasir nasehat beserta peringatan, baik soal angkara nafsu, pujian kepada nabi, keagungan al-qur’an, peristiwa isra’ mi’raj, jihad prajurit Nabi Muhammad SAW. Munajat-Munajat, serta shalawat pada Nabi, Shahabat, dan keluarganya. Bahwa hakikat cinta pada Nabi SAW. Bukanlah menganggap beliau sebagai tuhan melainkan menyanjung Rasullah adalah sebagai manusia pilihan yang diutus sebagai utusan tuhan.

Seperti sebuah magnet, burdah mampu menyihir pendengar dengan khikmat bila dilantunkan pada perhelatan, baik dibaca sendiri secara solo maupun koor. Semangat pendengar makin terpompa, harapan sudah di depan dan spirit kecintaan pada kekasih Allah SWT. Untuk mencintai kekasih, al-qur’an mengajarkan dan menganjurkan kepada umat islam, sebagaimana yang tertera dalam kitabullah yang artinya “sesungguhnya Allah dan para Malaikat ber-salat atas nabi, hai orang-orang yang beriman salat-lah atas dan berilah salam dengan sehormat-hormatnya salam” (QS al-Ahzab 33:56).

Namun, seiring fenomenalnya Burdah bukan tanpa hambatan dan tantangan dalam menyampaikan risalah lewat syair-syair yang ditujukan pada sang baginda Rasulillah Muhammad SAW. Baik penulis Burdah ataupun Pengagumnya kaum Muslimin. Ada banyak hal, rintangan yang membuat Burdah harus dijauhi dan dibuang jauh dari dunia muslim. Pertama al-Bushiry dianggap penyair kontroversial karena kecendungannya mengejek orang lain menggunakan sajak-sajaknya dan hanya mencari keuntungan dari kepandaiannya dalam bersyair, mengubah sanjungan untuk penguasa Mamluk yang menguasai Mesir pada saat itu. Al-busyiri tidak memperhatikan apakah penguasa itu baik atau tidak.

Kedua datangnya kritikan dari pengikut Ibnu Taimiyah dan diteruskan oleh kaum Wahabi. Mereka menganggap Burdah termasuk bagian dari Ghuhuwwul mutashawwifah fi madhin Nabi, kelompok sufi yang keterlaluan ekstrem menyanjung Rasullah. Bahkan, sebagian mereka menganggap Burdah menampilkan kesyirikan karena dianggap memanjat doa kepada nabi Muhammad SAW. Dan ketiga merupakan pengalaman al-bushiry dalam proses penyelesaian sajak-sajak buat baginda nabi, beliau menagalami kelumpuhan yanga sangat parah sehiungga tidak bisa melanjutkan karangan syair-syair hingga ia bermimpi bertemu nabi dan nabipun mengusapnya disertai memberi selendang ( Burdah ), hingga ia bangun dan sembuh.

Terlepas, pro-kontranya atau bagiamana berliku proses dan perjalannan Burdah tetaplah sebuah mahakarya yang diakui kalangan luas dan dibaca ribuan umat islam untuk mengenang sang pelita hati. Selanjutnya, meskipun menurut Dr.Ali Najib Athawi bahwa secara kesustereaan beberapa sajak al-Bushiri lebih indah dan cerdas dibanding sajak Burdahnya Kaab bin Zubair dan namapun diambil dari sajak nya (tabarrukan). Tetaplah sajak-sajak Kaab bin Zubair lebih agung kedudukan dari pada al-Bushiry karena memiliki keistimewaan dibaca dihadapan Rasullah dan Rasullah langsung memberikan cindera mata berupa selendang kepada Kaab di Dunia nyata.

Terakhir, buku karangan Masykury Abdurrahman ini patut mendapat tempat dihati kaum muslim tidak hanya menjadi pelengkap dari Burdah al-Bushiry dan Burdah Kaab bin Zubair tapi memjadi referensi untuk menambah penghayatan kita atas perjuangan rasul, dan menambah spirit kita demi tegaknya Izzul Islam wal Muslimin.


Penulis Alumni Pondok Pesantren Nasy’Atul Muta Allimin Gapura -Sumenep dan Aktif di PENA PESANTREN Surabaya.
Read More “Selendang Cinta dari Sang Nabi”

Amplop Kletek Gus Mus



Judul Buku :Percik, Coretan & Siratan
Penulis :A.MUSTOFA BISRI
Penerbit :Mata Air Publishing
Cetakan :I, Maret 2009
Tebal :73 hlm
Peresensi :Ahmad Shiddiq Rokib*



Sosok Gus Mus di dunia sastra bukanlah hal baru, aneh dan menakut, meskipun menyandang gelar “ulama”. Memang sastra dan seni merupakan hal universal yang tak terbelenggu oleh sekat-sekat, antara satu manusia ke manusia lain. Dengan demikian, semakin jelas bahwa Gus Mus adalah sosok manusia yang mampu melintasi ruang keulamaannya tanpa harus kehilangan roh dan identitasnya. karya-karyanya berberserakan dalam bentuk buku dan tersebar di berbagai media nasional dan lokal.

Buku berjudul “Percik, coretan & Siratan” ini merupakan kumpulan lukisan Gus Mus yang dilukis pada amplop yang Akan dikirim pada temannya. Seperti yang diceritakan Gus Mus saat dia sedang akan mengamati surat yang hendak dikirim, amplop yang ada didepan mejanya. Tiba-tiba beliau teringat pada pipa rokoknya yang belum dan saatnya untuk di bersihkan, saat dibuka kletek, residu rokok, dalam pipanya menetes ke amplop. sambil membersihkan pipa tadi, beliau memandangi amplop yang putih. Alangkah terkejutnya, ketika melihat keindahan yang belum ia lihat pada lukisan-lukisan warnanya berkarakter dan sulit dicari padanannya.

Saat itulah, Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin ini, makin tidak sabar kalau melihat amplop di depannya dan mulailah corat- coret dengan kleteknya. Ternyata kiriman surat dari berbagai koleganya bermunculan dan mengatakan bahwa ia senang atas gambar kleteknya. Sebagai penyair sekaligus pelukis Gus Mus adalah seorang yang secara total menghayutkan dirinya dalam telaga kehidupan. Dengan berbekal kejujuran nuraninya, ia selalu menghayati dan memberi kesaksian hidup, baik hidup jiwa personal maupun komunalnya.

Penyair atau pelukis seperti dirinya adalah orang berkesadaran bahwa anugerah dan hikmah kehidupan bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain juga. Kesadaran personalnya juga berangkat dari penghayatan sosial karena seorang penyair dan pelukis selalu melakukan apa yang disebut transpersonalisasi atau transubjektivitas kehidupan. Nah, ini yang terlihat dari lukisan dan puisi penjelas lukisannya “Keindahan ada/ dimana-mana/ asal/ kau tahu tempatnya” dan “ketika engkau/ tak menyadari/ keindahanmu/ tiba-tiba engkau semakin indah”.

Sebagai hasil kebudayaan, lukisan memang selalu berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan serta perkembangan masyarakat yang menghasilkan kebudayaan itu.

Kerananya, setiap batasan yang ada seharusnya selalu diperhitungkan sifat relatifnya, dan konteks manakah yang dijadikan pijakan batasan itu. Yang jelas, apapun corak dan ragamnya meniscayakan yang hakiki dan universal.

Buku hasil lukisan Gus Mus ini, seperti diakui, Prof. Edy Sedyawati, meskipun antara amplop dan residu rokok adalah dua media yang tidak ada relevansisinya baik dalam segi fungsi ataupun penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun pandangan Gus Mus dua media ini dapat menciptakan dan mampu melahirkan suatu gagasan untuk di ekspresikan serta dikreasikan menghasilkan karya seni lukis yang unik.

Seperti puisi pinggiran lukisannya .“ seandainya aku sengaja/ melukis gejolak hatiku /tentu aku kesulitan memilih warna /dan/ terutama menyusun komposisinya”
Perbedaaan yang ada diantara dua media tersebut terletak pada titik berat keterkaitan objek, atau “Dunia lukis” yang ditampilkan dengan media, yakni keterkaitan antara pelukis, denga objek itu sendiri, dengan realitas, dan dengan audiensi. Dalam kaitan ini, apa pun yang menjadi titik berat keterkaitannya, tetap terdapat satu hal yang mengikat, yakni bahasa lukisan dan maknanya. Pemanfaatan media ataupun realitas dalam lukisan memang berbeda dengan pemakaian pada umumnya. Hal ini secara intingtif disadari oleh kebanyakan penikmat lukisan, bahkan penikmat tak terpelajar sekalipun.

Dalam sejumlah hal, media lukisan memang menggunakan berbeda dengan sarana sehari-hari atau yang sering kita jumpai, terutama dalam hal strukturnya. Sarana lukisan seolah-olah memiliki/menjadi semacam perangkat khusus. Meskipun terjadi penyimpangan secara normatif, ini di mungkinkan demi pencapaian tujuan estetis. Karya estetis yang memanfaatkan media secara khas, hal ini sejalan dengan pandangan yang menyatakan bahwa jika suatu realitas yang memanfaatkan media lukisan yang bersifat “luar biasa”, maka akan menghasikan yang luar biasa juga.

Al-hasil lukisan Gus Mus inilah yang memang luar biasa, hingga ada seorang kawan pelukis dan pematung yang tertarik pada amplop kleteknya dan mengusulkan untuk dipamerkan, meskipun Gus Mus Sendiri belum yakin amplop-amplop buatannya untuk dipamerkan. Hingga pada suatu saat dari” Rumah Dongeng Indonesia” datang bermaksud untuk memamerkan, kemudian dilaksanakan pada tanggal 20-23 Desember 1997 di Gedung Seni Rupa DEPDIKBUD Jakarta dengan tema “99 Lukisan a. Mustafa bisri”
Demi tercapainya penghatan komunal tadi, buku ini hadir dan merupakan coretan kegelisan Gus Mus atas karya yang luar biasa. Dengan menyajikan lukisan hasil perpaduan antara residu rokok dan amplop yang telah dikirimkan pada kolega lengkap puisi penjelas dengan media atau sarana sepele ini menjadi sesuatu yang tidak bisa disepelekan begitu saja, karya ini patut dibaca dan dinikmati estika lukisan yang secara normatif berbeda dengan lukisan lain. Akhirnya, fungsi lukisan Gus Mus bukan semacam karya yang lain, dimana karya mereka mengambil tempat di dunia seni rupa. Tapi karya-karya Gus Mus ini mengmabil tempat dihati kita, lebih condong kepada “cara-cara itikaf yang memadai” dalam menagurngi lautan kehidupan yang makin hari makin ganas.

*)Penulis Pengelola Pondok Budaya Ikon Surabaya
Read More “Amplop Kletek Gus Mus”

Teka-teki Keindahan Sastra Al-Qur’an


Judul Buku:STILISTIKA Al-QUR’AN

Makna dibalik kisah Ibrahim

Penulis : Dr. Syihabuddin Qalyubi

Penerbit : LKIS Yogyakarta

Cetakan : I, Januari 2009

Tebal : xii+258 hlm.

Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Banyak Orang yang tertarik pada Al-Qur’an, Namun tanpa dapat Menjelaskan mengapa mereka kagum dan tertarik. Pesona Qur’an sebenarya bukan karena faktor dogma teologis yang mengharuskan orang beriaman untuk mengagungkan dan mengimaninya, melainkan ada faktor inheren dalam teks Al-Qur’an itu sendiri. Teks Al-Qur’an memang mengandung sesuatu yang dapat memikat pembaca atau pendengarnya.

Buku karangan Dr. Syahabuddin Qulyubi ini mengkaji teori stilistika dan bagaimana menerapkan dalam kisah yang termuat dalam Al-Qur’an. Meskipun didalamnya terdapat banyak sekali kisah, namun pembahasan yang dipilih oleh Doktor lulusan Universitas Sunan Kalijaga adalah seputar kisah Nabi Ibrahim, seperti yang diakui penulis bahwa daya tarik penelitian kisah nabi Ibrahim terletak pada tersebarnya ayat yang menjelaskan tentang nabi Ibrahim dihampir surat Al-Qur’an, berbeda dengan kisah nabi Yusuf yang hanya terdapat pada satu surat saja.

Buku ini sebuah penelitian hasil disertasi yang pembahasan disajikan dalam empat bab. Pada bagian pertama, pembaca diajak wacana stilistika kesebuah disiplin ilmu. Bagian kedua membahas unsur-unsur pembentukan wacana nabi Ibrahim, juga membahas aspek leksikal, gramitika, gaya bahasa retoris dan kiasan, seta kohesi. Bab ini, merupakan aplikasi teori yang telah dibahas sebelumnya. Bagian yang ketiga berisi tentang gaya pemaparan kisah, gaya, dialog dan repitisi, juga analisis kisah nabi Ibrahim, sehingga diperoleh informasi tentang kekhasannya. Bagian pemungkas menuturkan kesimpulan penulis buku sekaligus saran.

Al-Qur’an sebagai kitab sastra mempunayi kesamaan dengan kitab sastra arab lainya, yang juga dalam pemilihan kata menggunakan sinonim, polisemi, kata-kata asing dan kata-kata khas. Hal ini, menunjukkan bahwa bahasa Qur’an menggunakan bahasa arab yang membumi, bukan “bahasa langit” yang jauh dari bahasa manusia. Tetapi, dalam pemilihan-pemilihannya itu mempunyai kekhasan tersendiri, yang terdapat dalam pemilihan kata, kalimat, dan wacananya.

Pemilihan unsur-unsur pembentukan wacana kisah nabi Ibrahim, baik berupa pemilihan kata maupun kalimat adalah untuk mendukung makna dan nuansa yang akan ditampilkan. Sering terjadi subtansi makna yang ditampilkan itu sama, tetapi dalam nuansa yang berbeda sehingga kata atau kalimat yang dipergunakanpun berbeda. Dengan kata lain, kata atau kalimat tidak disusun hanya demi keindahan semata, melainkan untuk mendukung makna karena makna merupakan tujuan sebuah tuturan, sedangkan kata atau kalimat merupakan mediasi untuk mencapai tujuan tersebut. Meskipun demikian itu, tidak mengorbankan kata atau kalimat. Bahkan tiap kata ada dalam batasan semantiknya, dan masing-masing kalimat ada dalam jangkauan fungsi. Semuanya ini, bisa saling mendukung dalam pilihan dan batasan yang tepat.

Dari kisah dalam Al-qur’an yang sangat banyak, diantaranya kisah nabi Ibrahimlah yang dominan sebanyak 186 ayat tersebar dalam 25 surat Al-Qur’an Seperti yang dipaparkan oleh penulis buku ini bahwa kisah nabi Ibrahim bukan karya sastra gaya bebas, baik dalam tema, teknik pemaparan, maupun setting peristiwa-peristiwanya, sebagimana pada umumnya, melainkan suatu media untuk mencapai tujuan yang mulia. Tema, teknik pemaparan, dan setting peristiwa senantiasa tunduk pada tujuan keagamaan, namun ketundukan ini tidak menghalangi munculnya karakteristik seni dalam pemaparannya sehingga kisah Ibrahim dalam Al-Qur’an merupakan perpaduan antara seni dengan aspek keagamaan.

Jika disimak gaya bahasa Al-qur’an dalam menuturkan kisah maka akan terlihat bahwa berbagi macam gaya bahasa yang ada pada zaman modern ini, ternyata sudah digunakan dalam kisah nabi Ibrahim kurang lebih 14 abad yang lalu. Dengan ini, menandakan bahwa Allah sudah menyesuikan dengan gaya bahasa tuturan manusia modern dan cocok sepanjang masa.

Tentunya, sebagai sebuah disiplin ilmu, stilistika memeng masih sangat mudah bahkan terlalu sangat muda untuk dianggap mapan. Kemandirian sebagai disiplin ilmu, terutama pada tradisi keilmuan Arab, masih banyak kontoversi. Ia banyak ia banyak bergantung pada ilmu lain, baik ilmu bahasa maupun sastra. penyerapan yang besar dari materi-materi ‘Ilmu al Balaghah membuat banyak kalangan memasukkannya ke dalam wilayah kajian Balaghah bahkan terkatagorikan pada Balaghah al-Mu’ashirah (Kontemporer).

Untaian singkat tentag buku ini, kehadirannya dapat membantu seseorang dalam menafsirkan Al-qur’an, meningkatkan apresiasi umat islam terhadap gaya bahasa Al-Qur’an, kemudian memahami dan menikamatinya. sehingga karya ini sangat penting bukan hanya untuk kalangan akademis, melainkan juga untuk kalangan umum yang berkeinginan memahami dan menikmati bahasa Al-qur’an. Ditengah derasnya kajian ( hantaman! ) barat yang mempersoalakan otentisitas dan keutuhan Al-Qur’an, buah pikiran seperti ini diharapkan sangat diharapkan menjadi penyejuk dibawah panasnya terik yang membakar. Dengan demikian, semakin jelas bahwa Al-Qur’an memang menjadi teka-teki penuh dengan keindahan sastrawi, tiap titik dan komanya. Anda tertarik ? silahkan baca.

.

*) Penulis Alumni Pondok Pesantren Nasy-Atul Muta’allimin Gapura timur-Sumenep dan Pengelola Pondok Budaya Ikon Surabaya


Read More “Teka-teki Keindahan Sastra Al-Qur’an”

ASWAJA dan Tantangan Multikulturalisme



Judul Buku :Tantangan Multikulturalisme di Indonesia, 
dari Radikalisme Menuju kebangsaan 
Penulis : Prof. Dr. H Nur Syam, M.Si
Penerbit : IMPLUSE Jojakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : 282 hal
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*
“Jika Kita memiliki Pemimpin yang mengerti pentingnya keberagaman ( Multikulturalisme ), maka kita dengan sendirinya akan beruntung, tetapi jika kita mengutamakan keseragaman, maka mau tidak mau kita lalu menyimpang dari semboyan ; Bhinneka Tunggal Ika” ( Gus Dur).
Pernyataan Gus Dur, ada benar karena pada saat ini, bangsa Indonesia mengalami disintegrasi yang makin tajam dan kuat intensitasnya berupa sentimen kelompok berbau SARA, dan jika tidak ditanganin secara serius, tidak menutup kemunkinan bangsa sebesar Indonesia, akan terjadi perpecahan dan perang antar saudara, akibat tidak memahami arti perting perbedaan antar elemen bangsa.
Dalam buku Tantangan Multikulturalisme di Indonesia, karangan Prof. Nur Syam ini, mengulas dinamika gerakan keagamaan yang menjadi batu sandungan Multikulturalisme dan Cita-cita paham Akhlusunnah Wal jama’a. Pasca reformasi, ia melihat gerakan keagamaan yang cendrung radikal seperti momentum yang sangat kuat untuk berkembang. Gerakan keagamaan seperti ini ditandai dengan sekuarang-kurangnya tiga hal, yaitu: kembali kepada islam sebagaimana dilakukan oleh ulama sholeh, penerapan syariah dan khilafah islamiyah, dan kecendrungan menolak produk barat. Gerakan teo-demokrasi tentunya bukan isapan jempol. Gerakan ini berkembang, terutama dikalangan generasi muda, karena tawaran-tawaran problem solving yang dianggap relevan ditengah berbagai kehidupan yang semakin kompleks, padahal hanya kamuflase.
 Nah, menurut pandangan orang-orang memahami multikulturalisme, perbedaaan kebudayaan adalah bagian dari ciri kehidupan bermasyarakat dan merupakan keniscayaan yang harus dihargai. Makanya, di dalam kerangka saling menghargai pemahaman itu diharuskan untuk saling tidak memaksakan pendapat, apalagi yang menyangkut kepentingan publik yang multikultural.
Lalu, Aswaja yang menjadi jalan tengah dan mampu mengakomodasi kesenjamgan antar elemen masyarakat juga tidak luput dari tantangan serupa, baik gerakan ekslusif maupun gerakan inklusif. Tentu aswaja yang menjadi doktrin terbuka lebih dekat pada yang inklusif atau pribumisasi islam. Yaitu corak yang islam yang memiliki kedekatan bahkan akomodasi pada akomodasi budaya lokal. 
Dan disatu sisi, dalam pemikiran dan praksis islam juga muncul gerkan-gerakan islam fundamendal yang tujuan untuk menjaga genuitas islam. Secara transplanted muncul Ikhwanul al-Muslimin yang semula tumbuh dan berkembang di Mesir, Hizbut Tahrir yang tumbuh di Libanon dan gerakan-gerakan fundamental lain yang tumbuh dan berkembang di Indonesia seperti Front Pembela Islam ( FBI ), Lasykar Akhlus Sunnah Wal Jama’ah dan sebaginaya. 
Meskipun memiliki perbedaan dalam cara pandang dan metodologi gerakan, tetapi ada kesamaan dalam visi dan misinya. Diantanya: mendirikan khilafah, mengikuti ulama salaf yang saleh, memusuhi barat sebagi setan dan memusuhi islam liberal, hal inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi tercapainya Akhlusunah wal Jama’ah dan Multikuturalisme di Indonesia.
Dalam buku Pendidikan Multikultural choirul Mahfud , mengatakan bahwa menjadi penting dan sangat mendesak dinegara yang masyarakatnya semakin majemuk. Karena pertama penyelenggaraan pendidikan multikultural diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi dimasyarakat, khususnya yang kerap terjadi di Indonesia yang secara realitas prural. Dengan kata lain pendidikan multikultural dapat dijadikan sarana alternatif pemecahan konflik sosial, budaya dan gerakan keagamaan masyarakat yang cendrung puritan. Spektrum kultul masyarakat Indonesia yang amat beragam ini, menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi sesuatu aset, bukan sumber perpecahan. 
Kedua upaya pembinaan terhadap siswa agar tidak tercerabut dari akar budaya indonesia yang dimeliki sebelumnya, tatkala ia berhadapan dengan dengan realitas sosial-budaya diera globalisasi, pertemuan antar budaya menjadi ancaman serius bagi anak didik. Ketiga mengujudkan masyarakat yang multikutural, sebab dalam masyarakat Indonesia yang multikultural dengan bhinneka tunggal ika bukan hanya dimaksudkan keanekaragaman suku bangsa an sich, melainkan juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat indonesia secara keseluruhan. Eksistensi keragaman kebudayan tersebut selalu dijaga yang bisa tampak dalam sikap saling menghormati, menghargai, toleransi antar kebudayaan lainnya Dengan pendidikan multikultural tersebut dapat membuahkan hasil harmonisasi agama. Artinya, didalam harmoni itu terpancar “kesadaran bersama” untuk mengujudkan agama sesuai dengan fitrahnya masing-masing akan tetap toleransi dan tenggang rasa yang mendalam mengenai adanya perbedaan dan sekaligus kesamaan didalam agama-agama. 
Kesalehan teologis adalah ciri khas masing-masing agama yang tidak bisa dikompromikan, namun kesolehan sosial adalah adalah ruang humanitas yang bisa ditoleransikan dan sekilgus dikerjasamakan. Dan islam sendiripun, perbedaan budaya adalah bagian keniscayaan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan sekaligus mengakui dan menghargai perbedaan yang ditampakkan dengan wajah bangsa, etnis, tradisi, dan berbagai tindakan lokal yang bersifat diversifikatif.
Kehadiran Buku Terbitan IMPULSE ini, merupakan salah satu karya penting yang bisa dijadikan rujukan bagi seluruh elemen masyarakat yang ingin menelaah secara lebih mendalam tentang diskursus tentang multikultural yang saat ini sedang ramai diperbincangkan oleh berbagi kalangan, baik akademisi pendidikan, budayawan, dan aktivis LSM yang sedang mengeluti masalah-masalah multikulturalisme, termasuk para agamawan yang perhatin pada bangsa yang menghadapi radikalisme agama.
Tak pelak, profesor ilmu sosiologi islam ini, mampu memadukan kegelisan penganut paham Aswaja dan Multikulturalisme, karena pemikiran aswaja terus seirama dengan dinamika zaman dan tuntutan kebutuhan masyarakat ditengah kehidupan yang makin globalisti dan kapitalistik.
Jadi, indonesia yang seperti mozaik akan semakin kaya keberagaman budaya. Jika multikulturalisme dijadikan landasan menghormati dan menghargai terhadap segala bentuk keberagaman dan perbedaan, baik etnis, suku, ras, agama, maupun simbol-simbol perbedaan lainya menjadi penting untuk ditanamkan dalam dunia pendidikan. Sebab media pendidikan amat strategis untuk menyemai nilai-nilai multikultural dan diyakini mampu mencetak seseorang siapa saja, seperti profesor, koruptor, birokrat, pejabat maupun penjahat. Sehingga, dirasa kurang dan tidak menjadi manusia Indonesia yang baik, kalau tidak mengerti sekaligus mengenal multikulturalisme.

*) Penulis Mantan Aktivis Ikatan Pelajar Nahdlatu Ulama Gapura Sumenep.
HP: 081938398773
Read More “ASWAJA dan Tantangan Multikulturalisme”