Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

Dialektika Perubahan di Era Transisi


Judul Buku : TRANSISI PEMBARUAN
Dialektika Islam, Politik dan Pendidikan

Penulis : Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si.

Pengantar : Prof. Dr. HM.Ridlwan Nasir, MA.

Penerbit : LEPKISS

Cetakan : I, 2008

Tebal : 284 hal

Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

“ yang senantiasa berubah adalah perubahan Itu sendiri ”( Cicero). kalimat ini, bukan kalimat tak bermakna dan bebas nilai, aneh, apalagi ditakuti sebagai ancaman yang menghantui pikiran dan pijakan kita untuk melangkah menatap masa depan yang lebih baik. Tak terkecuali pada masa transisi yang menderah bangsa Indonseia. Tentunya ada banyak perubahan mendasar dalam tatanan kehidupan.

Perubahan politik, pendidikan dan religiositas menarik untuk ditelisik. Didalam politik perubahan politik ternyata mengandung paradoks. Disatu sisi ada keteraturan sosial yang dibangun, sisi lain menhadirkan konflik sosial yanga tidak dapat ditolak. Tapi satu hal yang pasti bahwa semua tindakan politik yang dilakukan para elit poltik memilki tujuan yang sama yaitu ingin menciptakan perpolitikan Indonesia yang demokratis. Hanya saja kapan hal tersebut akan dicapai rasanya masih jauh. Dan yang menjadi perhatian dan menyesakkan bahwa kehidupan keragaman yang diwarnai dengan meningkatnya kekerasan. Ada banyak kasus kekerasan mengatas namakan agama, dan turut memancing konflik sosial yang tidak diharapkan. Sedangkan pada dunia pendidikan juga sangat menyedihkan, selain jauh dari perubahan dan cendrung sangat lambat.

Buku Nur Syam berjudul “ Transisi Pembaruan, Dialektiaka Islam, Politik, dan pendidikan. Merupakan kumpulan tulisan refleksi seorang Profesor Sosiolog Islam yang berserakan di Media Massa tentang Gerakan Ke-Islam-an kontemporer, Perilaku (Oknom) Politik dan carut marutnya dunia Pendidikan Indonesia, yang dinilai Laa yamuutu walaa yahya ( tidak bermutu dan tak berdaya ). Hal berupakan menjadi luar biasa karena di saat kesibukan menjadi birokrat Perguruan Tnggi menyempatkan diri menyumbang dan menyalurkan ide-ide segar.

Dalam sub tulisan “Dialektika Politik, Organisasi Keagamaan dan Tradisi keindononesian”, menbaca dinamika Keagamaan dalam Politik, misalnya bagaimana hubungan antara tarekat dan penguasa, dengan memperlihatkan bahwa adanya dinamika relasi integrati-disintegratif dan juga bagaimana geliat politik kiai dan Ulama yang kian memuncak, kemudian refleksi ulang terhadap peran rakyat sebagai ujung tanduk demokrasi, dan pandangan Nur Syam, tentang Politik yang pernah dilahirkan Jam’iyah Nahdltul Ulama.

Masyarakat memang belum bisa sepenuhnya mengelola kebebasan sosial politik. Hal ini, bisa dibuktikan dengan masih ruwetnya persoalan politik dan masih menjadi pekerjaan rumah tentang kesenjangan sosial, rendahnya daya serap pekerjaan, in come perkapita dan kemiskinan hingga konflik sosial dimana-mana.

Sedangkan, problem pendidikan begitu kompleks. Ketika awal reformasi, para pakar pendidikan langsung menyatakan terletak pada sentralisasi seluruh aspek kehidupan. Penyeragaman pendidikan dianggap sebagai ujung tumbak kerusakan pendidikan. Sistem sentralistik tersebut berdasar atas prinsip semua diatur dari pusat dan cendrung tidak memberikan ruang dinamis bagi lokalis.

Kemudian, ada perubahan paradigma dari pola sentralisasi ke desentralisasi yang banyak mengubah mindset perancang dan pelaksana pendidikan dalam berbagai aspek. Dalam UU sistem pendidikan nasional, No. 20 tahun 2003. misalnya, semangat desentralisasi pendidikan untuk mempercepat kemajuan. Isinya pun tentang pendidikan berbasis rakyat, artinya dari rakyat untuk rakyat.

Dan yang menambah ruwet problem bangsa adalah kehidupan keragaman yang semakin keras. Sering, satu sama lain menjadi hakim kebenaran atas yang berbeda. Ada yang merasa agamanya yang paling berhak hidup sedang lainnya dinihilkan. Kemudian ada yang merasa berhak menafsirkan doktrin keagamaannya. Tarik menarik atas tafsir tadi memicu konflik keagamaan. Ada beragama dengan posisi sangat kanan dan ada beragama pada posisi kiri. Ada yang sangat fundamental dan yang liberal. gesekan demi gesekan ini, tidak dapat didinginkan dengan cara keagamaan lebih mengedepankan rahmatan lil alamin dan bahkan diperbutkan terus menerus.

Sebagai tawaran atas problem, dalam menjalani kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, keagamaan, maupun pendidikan agar tetap eksis dan berjalan lancar diperlukan sebuah perjuangan dalam segala hal. Dengan mengedepankan etika perjuangan dijalan masing-masing, utamanya menghadapi transisisi perubahan disektor manapun yang berdampak langsung pada kehidupan.

Buku setebal 284 halaman ini, sarat akan pandangan cerdas dan sangat luas dalam mencermati perubahan yang terjadi, patut diajungi jempol sekaligus apresiasi besar tertujuh padanya. Hingga tidak salah, jika menjadi bahan referensi baik kalangan akademisi, poltitisi, mahasiswa dan pengamat perkembangan ke-Indonesian masa kini. Kalaupun ada beberapa kekurangan pada buku ini, tidak begitu berpengaruh pada subtansi pembahasan. Dengan ini, membuktikan bahwa profesor lulusan Universitas Airlangga ini mampu mendialektikakan perubahan dan pandangannya dengan menjangkau warna-warni yang tak tersentuh dalam aspek kehidupan dengan bekal ilmu sosiologi-religinya.

Dan akhirnya, kalimat “yang senantiasa berubah adalah perubahan Itu sendiri” yang diucapkan Cicero, harus tetap mendapat perhatian dalam menangkap perubahan yang terus-menerus karena kita ada dalam kehidupan dan kehidupan adalah dinamis.

*) Penulis Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabya dan Aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya


Read More “Dialektika Perubahan di Era Transisi”

Misi Profetik Nabi



Judul Buku :ISLAM PROFETIK,
Substansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik
Penulis : Masdar Helmy
Penerbit : IMPULSE Jogjakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : 271 hal
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Kredibilitas agama-agama sedang dipertaruhkan. Agama tiba-tiba menjadi tidak popular dalam melahirkan resolusi konflik harisontal yang justru ditimbulkan akibat gesekan antaragama. Tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang makin menunjukkan gejala tidak sehat seolah tidak mampu diredam agama.

Dan tampaknya penampilan agama dalam wilayah publik sedang mengalami episode antiklimaks atau titik nadir ditengah disfungsionalnya peran agama dalam proses penyelesaiannya berbagai persoalan kemanusian. ia sudah menjadi ironi agama yang yang diturunkan untuk menciptakan ketertiban dalam kehidupan umat manusia justru menjadi triggering factor bagi lahirnya itu sendiri.

Setidaknya problem keagamaan diatas mencerminkan kerisauan penulis dalam buku berjudul “Islam Profetik, Subtansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik. atas fenomena keagamaan masyarakat akhir-akhir ini, agama yang lahir tanpa celah dan mengimban amanat suci, menyebarkan kebaikan dan membangun solidaritas-pruralisme antar beragama menjadi moester-moester menakutkan dengan sejumlah simbol-simbol.

Kemudian atas problem keagamaan tadi, staf pengajar pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya ini, mempertanyakan buruknya sistem penataan agama dalam ruang publik, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apakah amburadulnya penataan ruang publik itu merupakan buah kesengajaan (be desaign) atau justru keteledoran (by accident)? Jika jawabannya adalah yang pertama, maka tidak salah jika kita berasumsi, fundamental ruang publik yang rapuh merupakan resultant dari upaya penggadain ruang publik yang sengaja diciptakan untuk tujuan-tujuan jangka pendek.

Sementara itu, jawaban kedua mengandainkan rapuhnya fundamental ruang publik sebagai wujud kesembronoan, akibat dikeimbangkannya pengembangan platfom pruralisme dan multikulturalisme yang genuine sebagai perekat seluruh elemen bangsa. Hipotisis ini mensyaratkan kesungguhan dan kerja keras seluruh elemen bangsa, utamanya pemerintah terpilih, untuk membangun sebuah cetak biru ruang publik yang fair, adil, dan tidak menindas satu sama lain.

Dan diantara permasalahan agama kontemporer jauhnya semangat kenabian dalam sejumlah kehidupan yakni; kekersan, terorisme, kriminalitas, kemiskinan, kebodohan, pembohan, ketidakadilan, ketertindasan dan lain-lain. Bahkan dari saking pesimisnya terhadap tanggung jawab agama menjawab persoalan yang menggorita diatas, alumni Universitas Melbourne Australia ini, mengibaratkan “mimpi disiang bolong” ketika persoalan agama sendiri belum terpecahkan. Dengan analogi, bagaiman bisa mampu memjawab persoalan umatnya kalau agama sendiri belum mampu membebaskan diri dari kungkungan test yang diciptakan umatnya.

Karena itu, kesadaran profetik meniscayakan dua hal; membebaskan agama lebih dahulu, lalu mengonstruksi agama, berupa cara pembacaan terhadap agama yang sempit, dalam banyak hal justru lebih berbahaya ketimbang musuh dari luar dirinya., disinilah letak pentingnya pembacaan agama yang profetik guna menghadapi berbagai persoalan kontemporer yang makin rumit.

Kesadaran profetik apa sebenarnya yang menjadi tawaran intelektual Muda Nahdlatul Ulama ini, dalam tulisan berjudul “Menuju Pembacaan Agama yang Profetik” ia mengajak segenap insan untuk meresapi penting dan membumikan misi profetk nabi. Karena misi profetik nabi yang paling utama adalah misi pembebasan, yakni membebaskan umat manusia dari segala belenggu dan ketertindasan.

Dari pandangan yang demikian, bisa kita pahami bawa nabi adalah seorang pembebas bagi umatnya. Dalam perspektif universalitas nilai-nilai kemanusiaan, pembacaan profetik terhadap agama akhirnya tidak bisa dihindarkan dari proses bersama pencarian kebenaran seluruh umat manusia melalui agama masing-masing. Agama yang profetik bukan agama yang memaksakan umatnya memasuki pintu tunggal menuju surga, sebab tuhan telah membebaskan umatnya melakukan pembacaan terhadap agamanya sesuai kapasitas yang dimiliki.

Kehadiran buku setebal 271 ini memberikan Pembacaan atas sejumlah test suci agama yang ramah lingkungan dalam ruang publik dengan meresapi nilai-nilai profetik dan seperti diakuai penulis bahwa buku ini adalah kumpulan tulisan artikel yang berserakan dimedia massa nasional dan jurnal, sehingga memungkinkan tulisan lepas tersebut kurang memiliki koherensi yang tinggi, tidak memiliki mata rantai. Karena diakibatkan respon penulis atas sejumlah fenomena sosial-keagamaan yang hadir saat-saat tertentu. Tapi terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam buku ini, masih patut diapresiasi dan layak menjadi referensi yang harus diakui keakuratan dengan validitas datanya.

Akhirnya, membaca buku ini, layaknya membaca realitas sosial keagamaan yang menjadi kegelisahan tiap insan dalam menatap wajah agama-agama yang tidak ramah dalam ruang publik dan subtansiasi nilai-niulai agama dala ruang publik jauh dari harapan. Semoga kita masih rindu nilai-nilai dan semangat Misi Profetik Nabi.





•) pengurus Forum Study Ilmu Sosial dan keagamaan (Fosiska) IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Read More “Misi Profetik Nabi”

Selendang Cinta dari Sang Nabi

s1600-h/nuku+burdah.jpg">

Judul Buku : Burdah Imam al-Bushiri :
Kasidah Cinta dari tepi Nil untuk Sang Nabi
Penulis : Masykuri Abdurrahman
Penerbit : Pustaka Sidogiri
Distributor : Khalista
Cetakan : I, Maret 2009
Tebal : 121 hlm.
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

“Aku tidur dan bermimpi didatangi Rasululah SAW. Beliau mengusap bagian tubuhku yang lumpuh dengan tangannya yang mulia. Lalu beliau memberikan sehelai burdah (Selendang) kepadaku”.

Potongan cerita diatas adalah jalan panjang seorang penyair dalam menyelesaikan syair-syair sanjungan untuk sang nabi yang kemudian sangat terkenal didunia Islam dengan Sebutan “Burdah”. Burdah merupakan karya al-Buzairy yang sangat fenomenal ketimbang karyanya yang lain, kemashurannya memang telah muncul sejak awal bukan hanya karena faktor keindahan bahasa atau kualitas penulisnya, namun ada faktor keajaiban supranatural didalamnya.

Tak heran, sebab susunan bahasanya indah lagi mudah dilagukan. Burdah memang satu-satunya bentuk puisi dalam khazanah kesustraan arab yang paling kuat bertahan. karena, mudah dihafal, berbobot, karya estitik, romantik, dan memang telah banyak orang yang menghafalnya di luar kepala. Makanya sebagian sastrawan arab pun ada yang mencoba untuk menirukan. Dan para kritikus sastra arab pun mengakui keindahan burdah yang semula memandang remeh berbalik arah mengaguminya. Menurut de Sacy, seorang pengamat satra arab bahwa diera kontemporer saat ini, Burdah tidak tertandingi.

Buku ini merupakan ulasan atas burdah sendiri yang diperuntukan bagi kaum muslim agar lebih paham maksud dan isi burdah itu sendiri. Burdah terdiri dari 160 bait, berisi padat anasir nasehat beserta peringatan, baik soal angkara nafsu, pujian kepada nabi, keagungan al-qur’an, peristiwa isra’ mi’raj, jihad prajurit Nabi Muhammad SAW. Munajat-Munajat, serta shalawat pada Nabi, Shahabat, dan keluarganya. Bahwa hakikat cinta pada Nabi SAW. Bukanlah menganggap beliau sebagai tuhan melainkan menyanjung Rasullah adalah sebagai manusia pilihan yang diutus sebagai utusan tuhan.

Seperti sebuah magnet, burdah mampu menyihir pendengar dengan khikmat bila dilantunkan pada perhelatan, baik dibaca sendiri secara solo maupun koor. Semangat pendengar makin terpompa, harapan sudah di depan dan spirit kecintaan pada kekasih Allah SWT. Untuk mencintai kekasih, al-qur’an mengajarkan dan menganjurkan kepada umat islam, sebagaimana yang tertera dalam kitabullah yang artinya “sesungguhnya Allah dan para Malaikat ber-salat atas nabi, hai orang-orang yang beriman salat-lah atas dan berilah salam dengan sehormat-hormatnya salam” (QS al-Ahzab 33:56).

Namun, seiring fenomenalnya Burdah bukan tanpa hambatan dan tantangan dalam menyampaikan risalah lewat syair-syair yang ditujukan pada sang baginda Rasulillah Muhammad SAW. Baik penulis Burdah ataupun Pengagumnya kaum Muslimin. Ada banyak hal, rintangan yang membuat Burdah harus dijauhi dan dibuang jauh dari dunia muslim. Pertama al-Bushiry dianggap penyair kontroversial karena kecendungannya mengejek orang lain menggunakan sajak-sajaknya dan hanya mencari keuntungan dari kepandaiannya dalam bersyair, mengubah sanjungan untuk penguasa Mamluk yang menguasai Mesir pada saat itu. Al-busyiri tidak memperhatikan apakah penguasa itu baik atau tidak.

Kedua datangnya kritikan dari pengikut Ibnu Taimiyah dan diteruskan oleh kaum Wahabi. Mereka menganggap Burdah termasuk bagian dari Ghuhuwwul mutashawwifah fi madhin Nabi, kelompok sufi yang keterlaluan ekstrem menyanjung Rasullah. Bahkan, sebagian mereka menganggap Burdah menampilkan kesyirikan karena dianggap memanjat doa kepada nabi Muhammad SAW. Dan ketiga merupakan pengalaman al-bushiry dalam proses penyelesaian sajak-sajak buat baginda nabi, beliau menagalami kelumpuhan yanga sangat parah sehiungga tidak bisa melanjutkan karangan syair-syair hingga ia bermimpi bertemu nabi dan nabipun mengusapnya disertai memberi selendang ( Burdah ), hingga ia bangun dan sembuh.

Terlepas, pro-kontranya atau bagiamana berliku proses dan perjalannan Burdah tetaplah sebuah mahakarya yang diakui kalangan luas dan dibaca ribuan umat islam untuk mengenang sang pelita hati. Selanjutnya, meskipun menurut Dr.Ali Najib Athawi bahwa secara kesustereaan beberapa sajak al-Bushiri lebih indah dan cerdas dibanding sajak Burdahnya Kaab bin Zubair dan namapun diambil dari sajak nya (tabarrukan). Tetaplah sajak-sajak Kaab bin Zubair lebih agung kedudukan dari pada al-Bushiry karena memiliki keistimewaan dibaca dihadapan Rasullah dan Rasullah langsung memberikan cindera mata berupa selendang kepada Kaab di Dunia nyata.

Terakhir, buku karangan Masykury Abdurrahman ini patut mendapat tempat dihati kaum muslim tidak hanya menjadi pelengkap dari Burdah al-Bushiry dan Burdah Kaab bin Zubair tapi memjadi referensi untuk menambah penghayatan kita atas perjuangan rasul, dan menambah spirit kita demi tegaknya Izzul Islam wal Muslimin.


Penulis Alumni Pondok Pesantren Nasy’Atul Muta Allimin Gapura -Sumenep dan Aktif di PENA PESANTREN Surabaya.
Read More “Selendang Cinta dari Sang Nabi”

Amplop Kletek Gus Mus



Judul Buku :Percik, Coretan & Siratan
Penulis :A.MUSTOFA BISRI
Penerbit :Mata Air Publishing
Cetakan :I, Maret 2009
Tebal :73 hlm
Peresensi :Ahmad Shiddiq Rokib*



Sosok Gus Mus di dunia sastra bukanlah hal baru, aneh dan menakut, meskipun menyandang gelar “ulama”. Memang sastra dan seni merupakan hal universal yang tak terbelenggu oleh sekat-sekat, antara satu manusia ke manusia lain. Dengan demikian, semakin jelas bahwa Gus Mus adalah sosok manusia yang mampu melintasi ruang keulamaannya tanpa harus kehilangan roh dan identitasnya. karya-karyanya berberserakan dalam bentuk buku dan tersebar di berbagai media nasional dan lokal.

Buku berjudul “Percik, coretan & Siratan” ini merupakan kumpulan lukisan Gus Mus yang dilukis pada amplop yang Akan dikirim pada temannya. Seperti yang diceritakan Gus Mus saat dia sedang akan mengamati surat yang hendak dikirim, amplop yang ada didepan mejanya. Tiba-tiba beliau teringat pada pipa rokoknya yang belum dan saatnya untuk di bersihkan, saat dibuka kletek, residu rokok, dalam pipanya menetes ke amplop. sambil membersihkan pipa tadi, beliau memandangi amplop yang putih. Alangkah terkejutnya, ketika melihat keindahan yang belum ia lihat pada lukisan-lukisan warnanya berkarakter dan sulit dicari padanannya.

Saat itulah, Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin ini, makin tidak sabar kalau melihat amplop di depannya dan mulailah corat- coret dengan kleteknya. Ternyata kiriman surat dari berbagai koleganya bermunculan dan mengatakan bahwa ia senang atas gambar kleteknya. Sebagai penyair sekaligus pelukis Gus Mus adalah seorang yang secara total menghayutkan dirinya dalam telaga kehidupan. Dengan berbekal kejujuran nuraninya, ia selalu menghayati dan memberi kesaksian hidup, baik hidup jiwa personal maupun komunalnya.

Penyair atau pelukis seperti dirinya adalah orang berkesadaran bahwa anugerah dan hikmah kehidupan bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain juga. Kesadaran personalnya juga berangkat dari penghayatan sosial karena seorang penyair dan pelukis selalu melakukan apa yang disebut transpersonalisasi atau transubjektivitas kehidupan. Nah, ini yang terlihat dari lukisan dan puisi penjelas lukisannya “Keindahan ada/ dimana-mana/ asal/ kau tahu tempatnya” dan “ketika engkau/ tak menyadari/ keindahanmu/ tiba-tiba engkau semakin indah”.

Sebagai hasil kebudayaan, lukisan memang selalu berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan serta perkembangan masyarakat yang menghasilkan kebudayaan itu.

Kerananya, setiap batasan yang ada seharusnya selalu diperhitungkan sifat relatifnya, dan konteks manakah yang dijadikan pijakan batasan itu. Yang jelas, apapun corak dan ragamnya meniscayakan yang hakiki dan universal.

Buku hasil lukisan Gus Mus ini, seperti diakui, Prof. Edy Sedyawati, meskipun antara amplop dan residu rokok adalah dua media yang tidak ada relevansisinya baik dalam segi fungsi ataupun penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun pandangan Gus Mus dua media ini dapat menciptakan dan mampu melahirkan suatu gagasan untuk di ekspresikan serta dikreasikan menghasilkan karya seni lukis yang unik.

Seperti puisi pinggiran lukisannya .“ seandainya aku sengaja/ melukis gejolak hatiku /tentu aku kesulitan memilih warna /dan/ terutama menyusun komposisinya”
Perbedaaan yang ada diantara dua media tersebut terletak pada titik berat keterkaitan objek, atau “Dunia lukis” yang ditampilkan dengan media, yakni keterkaitan antara pelukis, denga objek itu sendiri, dengan realitas, dan dengan audiensi. Dalam kaitan ini, apa pun yang menjadi titik berat keterkaitannya, tetap terdapat satu hal yang mengikat, yakni bahasa lukisan dan maknanya. Pemanfaatan media ataupun realitas dalam lukisan memang berbeda dengan pemakaian pada umumnya. Hal ini secara intingtif disadari oleh kebanyakan penikmat lukisan, bahkan penikmat tak terpelajar sekalipun.

Dalam sejumlah hal, media lukisan memang menggunakan berbeda dengan sarana sehari-hari atau yang sering kita jumpai, terutama dalam hal strukturnya. Sarana lukisan seolah-olah memiliki/menjadi semacam perangkat khusus. Meskipun terjadi penyimpangan secara normatif, ini di mungkinkan demi pencapaian tujuan estetis. Karya estetis yang memanfaatkan media secara khas, hal ini sejalan dengan pandangan yang menyatakan bahwa jika suatu realitas yang memanfaatkan media lukisan yang bersifat “luar biasa”, maka akan menghasikan yang luar biasa juga.

Al-hasil lukisan Gus Mus inilah yang memang luar biasa, hingga ada seorang kawan pelukis dan pematung yang tertarik pada amplop kleteknya dan mengusulkan untuk dipamerkan, meskipun Gus Mus Sendiri belum yakin amplop-amplop buatannya untuk dipamerkan. Hingga pada suatu saat dari” Rumah Dongeng Indonesia” datang bermaksud untuk memamerkan, kemudian dilaksanakan pada tanggal 20-23 Desember 1997 di Gedung Seni Rupa DEPDIKBUD Jakarta dengan tema “99 Lukisan a. Mustafa bisri”
Demi tercapainya penghatan komunal tadi, buku ini hadir dan merupakan coretan kegelisan Gus Mus atas karya yang luar biasa. Dengan menyajikan lukisan hasil perpaduan antara residu rokok dan amplop yang telah dikirimkan pada kolega lengkap puisi penjelas dengan media atau sarana sepele ini menjadi sesuatu yang tidak bisa disepelekan begitu saja, karya ini patut dibaca dan dinikmati estika lukisan yang secara normatif berbeda dengan lukisan lain. Akhirnya, fungsi lukisan Gus Mus bukan semacam karya yang lain, dimana karya mereka mengambil tempat di dunia seni rupa. Tapi karya-karya Gus Mus ini mengmabil tempat dihati kita, lebih condong kepada “cara-cara itikaf yang memadai” dalam menagurngi lautan kehidupan yang makin hari makin ganas.

*)Penulis Pengelola Pondok Budaya Ikon Surabaya
Read More “Amplop Kletek Gus Mus”
ad

Jejak Pengunjung

Mengenai Saya

Foto saya
saya adalah alumni pesantren desa yang jauh dari heruk pikuk informasi dan teknologi, jadi saya berkomitmen untuk memakmurkan pesantren dalam rangka memberdayakan masyarakat kecil

Labels