Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

Jejak Sjahrir yang Terlupa


Judul : Mengenang Sjahrir. Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan
Penulis : H. Rosihan Anwar
Penerbit : Gramedia, Jakarta
Cetakan : I, Marat 2010
Tebal : 508 hal.
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Kedewasaan berpikir suatu bangsa dapat diukur dari sikap terbuka untuk membicarakan kembali secara rasional dan wajar tokoh-tokoh sejarahnya. Pembicaraan kembali itu menunjukkan adanya kebutuhan rohani untuk meninjau kembali penilaian mereka sehingga dapat dicapai suatu persepsi yang lebih matang tentang tokoh-tokoh yang bersangkutan. Usaha ini mencerminkan dinamika bangsa itu, yang senantiasa berikhtiar untuk wawas diri dalam rangka mengenal diri secara lebih mendalam. Dari pengenalan diri itu diharapkan tumbuh strategi pembangunan manusia dewasa.

Tema sentral buku Sjahrir yang ditulis oleh wartawan senior, dari kumpulan karangan ini adalah seorang tokoh nasional yang secara menentukan telah memberi arah dan isi kepada arus revolusi Indonesia dalam suatu kurun sejarah yang penuh emosi dan kekacauan. Jangka waktu hidupnya yang merentang lebih dari setengah abad (lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, 5 Maret 1909 dan meninggal 9 April 1966 di Zurich, Swiss) penuh dengan tantangan dan perjuangan. Dia tumbuh sebagai manusia utuh. Dia menjadi korban orang yang bersikap tak acuh dan membencinya, sekaligus menjadi pujaan banyak orang yang mengagumi dan mencintainya. Penilaian yang objektif terhadap tokoh yang sudah meninggal ini sekarang sangat dibutuhkan oleh generasi tua dan muda. Dan bangsa ini ditantang untuk mengukur kedewasaan berpikirnya dalam menilai kembali kepribadian Sjahrir.

Sjahrir, menyelesaikan sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan pada 1926. Sejak remaja, ia sudah menggemari berbagai buku-buku asing dan novel Belanda. Juga senang seni, dimana kadangkala ia mengamen di Hotel de Boer, hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih. Setamat dari MULO, ia masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung. Di sekolah ini, bakat seninya makin berkembang setelah dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis). Di sini, ia berperan sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor.

Dalam perjalanannya, akhir tahun 1931, Syahrir kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Ia bergabung dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), yang kemudian pada Juni 1932 dipimpinnya. Ia pun mempraktekkan dunia proletar di tanah air. Ia terjun dalam pergerakan buruh. Juga banyak menulis tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Juga sering berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Kemudian, Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia. Hatta menyusul kembali ke tanah air pada Agustus 1932. Hatta tampil memimpin PNI Baru bersama Syahrir. Organisasi ini berhasil mencetak kader-kader pergerakan. Bahkan pemerintahan kolonial Belanda menilai, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru itu justru lebih radikal daripada gerakan Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. Menurut polisi kolonial, PNI Baru cukup setara dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi, tetapi secara cerdas, berhasil mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.Sehingga, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda memenjarakan dan membuang Syahrirdan Hatta, serta beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul. Setelah hampir setahun Syahrir dan Hatta dipindahkan ke Banda Neira, di sini mereka menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

Pada masa pendudukan Jepang, Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif
Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.

Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan." Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan. (hlm, 56)

Mengenang Sjahrir adalah kumpulan karangan dari kenalan-kenalan Sjahrir. Mereka memahami makna julukan "Bung Sjahrir", "Bung Kecil". Kata-kata itu menunjukkan hubungan emosional mereka. Bacaan ini tidak hanya dimaksudkan untuk generasi tua yang punya kenangan tentang Sjahrir, tetapi terutama untuk generasi muda yang ingin menentukan sikapnya sendiri terhadap tokoh-tokoh nasional. Setiap generasi merasa perlu menentukan sendiri makna sejarah setiap tokoh nasional dengan melihatnya dari sudut keperluan, aspirasi, dan nilainya sendiri.Usaha suatu bangsa untuk secara terus-menerus menginterpretasikan kembali sejarah nasionalnya memang sarana mutlak dalam meningkatkan kesadaran diri dan pengetahuan tentang diri sendiri. Dan kisah tentang tokoh sejarah seperti Sjahrir merupakan suatu contoh usaha semacam itu.

Buku ini, mengupas tuntas perjuangan seorang pahlawan yang sedemikian objektif, karenanya buku setebal 508 patut direkomendasikan dan dibaca pada sejarawan, akademis, mahasiswa dan siapa saja yang menaruh perhatian pada proses terbentuk republik ini. Dengan demikian, menjadi memoar yang tak terlupakan dari perjalanan putra terbaik bangsa Indonesia sepanjang masa.

*) Penulis adalah pengelola Pondok Budaya Ikon Surabaya
Read More “Jejak Sjahrir yang Terlupa”

Imam Syafe’i dalam Yurispundensi Islam


Judul Buku : FIQIH IMAM SYAFI’I
Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasar Al-Qur’an Dan Hadits
Penulis : Prof. Dr. Wahbah Zuhaili
Penerbit : Almahira, Jakarta
Cetakan : I, Februari 2010
Tebal : 716 hal.
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Fiqih merupakan cabang ilmu keislaman yang mengkaji hukum syariat yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan ( hablum minallah) dan hubungan antar sesama manusia (hablum minannas). Kata “fiqih” sendiri secara bahasa berarti “paham”. seperti dikutip dalam hadits diatas, awal mulanya fiqih pengertian yang luas, yaitu pemahaman yang mendalam terhadap islam secara utuh. Definisi ini berlaku pada masa generasi sahabat dan tabi’i. Selanjutnya pada masa muta’akhirin (abad IV-XII H), fiqih mengalami penyempitan makna, menjadi “pengetahuan hukum syara’ yang bersifat alamiyah bersumber dari dalil-dalil yang spesifik”.

Pada periode Mutaakhirin ini, pula terjadi pelembagaan fiqih dalam beberapa madzhab. Ketika itu ada empat madzhab besar berkembang dan mampu bertahan hingga saat ini, yaitu Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab syafe’i dan Madzhab Hambali. Empat madzhab tersebut tersebar keseluruh dunia, termasuk di Indonesia. Berdasarkan sejarah masuknya Islam ke Nusantara, Madzhab Syafe’i lah yang pertama kali di anut penduduk Nusantara. Dan saat ini mayoritas kaum muslimin indonesia bermadzhab Syafe’i.

Madzhab Syafe’i yang digagas oleh Muhammad bin Idris as-Syafe’i (150-204 H) mendapat apresiasi yang luar biasa dari umat Islam dunia. Madzhab ini dianut oleh kurang lebih 28 persen populasi muslim dunia, atau sekitar 439,6 juta jiwa dari 1,57 miliyar penduduk dunia. Penganut Madzhab Syafe’i tersebar di Mesir, Arab Saudi, Suriah, Indonesia, Malasyia, Brunai Darussalam, Pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain.

Tidak heran jika pengaruhnya sangat luar biasa dalam yurispundensi Islam sebab Imam Syafe’i memang dikaruniai kecerdasan istimewa, kemampuan nalar dan gaya bahasa yang luar biasa. Pada usia 20 tahun ia sudah hafal kitab “al-Muwaththa’” karya monumental Imam Malik. Imam Malik mengagumi Imam Syafe’i sembari berkata “wahai Muhammad (Syafe’i)” sesungguhnya Allah telah memancarkan cahaya hatimu, maka jangan engkau sia-siakan cahaya itu dengan maksiat. Esok akan banyak orang yang berdatangan untuk belajar kepadamu. Pujian Imam Malik benar menjadi kenyataan. Syafe’i kemudian Imam madzhab panutan umat diberbagai belahan dunia Islam, termasuk di Indonesia.

Madzhab Syafi’i, satu dari sekian banyak madzhab fiqih saat ini masih mendapat apresiasi luar biasa mayoritas kaum muslim dunia. Keunggulan utama madzhab Syafi’i terletak pada sifatnya yang moderat. Di awal pertumbuhannya, pendiri madzhab ini, Muhammad bin Idris as-Syafi’i (150-204 H), mengakomodasi dua aliran hukum islam yang berkembang saat itu, yaitu aliran tektualis (madrasatul hadits) dan aliaran rasionalis (madrasatur ra’y). Hasil kolaborasi keduanya dapat dilihat dari produk hukum Imam Syafi’i yang selalu mengacu pada subtansi nash (al-Qur’an dan as-Sunnah), kemudian dalam kasus tertentu dipadukan dengan dalil analogi (qiyas).

Sebagai bapak Ushul Fiqh, Imam syafi’i mewariskan seperangkat metode istimbath hukum yang berfungsi untuk menganalisasi beragam kasus hukum baru yang terjadi dikemudian hari. Dari tangan Imam Syafi’i lahir ribuan ulama yang konsen menafsirkan, menjabarkan, dan mengembangkan pemikiran beliau dalam ribuan halaman karya dibidang hukum Islam. Tidak heran jika dinamika perkembangan Madzhab ini melampaui Madzhab lainnya.
Buku yang terdiri tiga jilid yang ditulis Prof. Dr. Wahbah Zuhaili ini, memuat ribuan kasus yang terjadi masyarakat, yang dibidik dengan aturan hukum islam dalam berbagai aspek kehidupan yang bersumber dari al-qur’an, as-sunnah, ijma’ ulama dan qiyas serta hasil ijtihad Imam Syafe’i dan murid-murid beliau.

Secara garis besar, Masterpiece Prof. Dr. Wahdah as Zuhaili ini disusun dalam lima bab. Sebagai pendahuluan, pembaca akan diajak menelusuri biografi dan pemikiran hukum Imam Syafe’i. Selanjutnya secara sistematis, Prof. Wahbah mengurai secara detail hukum thaharah dan ibadah, pada bab satu. Bab dua menyajikan hukum muamalah konferensional dan syari’ah berikut transaksinya. Bab ketiga memaparkan hukum keluaga Islam. Kemudian pada bab empat berisi hukum Hadd, Jinayah, dan Jihad, terakhir. Bab lima, mengulas aspek peradilan Islam.

Dalam buku fiqih Imam Syafe’i ini diperkaya dengan penjelasan hikmah dibalik penetapan sebuah aturan syariat, penjelasan terperinci atas setiap topik bahasan, dan pemberian contoh-contoh lengkap dengan dalilnya. Penulisan buku ini berpatokan sepenuhnya pendapat Imam Syafe’i yang lebih valid yang terdapat didalam Majmu’dan minhajnya, dan tidak merujuk pada kitab al-raudhah dan sebagainya. Tujuan agar madzhab ini dapat menjadi jelas bagi kalangan awam. Apalagi, penyajian Fiqih perbandingan yang dilakukan terlalu dini tampaknya lebih sering hanya akan memunculkan kebingungan serta menhancurkan keselarasan hukum syaiat.

Jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainya, fiqih merupakan ilmu yang paling lurus dan matang. Dengan fiqih, syariat islam telah menjadi salah satu sumber penetapan syariat yang sekaligus dapat diterima disetiap waktu dan tempat. Karena itu, fiqihlah yang telah menghimpun antara ajaran pokok dengan hal-hal yang menjaman serta menghimpun antara upaya untuk menjaga berbagai macam sumber syariat yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis dengan berbagai macam pekembangan dan perubahan yang terjadi, yang tujuannya adalah untuk mengindentifikasi hukum halal-haram dan demi menggapai kemaslahatan bagi umat manusia dan kebutuahan mereka disepanjang zaman. Karena fiqih memang terlahir dari dasar-dasar dan berbagai sumber yang kokoh demi tujuan syariat yang universal.

Dengan demikian, buku yang sangat mengagumkan ini patut menjadi rujukan umat Islam, baik untuk dijadikan leterasi dalam dunia akademik maupun sebagai pandangan hidup dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Sehingga, mampu membedakan dari hal-hal yang diperbolehkan dengan yang tidak diperbolehkan oleh agama. Wallahu a’lam bi al-showab.

Penulis adalah Aktif Pada Pondok Budaya Ikon Surabaya.
Read More “Imam Syafe’i dalam Yurispundensi Islam”

NU dan Politik Kebangsaan


Judul Buku : Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan
Editor : Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzili
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : I, Maret 2010
Tebal : xii + 260 Halaman
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*



Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi kemasyarakatan yang berbasis agama (Islam tradisionalis) terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Kiprahnya dalam pembangunan tidak diragukan lagi. Banyak buku yang mengulas perjalanannya yang sangat panjang, mulai pra-kemerdekaan Indonesia hingga zaman Reformasi. Melihat perjuangannya yang unik dan ekspotik serta ketekunan dalam membimbing masyarakat dengan “arus bawah” NU menjadi pusat perhatian para peneliti, baik yang dari dalam maupun luar negeri. Berbagai sisi dari kehidupan NU menjadi fenomena yang mendatangkan rasa antusias para peneliti mulai dari sisi interaksi interpersonal warganya, tradisionalitasnya, dan tak kalah pentingnya adalah kiprahnya dalam perpolitikan kekuasaan di Indonesia.

Dapat dikatakan bahwa sumbangan terbesar NU terhadap perkembangan peradaban bangsa Indonesai adalah bidang politik kekuasaan. Sebagai organisasi yang tumbuh dari pergulatan politik, NU banyak mengambil andil dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Sejak awal, NU tampil sebagi “bidan” lahirnya Republik dan penjaga NKRI yang tak diragukan lagi. NU terlibat dalam pembentukan laskar Hizbullah, Jundullah, dan Sabilillah (1945-1949) (salah satu embrio lahirnya TNI) untuk membebaskan Republik Indonesia dari cengkeraman penjajah. Dengan melihat bukti sejarah itu, jelas sumbangan orang-orang NU dalam membangun peradaban bangsa ini sehingga menjadi negara nasional yang solid. Anggapan yang menyatakan bahwa kadar nasionalisme NU rendah bisa dipatahkan dengan fakta sejarah tersebut.

Buku ini merupakan kumpulan pikiran-pikiran cerdas kaum muda NU, yang mencoba untuk melakukan refleksi dinamika perubahan yang selalu dan terus terjadi dalam perspektif NU dalam rangka mewujudkan kesatuan bangsa yang beradab dan bermoral. Buku yang berisi pelbagai opini yang telah di muat di Kompas dalam kurun waktu 2004-2009 ini dapat menggambarkan betapa gigihnya perjuangan NU dalam rangka membangun keutuhan NKRI. Ternyata, NU sebagai organisasi umat terbesar, telah menjadi bagian penting dari kekuatan masyarakat beradab untuk berkontribusi dalam membangun keadaban bangsa. NU Berhasil membangun keadaban bangsa yang didasarkan pada semangat kebersamaan lintas agama dan keyakinan, begitulah kata Zada-editor buku ini. Kiranya, tekad bulat NU –seperti ini- patut diapresiasi dan terus didukung oleh umat kebanyakan.

Kalau kita lihat kembali, mulai lahir pada 31 Januari 1926 hingga saat ini, NU berdiri sebagai organisasi. Artinya, selama ini wajah NU bukan Jama’ah (kumpulan), melainkan juga sebagi jam’iyah yaitu organisasi yang memiliki AD/ART dan atau konun asasi sebagai pola dasar gerakan. Namun demikian, sampai memasuki usia 1 abad, NU masih belum banyak menghasilkan perubahan dalam masyarakat basisnya. Pengembangan ekonomi, politik, dan perlindungan akan kesejahteraan rakyat tradisional yang kebanyakan terkonsentrasi dipedesaan, masih belum menampakkan hasil nyata. Masyarakat tradisionalis masih tetap seperti dulu, mayoritas terpinggirkan, terbelakang, dan tetap miskin, baik secara intelektual maupun finansial.

Lalu, apakah yang salah dari perjalanan sejarah perjuangan NU selama ini? Bukankah telah didirikan Nahdlatul Tujjar untuk memperdayakan ekonomi masyarakat? Bukankah telah didirikan Nahdlatul Wathan untuk mendidik masyarakat agar memiliki rasa kesetiakawanan dan nasionalisme yang kuat? Bukankah telah didirikan Tasywirul Afkar untuk memupuk intelektualisme warga nahdliyin agar memiliki kepekaan dalam menjawab segala tantangan jaman yang sangat cepat berubah?.

Pertanyaan-pertanyaan ini harus menjadi bahan refleksi bagi segenap warga NU, utamanya para elitenya dalam rangka membenahi dan merevitalisasi pola gerakan sekaligus mengorganisasi kembali aset-aset NU yang menyokong kekuatan NU selama ini, baik berupa lembaga, paradigma, dan karakteristik NU yang khas. Namun sebelum itu, harus di evaluasi dan dibahas terlebih dahulu kekuatan dan kelemahan NU selama ini, serta tantangan warga NU yang setiap waktu selalu berkembang dan berubah dari awal lahirnya NU hingga saat ini.

Semua itu perlu menjadi pemikiran bersama warga Nahdliyin dalam rangka mencapai cita-cita bersama, sebagimana juga telah diidentifikasikan oleh para fundhing leader NU. Dan hal lain yang penting diungkapkan adalah prestasi NU yang fenomenal dalam sejarah peradaban di Indonesia selama ini agar mengenai perjuangan dan pola gerakan NU tidak ahistoris. Dari sini gerakan pembaharuan NU akan mungkin dilakukan. Tantangan bagi NU adalah, bagaimana NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia mampu (sekaligus) mau menampilkan karakter Islam ala Indonesia, seperti yang telah dipraktikan oleh para pendiri, sebut saja Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan K.H. A. Wahab Hasbullah. Cara berpikir NU untuk mempertahankan tradisi tak lain adalah menjaga warisan leluhur yang telah mengembangkan Islam sambil terus melakukan perubahan yang lebih baik (hlm. 131).

Agar, peran NU bagi perjalanan peradaban NU ke-indonesian tidak pandang sebelah mata. Sikap akomodatif terhadap kebudayaan lebih di letakkan dalam rangka menunjukkan bahwa agama (Islam) selalu memberi peluang bagi tumbuh kembangnya kebudayaan yang memang menjadi ‘naluri’ masing-masing komunitas. itulah sebabnya, NU merawat kebuadayaan bangsa seabagai alat untuk mengembangkan tradisi keagamaan yang berfaham ahlus sunnah wal jama’ah.

NU sebagai organisasi siap mengawal nilai-nilai kebangsaan yang prural dengan menerima pancasila sebagai common platformnya. Bahkan NU membuat deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam dalam Muktamar NU ke-27 yang intinya menyebut Pancasila merupakan dasar falsafah Negara Republik Indonesia, yang bukan sebagai agama dan tidak dapat menggantikan kedudukan agama. NU juga menganggap bahwa penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat Islam.


*) Penulis Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya dan aktif pada Pondok Budaya Ikon Surabaya
Read More “NU dan Politik Kebangsaan”

IDEOLOGI POLITIK GUS DUR


Judul Buku :Pemikiran dan Sikap Politik GUS DUR
Penulis : Dr. Ali Masykur Musa, M.Si, M.Hum.
Penerbit : Erlangga, Jakarta
Cetakan : I, Januari 2010
Tebal : 162 hal.
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Sebagai Intelektual Indonesia bulan oktober 1999 KH. Abdurrahman Wahid, yang hampir buta dan baru sembuh dari stroke parah, terpilih sebagai presiden Indonesia keempat. Tokoh panutan yang sangat dihormati karena pengabdiannya pada masyarakat, demokrasi, dan Islam toleran tampil dengan pribumisasi Islam, dengan konsep ahlus sunnah wal jamaah yang menjadi jalan tengah dan mampu mengakomodasi kesenjamgan antar elemen masyarakat. Tentu aswaja yang menjadi doktrin terbuka lebih dekat pada yang inklusif atau pribumisasi islam. Yaitu corak yang islam yang memiliki kedekatan bahkan mengakomodasi budaya lokal.

Bahkan ia menyerukan ditemukannya cara pandang Islam terhadap dunia atau weltanchauung Islam. Dengan menemukan cara pandang ini, Islam bisa tampil dengan wajah yang lebih akomodatif terhadap lokalitas pemeluknya, karena praktik-praktik lokal itu tidak mutlak ditolak, melainkan akan masuk dibawah bingkai weltanchauung Islam itu. Maka ia mengusulkan digantinya ucapan salam yang berbahasa Arab itu dengan “selamat pagi”, misalnya. Karena toh sama-sama merupakan ekspresi dari harapan akan keselamatan. Ia mengklaim mekanisme dari Islam itu sendiri. Dengan konsep desakralisasi dan sekuralisasi (bukankah penyaringan seperti itu sudah tersedia dalam metodologi Islam), yaitu berupa teori ‘adah dan ‘urf
Buku yang ditulis oleh Ali Masykur Moesa ini, adalah upaya anak ideoligis Gus Dur untuk mengenang sekaligus menjelaskan gagasan besar dan bagaimana peranannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gus Dur, persepektif buku ini, adalah sosok yang tidak tinggal diam dan “berpangku tangan” menyaksikan apa yang terjadi dalam kehidupan bangsanya. Ia tidak hanya berkata-kata, tapi juga bertindak. Mengambil sikap tegas terhadap apa yang ia pikir patut untuk dibantu atau dibela. Sejumlah peristiwa nasional yang terjadi semasa hidupnya, baik aspek kehidupan beragama, bermasyarakat maupun berpolitik, yang secara langsung melibatkan dirinya, adalah contoh totalitas Gus Dur dalam pemikiran dan perbuatan. Ia selalu berdiri didepan dan siap mengambil risiko apa pun untuk membela orang-orang yang secara politik lemah dan tertindas.

Selain memaparkan pemikiran politik Gus Dur dan wawasan kebangsaan dalam perspektif NU, penulis buku ini juga ingin membuktikan bahwa pemikiran NU tidak sekonservatif dan setradisional seperti ditudingkan oleh beberapa pengamat. Secara internal, NU hingga saat ini telah mengalami pembaruan pemikiran baik dalam tataran keagamaan maupun kemasyarakatan dan kenegaraan.

Menurut KH. Abdurrahman Wahid, jika kita memiliki Pemimpin yang mengerti pentingnya keberagaman ( Multikulturalisme ), maka kita dengan sendirinya akan beruntung, tetapi jika kita mengutamakan keseragaman, maka mau tidak mau kita lalu menyimpang dari semboyan; Bhinneka Tunggal Ika. Pernyataan ini, ada benarnya karena pada saat ini, bangsa Indonesia mengalami disintegrasi yang makin tajam dan kuat intensitasnya berupa sentimen kelompok berbau SARA, dan jika tidak ditangani secara serius, tidak menutup kemunkinan bangsa sebesar Indonesia, akan terjadi perpecahan dan perang antar saudara, akibat tidak memahami arti perting perbedaan antar elemen bangsa.

Kemudian dalam prinsip dasar sistem negara dalam Islam yaitu assyura (permusyaratan), Gus Dur berpandangan hal itu sangat tergantung pada batas hak dan kewajiban yang berlaku dalam suatu negara. Di sinilah, menurut Gus Dur, pentingnya merumuskan sejumlah kerangka pemikiran bagi pengembangan pemikiran negara dalam pandangan Islam, yang memasukkan dalam dirinya pemikiran politik yang dasar. Menurutnya, hal ini menjadi penting karena beberapa sebab. Pertama, bagaimapun Islam tidak kenal agama dan politik. Kedua, adanya kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam berbagai bidang kehidupan perlu juga dicermati pemikiran diluar Islam, misalnya Pancasila. Ketiga, perlu adanya keharusan pemeliharan keseimbangan antara konsep pemikiran tersebut. Misalnya, Islam diajukan untuk merumuskan pandangan positif dan konstruktif dalam kehidupan, seperti bidang keluarga berencana, perkawinan, kelangsungan hidup anak, dan pembinaan keluarga. (hal, 96)

Sedangkan kekuasaan negara harus berjalan sebagai operasionalisasi dari dalil naqli yang menghendaki agar terjadi proses permusyawaratan antara pemimpin dan yang dipimpin. Dalam hal ini, ia mengkritik para pemikir Islam terdahulu yang hanya merumuskan hak dan kewajiban rakyat pemerintah, tapi kurang memikirkan hak dan kewajiban rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Menurutnya hak dan kewajiban seorang pemimpin negara memang dirumuskan secara teliti, namun tidak diberikan perhatian cukup besar pada bagaimana hak-hak dan kewajiban kewajiban itu secara organik dengan hak dan kewajiban warga negara, baik secara individu maupun secara kolektif. Dengan kata lain, pemikiran negara selalu berurusan dengan pembagian kekuasaan antara yang memerintah dan diperintah.

Meskipun, dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya, Gus Dur telah membuktikan bahwa ia adalah pejuang sejati yang tidak mengenal lelah, bahkan hingga akhir hidupnya. Pemikiran politik Gus Dur dan paham kebangsaan yang dikembangkannya selalu integratif dan inklusif dengan dinamika berbangsa dan bernegara. Terlepas dari potret Gus Dur yang penuh warna itu, usul pemberian gelar pahlawan Nasional kepadanya patut disandangkan karena ia tokoh besar yang pernah dimiliki bangsa ini.

Buku setebal 162 yang sebagian besar uraian menyangkut pemikiran politik Gus dur ini, merupakan hasil tesis pada pascasarjana bidang ilmu sosial dan ilmu politik UI yang berjudul “pemikiran politik Nahdlatul Ulama periode 1987-1994” dapat memberikan tambahan referensi pada pembaca untuk mengenal Gus Dur secara lebih komprehensif, terutama ketika terkesan tidak umum, nyeleneh, dan melawan arus. Gus Dur pun seperti mozaik kaya yang takkan pernah lekang oleh zaman.

*)Penulis adalah Gusdurian, aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya
Read More “IDEOLOGI POLITIK GUS DUR”

Menembus Tradisi Pesantren


Judul Buku : Pesantren Dari Transformasi Metodologi
Menuju Demokratisasi Institusi
Penulis : Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag
Penerbit : ERLANGGA, Jakarta
Cetakan : 2009
Tebal : 206 hlm.
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Pesantren merupakan institusi pendidikan dan dakwah agama. Ia hadir ditengah-tengah rakyat yang belum mengenal sekolah dan universitas. Karenanya, tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren telah banyak memberikan andil besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam wacana ini, dalam menjalankan fungsi pendidikan memang merupakan tugas pokok dari semua pesantren. Selama pesantren dapat menjalankan fungsi pendidikan bagi pemberdayaan umat, maka selama itu pula ia dapat mempertahankan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat.

Dalam perspektif inilah pada dasarnya pesantren ingin menciptakan santri yang menurut al-Ghazli an yakuna “aliman, ‘abidan, ‘zahidan, wari’an, ya’rif mashalih al-khalq. Adapun, dari sisi kepemimpinan mereka memiliki tiga identitas sekaligus, yaitu spiritual leader, community leader, dan knowledge leader. Karenanya, dahulu para kiai lebih mementingkan untuk membangunkan shalat subuh santrinya dari pada sekedar mereka mampu menghafalkan kitab Alfiyah. Demikian pula, banyak kiai yang justru memberi bungkusan nasi kepada santrinya pada pagi hari, ketika ia melihat santri tersebut memasak nasi untuk makan sahur.

Dan menurut rumusan Azyumardi Azra, Pesantren telah melakukan tiga peranan : transmission Islamic of knowldge (penyampain ilmu-ilmu keislaman), maintenance of Islamic tradition (pemiliharaan tradisi islam ), dan reproduction of ulama (pembinaan calon ulama). Watak utama yang melekat pada pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan telah menjadikannya memiliki tradisi keilmuan sendiri, namun tradisi ini mengalami perkembangan dari masa kemasa dan menampilkan manisvestasi yang berubah-ubah.

Kemudian ada tiga karesteristik yang dapat dikenali sebagai baik utama kultur pesantren. Pertama, pesantren sebagai lembaga tradisionalisme. Tradisionalisme dalam mencontoh tauladan yang dilakukan ulama salaf yang masih murni dalam menjalankan ajaran islam agar terhindar dari bid’ah, khurafat dan klenik. Kedua, pesantren sebagai pertahanan budaya (culture resistence). Mempertahankan budaya dengan ciri tetap berdasarkan ajaran dasar islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Ketiga, pesantren sebagai pendidikan keagamaan. Pendidikan pesantren didasari, digerakakan, dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran islam. Ajaran dasar ini berkelindan dengan struktur sosial atau realitas sosial yang digumuli sehari-hari.

Dan dalam buku berjudul “Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi” yang ditulis oleh Mujamil Qamar ini, berusaha memberikan gambaran yang utuh tentang pesantren. Hal ini, di perlukan agar penilaian klise yang selalu mengkategorikan pesantren sebagai lembaga tradisional yang tidak pernah disentuh oleh proses perubahan yang dinamis bisa dihindari. Seperti diketahui bahwa sebagian pengamat pesantren yang meneliti lembaga ini secara parsial memberikan konklusi bahwa lembaga pesantren lahir sebagai perwujudan sikap budaya lokal yang hanya mampu menawarkan bentuk pengajaran yang statis dan tidak dinamis.

Berbeda dengan konklusi para pengamat tersebut, penulis buku ini menemukan sebuah dinamika yang halus namun pasti yang terjadi pada institusi pesantren. Dengan karakter seperti itu profile lembaga ini sebetulnya selalu berubah sejak dulu sampai sekarang, baik dari sudut perubahan kepemimpinan, sistem pendidikan, kelembagaan, kurikulum maupun metode pengajarannya. Dinamika seperti itu, menurut penulis buku adalah akibat dari kemampuan pesantren dalam menjalin hubungan interactive dengan nilai yang hidup di sekitarnya. Hubungan timbal balik tersebut kemudian melahirkan terjadinya perubahan dan penyesuaian dalam tubuh pesantren, hingga lembaga yang sudah berusia ratusan tahun ini bisa tetap hidup dan menghidupi masyarakat di sekitarnya sampai era modren ini. Dinamika pesantren juga tercermin dalam perubahan yang terjadi dalam deminsi kurikulumnya.

Pesantren, menurut alumni IAIN Syarif Hidayatullah ini, ternyata selalu memantau kebutuhan hidup di masyarkat, agar kurikulum yang ditetapkannya nanti dapat merefleksi jenis ilmu yang diperlukan dalam kehidupan mereka. Dalam deretan ilmu agama yang diajarkan dilembaga pendidikan islam tradisional tersebut, penulis mencantumkan dengan pola susunan yang hirarkis agar dinamika yang terjadi dalam kurikulum dalam pesantren tersebut bisa terdeteksi.

Sedangkan, perkembangan pesantren dari sudut metode pengajarannya juga nampak menampakkan sifat dinamis yang dimiliki lembaga ini. Pesantren menurut hasil penelitian ini, tidak merasa cukup dengan metode pengajaran konvensional yang sebagian dipinjam dari lembaga pendidikan islam di negeri lain, seperti wetonan, sorogan, muhawarah, mudzakarah, dan majlis ta’lim. Oleh karena itu diperkenalkan metode pengajaran yang didasarkan pada sistem pengajaran baru ke dalam sistem pendidikan modern selalu memiliki resonansi di lembaga pesantren. Jenis metode pengajaran modern yang didasarkan pada sistem pengajaran kelas itu secara bertahap telah diadopsi oleh pesantren, sesuai demensi waktu yang melahirkan setiap metode tersebut. Dalam rentangan waktu yang panjang tampak pengenalan metode modren tersebut dalam lembaga pesantren mulai metode madrasi, diskusi sampai seminar.(hal, 145)

Dengan demikain ini, pesantren tidak hanya mampu mentransformasi pendidikan secara tradisional tapi mampu menjawab tantangan yang dihadapi dalam berbagai strategi, baik kepemimpinan pesantren, transformasi sistem pendidikan pesantren, transformasi institusi di pesantren, transformasi kurikulum pesantren, dan transformasi metode pendidikan di pesantren. Buku ini, patut di apreasiasi dan dibaca oleh mahasiswa, akademisi, peneliti, pengasuh pesantren dan mereka yang menekuni serta berminat mengetahui pesantren, karena kajian yang ditawarkan oleh penulis akan memberikan perseptif baru tentang dunia pesantren. Wa allahu a’lamu bi al-shawab.

Penulis alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafiyah Ibrohimy Gapura, Sumenep dan sedang studi di IAIN Sunan Ampel Surabya.
Read More “Menembus Tradisi Pesantren”

MENGAPRESIASI KREATIFITAS SANTRI



Judul Buku : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Editor : Tsanin A Zuhairi, M.si
Penulis : Rizal Mumazziq Zionis, dkk.
Prolog : Prof. Dr. H.Nur Syam, M.Si
Epilog : Prof. Dr. Abd. A’la, MA
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya
Cetakan : I, 2009
Tebal : xii+224 hlm.
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*


Santri yang dulu sering disebut sebagai kelompok tradisioanal, dewasa ini sudah tidak relevan lagi. Santri sudah bermain-main dengan facebook, blog, dan dunia teknologi informasi lainnya. Bahkan santri banyak yang menjadi penulis, jadi kalau sekarang banyak santri yang menjadi penulis hakikatnya adalah bagian dari proses kreatifitas ditengah dunia kompetensi dalam berbagai bidang yang luar biasa.

Buku berjudul “Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis” adalah bukti santri yang menekuni dunia kreatifaitas menulis, dan menunjukkan pada dunia bahwa mereka juga bisa berbuat sesuatu, dengan menjadi penulis tidaklah gampang seperti yang dibayangkan. Buku ini, menggambarkan bagaimana beratnya seorang santri menulis, penuh dengan liku-liku. Betapa tidak, menjadi seorang penulis, harus meredam dan menahan keinginan untuk bersenang-senang bahkan sekedar untuk bersenda gurau dengan teman-teman santri lainnya.

Menjadi penulis memang bukan hanya iseng untuk mengisi waktu luang tapi butuh intensitas yang sangat tinggi dan membutuhkan pengorbanan yang luar biasa dari seorang penulis. Disamping itu juga, menyediakan waktu dalam proses menulis, karena menulis membutuhkan tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu ; Membaca, inspirasi, dan kemauan untuk menulis. Ada yang suka baca, tidak menemukan inspirasi, ada yang hanya mempunyai inspirasi tapi tidak ada kemauan untuk menulis atau sebaliknya, jadi ketiga-tiganya harus berjalan senada dan seirama.

Memang, kadang menjadi penulis bukan karena hobi atau bakat yang dimiliki seseorang, tapi karena ada faktor-faktor yang mendukung kreatifitas itu muncul. Pertama, faktor kebutuhan perut alias penulis kelaparan, sehingga menumbuhkan ide-ide dan mampu menghadang tantangan yang ada, dengan menjadi motivasi keronik tersebut, maka honorlah yang terbayang. Kedua, ideologi, karena semua penulis buku ini adalah alumni pesantren. Nuansa ke-pesantren-annya kental, yaitu paradigma yang khas ala pesantren yang tetap mempengaruhi gaya kepenulisan dan pola pikir dalam memanen ide-ide kreatifitas, dengan konsep al-muhafadzatu ala al-qadimi al-sholeh wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah.

Dalam buku setebal 224 ini, pembaca akan disuguhi curhat dari 13 penulis bagaimana ia memulai menulis, proses kreatifnya, dan setelah dimuat di berbagai media baik lokal maupun nasional. Membaca tulisan Suhaidi RB, pembaca akan tergelitik dengan menelusuri perjalanan mengukir kreatifitas. Ia merasa mendapat teror oleh seniornya dengan ucapan “jangan bermimpi, anda masih pemula sudah berani mengirim ke media besar (Nasioanal)”. Teror mental tersebut hampir saja membunuh semangat dan karakter kepenulisan yang sebelumnya bangkit, atau kisah Fathorrahman JM, yang honor pertamanya dimuat dimedia Nasional ludes di meja kantin, Karena di paksa jadi bos kecil oleh teman-teman santri lainnya. Ada yang lebih ngeri lagi dengan menghukum diri sendiri, dengan pegang ballpoint dan kertas meski ada ide atau tidak, tak pelak jika ide masih belum muncul-muncul, ia merubah posisi duduk dari mulai berbaring, terlentang, jongkok dan bahkan berdiri. Demikian seterusnya, hal ini dilakukan oleh ahmad khotib hingga akhirnya “hukuman” padanya berhasil menumbuhkan produktifitasnya. (hal. 155)

Kisah-kisah mengenaskan sekaligus mengesankan, juga dituturkan dengan kocak oleh Muhammadun, Mukhlis amrin yang selama ini terperanjab di Dunia sastra, menulis curhatnya dengan gaya prosais. Refleksi gado-gado ala Salman Rusydi Anwar dan Rizal Mumazziq Zionis juga terasa renyah dengan penekanan. “…..bahwa menjadi penulis adalah menjadi sosok yang belajar banyak hal”. Ada pula Ach. Syaiful a’la yang memilih lelaki sunyi seorang penulis, sekedar meniru kreatifitas tuhan, katanya.

Selain itu, ada juga pola adaptasi gaya tulisan penulis idola sebagaimana yang dilakukan Nur faishal yang kesemsem berat dengan gaya estetika essainya Goenawan Mohammad, maupun gaya detail mengalir ala Pramoedya Ananta Toer. Juga layak di baca bagaimana para perempuan yang terbiasa lebih intuitif-estetis dalam mengolah kata, mencoba melarutkan ide-idenya dalam bentuk cerpen maupun novel, sebagaimana yang dilakukakan oleh Azizah Hepni, Noviana Herliayanti, Ana FM, Hana al-Ihriyyah. Dengan membaca buku ini sampai penghabisan pun, seakan-akan dibawa pada dunia realitas bahwa kita lah pelakunya.

Yang jelas buku ini, membawa cita-rasa baru dalam kepenulisan yaitu menulis membutuhkan semacam perangsang yaitu kesabaran, kerja keras, komitmen, ketelatenan, keuletan dan kemauan untuk belajar. Dengan demikian, buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang berminat belajar menulis agar lebih mengenal pola lika-liku, bahkan jalan terjal sekalipun yang hendak dilewati, sehingga mudah dan mempersiapkan diri untuk membekali diri. Sedia payung sebelum hujan.

Ahkirnya, mengutip pernyataan D. Zawawi Imron di cover belakang buku ini “Pada era modern ini, anak-anak santri pun mengalami keresahan dengan kemelut sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Diantara mereka ada yang mencari denyut hidup dalam dunia penulisan”, lalu, Andakah yang mencari denyut nadi hidup di dunia kepenulisan berikutnya?.

Penulis adalah alumni Pondok Pesantren NASA, sekarang melanjutkan studi pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Read More “MENGAPRESIASI KREATIFITAS SANTRI”

Budaya Lokal : Identitas Keislaman Nusantara



Judul Buku : Pantun Melayu, Titik Temu Islam dan Budaya Lokal Nusantara
Penulis : ABD. RACHMAN ABROR
Penerbit : LKIS, Yogyakarta
Cetakan : September, 2009
Tebal : xvi+400;14,5x21cm.
Perensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Budaya pantun dari tanah Melayu, futurolog john dan patricia dalam mega trend 2000 pernah memprediksi bahwa di era global, kecintaan pada budaya dan tradisi untuk menunjukkan jati diri suatu bangsa akan semakin menguat ditengah terpaan peradaban global. Hipotesis ini, dalam Indonesia yang memiliki prulalitas budaya sekaligus sebagai penerima globalisasi, menjadi ukuran dan bahkan taruhan tersendiri bagi masa depan keindonesian. Persoalan kebudayaan yang segera muncul kemudian adalah apakah proses globalisasi yang tak terhindarkan itu akan menggerus kebudayaan lokal ataukah globalisasi itu justeru membawa berkah bagi tumbuh dan berkembangnya kebudayaan local?.

Problem kebudayaan itu dapat ditelusuri pemecahannya, diantaranya dengan sebuah ihktiar kebudayaan, sejauh kita dapat memilihara, menggali dan merevitalisasi hasil kebudayaan manusia Indonesia, yang dapat membedakan dengan bangsa lain. Dengan cara itu, jati diri bangsa akan terbaca eksistensinya.

Adalah buku “Pantun Melayu, Titik Temu Islam dan Budaya Lokal Nusantara yang mencoba menyingkap keunikan produk budaya lokal berupa pantun yang merupakan hasil kesustraan asli melayu yang menjadi khazanah kebudayaan Indonesia yang hidup sejak lama, terutama disebagian Sumatra dan Kalimantan. Menurut Abd.Rachman Abror penulis buku setebal 400 halaman ini, bahwa pembangunan kebudayaan yang berorientasi pada pembangunan mental spiritual sama pentingnya dengan pembangunan sains dan teknologi agar bangsa yang terseret lebih jauh pada perasaan rendah diri karena kehilangan kepribadian sebagai bangsa.

Sebagaimana dikatakan oleh St .Takdir Alisjahbana bahwa pembangunan kebudayaan manusia Indonesia pada kerangka pengembangan individu yang berkepribadian pembangunan masyarakat seutuhnya tidak hanya berberhenti pada ekspresi pengalaman individu itu sendiri. Dan kalau melihat konsep manuasi yang dianut masyarakat melayu adalah kesatuan antara jasmani dan rohani (psikologi dan monodualis). Mereka mengorentasikan nilai budi dan sesuai dengan fitrah kejadian manusia , konsep kesatuan itu juga sesuai dengan konsep budi itu sendiri yang tersusun secara bersiratan kedalam gugusan akal-budi, hati-budi, budi-bicara, dan budi pekerti.

Dalam kontets Melayu yang lebih luas, pribadi-pribadi yang berwatak budiman, diharapkan dapat melahirkan komunitas masyarakat dan bahkan bangsa yang meliki watak budiman. Dengan demikian, kedudukan budi begitu memiliki makna penting sebagai ukuran penilaian, karena menjadi fondasi kehidupan bangsa atau sebagai sarana pembngunan character building dalam berbangsa dan bernegara.

Fungsi utama pantun sebagi alat komunikasi tidak langsung masyarakat, bahsa yang digunakan merupakan lambing dan perlambang. Lambang-lambang tersebut bukan hanya diambil dari alam sekitaryang sudah lazim (flora dan fauna), melainkan juga diambil dari mitos dan legenda , peribahasa atau tegangan kias dan benda budaya (artefak budaya). Misalnya, mereka gunakan selain untuk menerangkan diri mereka, juga cermin diri. Dengan demikian, demikian sarana fisik dapat menjadi sarana penting dalam pembentukan nilai dan norma, yang lazim disebut nilai danorma adat (hal, 247).

Adapun nilai-nilai islam yang terkandung pantun melayu berkisar pada nilai-nilai iman, ibadah, dan akhlak. Ketiganya merupakan satu bangunan agama islam yang saling kait mengait dan tak terpisahkan. Pengalaman nilai-nilai islam dalam dunia Melayu turut berperan dalam melahirkan pelbagai tradisi agama orang Melayu dan nilai-nilai tersebut ikut memperkaya dan memperkokoh konsep budi mereka, sebagai nilai tertinggi dengan tujuan untuk menhasilkan manusia yang budiman. Salah satu contoh pantun Melayu yang mencerminkan nilai-nilai luhur agama sebagai berikut : pisang nipah di batu laying /anyam ketupat dujung tanjung/ hati susah bawa sembayang / disitu tempat iman bergantung. Dari pantun tersebut, sangat jelas pesan nilai-nilai agamanya.

Biasa pantun melayu digunakan dalam berdakwah dan mendiskusikan adat, dengan suasana penyampaian yang berbeda dari suasana pantun anak-anak, teka-teki, percintaan, yaitu membangkitkan perhatian dan mengajak untuk berfikir, merenung dan mengamalkan.
Buku ini, selain membedah secara akademik tentang pantun Melayu, juga telah berhasil membuka cakrawala bertemunya nilai-nilai islam dalam bait-bait pantun, terutama nilai budi atau akhlak yang sekaligus menegaskan idenfikasi yang kuat tentang Melayu dengan Islam.

Buku ini patut diapresiasi karena penulis buku ini justru bukan orang lahir dan besar dalam “ruang budaya pantun ” . ia seorang jawa yang mencintai kebhinnekaan dan terkesima dengan pantun. Dengan kata lain, untuk memelihara kebudayaan di butuhkan cross understanding di antara suku bangsa yang berbeda. Sehingga, tidak hanya layak dibaca oleh peminat kebudayan, akademisi, dan mahasiswa, tapi juga oleh generasi baru yang tidak bersedia kehilangan jati diri dengan menanggalkan budaya bangsanya sendiri hanya karena latah dengan pesona globalisasi.
Wa allahu a’lam bisshowaf.

Penulis adalah Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya aktif di Pondok Budaya Ikon
Read More “Budaya Lokal : Identitas Keislaman Nusantara”