Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

Percikan Mata Batin Seorang Sufi


Judul Buku : Percikan Cinta dari Surga
Penulis : Geidurrahman El-Mishry
Penerbit : himmah Kelompok Grafindo, Jakarta
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 254 hal
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Pada prinsipnya, manusia diciptakan untuk mengabdikan dirinya kepada tuhan, namun pengabdian tidak semulus apa yang dibayangkannya. Banyak krikil yang menghalangi manusia sampai kepada-nya. oleh sebab itu, manusia perlu mengasah hatinya dengan selalu bertaqarrub kepada tuhannya. Dimensi terpenting dalam pergulatan hamba spiritual hamba mencapai tingkatan dan menjadi tujuan hakiki.
Dengan demikian, setiap dari kita menginginkan kehidupan yang lebih mulia dan bermakna. Hal demikian yang menjadi tujuan hidup manusia, tak lain karena semata ingin mendapat ridha Allah. Keikhlasan dalam beribadah menjadi kata kunci dalam upaya meraih ridha Allah. Kalau ridha Allah sudah kita dapat, apapun akan kita raih, termasuk hidup mulia dan nikmat surga kelak di akhirat.

Nah, dalam buku yang berjudul “percikan Cinta dari surga” ini. Akan mengantar kita pada hal yang demikian, banyak hikmah yang diungkapkan didalamnya. Misalnya tentang terkabulkanya do’anya tukang sapu oleh Allah yang diceritakan oleh Muhammad bin Muhandist, pada suatu malam sang muhandist berada dimasjid, tiba-tiba datang seorang berkulit kecoklat-coklatan, mengenakan kain sarung, dan pada lehernya tergantung kain yang lebih kecil. Lalu laki-laki itu berdo’a agar Allah menurunkan hujan “Wahai rabbku. Para penduduk Madinah kota-Mu telah keluar dan meminta hujan, namun engkau tidak mencurahkan hujan. Kini aku bersumpah atas Mu, turunkanlah hujan”
Lalu suara guntur diiringi hujan yang mulai menjatuhi bumi. Tatkalah itu Muhanndist tadi terkaget-kaget, dari saking penasarannya ia membuntutinya tiap kali habis sembahyang shubuh, yang selalu keluar setelah salam tanpa berdzikir terlebih dahulu.

Sampai dirumahnya. Langsung sang muhandist disambut oleh yang berdo’a dimasjid tadi dan menanyakan tentang apa yang bisa dibantu tapi sang muhandist men jawab sekaligus bertanya,”apa benar anda yang bersama saya pada suatu malam itu”.Tiba-tiba yang ditanya raut wajahnya berubah kerah-merahan dan mengumpat sang Muhannadist, kemudian muhanndist meninggalkannya.

Dari secuil cerita diatas, dalam diri kita akan terbersit sesobek hikmah yang mulai luntur dari kaum muslim ditengah derasnya kilauan dunia. Pertama tidak riya’dalam beribadah kepada tuhan, dan bila riya terdapat pada diri seseorang maka Allah akan melaknat hambahnya. Sebab riya adalah perbuatan yang sama halnya menyandingkan kemuliaan-nya dengan yang lainnya.

Kedua tidak ta’jub, ujub, sombong, dan kemegahan lantaran popularitas. Karenanyamenghindari sebab dan musababnya popularitas menjadi wajib. Kecuali lantaran menyebarkan agama (dakwah) Allah, dengan ketaatan, ikhlas, perbuatan yang bisa dirasakan manfaatnya oleh orang banyak, sehingga ia menjadi masyhur dengan sendirinya. Dan hal ini, perlu diatasi dengan cara mencintai Khumul (anti ketenaran), ia tidak mabuk dipuji dan tidak memperdulikan yang mengaguminya. Orang semacam ini, budi pekertinya baik, bisa menjaga lisannya serta renda hati dalam berbagai persoalan.

Ketiga tidak mencari kedudukan, sedangkan harta dan kedudukan tidak bisa dipisahkan dengan popularitas. Keduanya adalah sendi dari dunia. Secara alami orang yang tertarik dengan harta karena ingin memiliki dan memanfaatkan buat kebutuhan hingga kebutuhan sampai tingkat menguasainya. Sementara itu, orang tertarik dengan kedudukan. karena ingin dihormati, diagungkan, ditaati juga ingin mendapatkan kekayaan. Dua sendi dalam kehidupan ini saling terkait satu sama lain ( hal, 77 ).

Melihat realitas saat ini, mungkin hampir tidak ditemukan orang yang tidak mencintai dan bahkan mencari popularitas, kedudukan dengan cara riya, mengagungkan kelebihan diri sendiri, menjelek-jelekkan orang lain. Kadang supaya dirinya popular dan mendapat jabatan yang diinginkan ia berani menhambur-hanburkan uang dengan beriklan di TV, surat kabar dan lain-lain. Dan andaikan orang-orang mencontoh dan mengambil pelajaran kisah diatas, tidak tidak mempopularkan diri dalam mencari jabatan, yang ujung-ungnya hanya mencari kekayaan pribadi bukan kemaslahatan umat, niscaya selalu teduh dan tidak kering dari spiritual.

Sungguh, Geidurrahman El-Misry sapaan nama pena dari Aguk Irawan telah mampu menyajikan kisah-kisah Sufi dari kalangan sahabat Nabi dan tabi’in yang diangkat dari kitab-kitab klasik dengan dipadukan dengan tafsir hikmah, hingga menambah inspirasi orang-orang yang ingin mendapatkan ridha Allah dengan merasa sejuk bersamanya dan dapat mengambil ibrah dengan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian tidak heran kalau KH. Musatafa Bisri atau Gus-Mus di cover depan mengatakan Bahwa “Buku yang cerdas, yang menghantarkan hidup kita menjadi lebih bermakna dan mulia dengan mengapai ridha dan surga Allah, serta menjadi bagi pencerahan mata batin dan spiritual kita”.

Dengan demikian, buku ini perlu dibaca siapapun yang rindu akan nilai-nilai kearifan berakar dari shahabat, tabi’in dan ulama sholeh. dan tentu dalam buku ini terdapat beberapa kelemahan yang tidak begitu fatal.

Akhirnya, setiap manusia harus senatiasa menjadi hamba pilihan Allah SAW. Karena hanya dengan menjadi pilihannya, manusia bisa mendapatkan tempat dan derajat tinggi disisinya. Untuk mengujudkan keinginan luhur itu tentu tidak gampang, apalagi pada era sekarang, penuh tantangan dan godaan. Wallahu A’lam bis showab.



*)Penulis Alumni PP. Nasy-Atul Muta allimin, Mantan Aktivis PAC. Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama Gapura Sumenep.
Read More “Percikan Mata Batin Seorang Sufi”

Tokoh Legendaris Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah


Judul Buku :MENGENAL K.H.NAWAWI Berjan Purworejo, Tokoh diBalik Berdirinya Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah
Penulis :Drs.HR.Mahsun Zain, Dkk ( Tim PP . An-Nawawi )
Pengantar :K.H.Ahmad Idris Marzuki
K.H.Maimoen Zubair
Penerbit :Khalista Surabaya
Cetakan :I, Agustus 2008
Tebal :xx+184 hlm
Peresensi :Ahmad Shiddiq Rokib*

Dunia tasawwuf muncul akibat kepongahan kelompok umat islam yang merasa tidak puas dengan kedekatan diri mereka kepada tuhan melalui ritual-ritual formal seperti sholat, puasa, dan sebagainya. Mereka ingin mencapai intisari ibadah yaitu adanya kesadaran akan adanya komunikasi antara roh manusia dan tuhan. Kesadaran inilah yang pada akhirnya memunculkan ajaran-ajaran tasawwuf baik yang hanya disampaikan secara lisan dari seorang guru kepada muridnya maupum yang ditulis dalam bukunyasemisal Ihya Ulum al-din Oleh al-Ghazali. Bahkan pada abad XII Masehi ikatan guru dan murid dalam kontek usaha transfer ajaran ( tranfer of doctrine) mulia terorganisir yang dikenal dengan nama tharikat.

Adalah K.H. Nawawi bin Shiddiq yang merupakan mursyid thoriqah sekaligus pendiri Organisasi Jam’iyyah Thariq al-Mu’tabarah yang cukup dikenal dan patut menjadi tokoh teladan oleh segenap guru dan santri thoriqat dari berbagai aliran utamanya Thariqah Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah dan umumnya seluruh muslim-muslimat dipenjuru tanah air ini. Pasalnya, derajat yang tinggi dalam beberapa kepengurusan organisasi sosial kemasyarakatan baik dalam lingkup organisasi Nahdhtul Ulama (NU), Thariqh, dan sebagainya, tidak menjadikan “ menyembulkan” keluar dari jati dirinya. Tetap mampu menahan godaan pengaruh kewibawaan, yang kini banyak dicari orang.
Posisinya yangat strategis sebagai salah seorang pendiri dan pelopor berdirinya Jam’iyyah Ahli Thariqh Al-Mu’tabarah yang dideklarisikan di Pondok Pesantren Tegalrego Magelang pada tahun 19-20 Rabi’ul Awal 1377 H. /12-13 Oktober 1957 M. Tidak dijadikannya ajang untuk mencari keuntungan Pribadi. Beliau, seorang kyai yang matang dalam berorganisasi khususnya di NU dan Thariqah Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah, tidak pernah mbalelo dalam masa pengabdian yang panjang, banyak kawan sederhana, tidak neko-neko, namun tetap dihormati oleh kalangan tua dan digandrungi anak muda.

Jadi tidak heran, jika semua dilakukan hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Sebab ulama pengasuh Pondok Pesantren ini, seperti ynang dituturkan oleh K.h. Ahmad Idris Marzuki pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri bahwa ia mengawali karir pengabdiannya dengan menimbah ilmu pada beberapa pesantren di Jawa Tengah dan Jawa timur. kesederhanaannya dalam hidup, diwarisi dari ayahandanya K.H.Shiddiq bin Zarkazi, dan nampak jelas dalam ingatan teman-teman selama enam tahun mondok di pondok lirboyo Kediri yang diasuh oleh Syech Abdul Karim bahwa penghidupannya terlalu sederhana karena diperoleh dengan jalan “ buruh ngeseh kitab ” pada teman-temannya.

Semangat pengabdian kepada umat pula yang memompa keprihatinannya menyaksikan pada masanya, banyak terjadi penyimpangan dalam ajaran thariqat. Keprihatinannya inilah yang menuntutnya menemukan ide brilian dengan memprakarsai terselenggaranganya kongres I Alim Ulama Thariqah Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah pada tanggal 12-13 Oktober 1957 dan pada saat ini pula dideklarasikannya Jam’iyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah. Sebelumnya beliau membuat kesepakatan antara K.H.Nawawi Berjen dengan K.H. Masruhan Brumbung pada tanggal 31 Desember 1955 untuk meluruskan dan menyepakati perlunya membentuk jam’iyah tharikat shohihah karena ditengarai terjadi penyimpangan ajaran dan tidak terorganisirnya pengikut thoriqat. Demi memuluskan ide tersebut beliau berkeliling untuk silaturrahim pada pengasuh pondok-pondok yang ada di Jawa tengah dan Jawa Timur ( hal 96).
Disamping itu, beliau adalah sosok pemikir yang tidak kalah produktif dengan pemikir kontemprer ini, utamanya berkaitan dengan din maupun masalah duniawiyah. Ini terlihat dari sejumlah karya tentang keutamaan al Qur’an, Aqidah, tasawwuf / thariqat, fiqih hingga kemandirian ekonomi dan tata Negara, yang hampir semuanya berbahasa arab dan jawa dengan berbentuk syair. Pada bagian pembahasan tentang tata negara beliau sangat cerdas memeparkan bahwa umat islam indonesia harus bisa menata agama dan negara dengan sebaik-baiknya dan bagaimana rakyat indonesia bisa maju dan mandiri secara ekonomi yang tidak berergantung pada negara asing dan peminpin yang mengelolanya untuk kesejahteraan bersama.

Sungguh, buku ini cukup runtut dalam memaparkan fakta sejarah karena didukung sumber yang terpercaya. Lebih dari itu, buku ini saja memaparkan sejumlah peristiwa tetapi penulisannya telah diberikan penjelasan makna sejarah dan fakta yang ditampilkan, sehingga melalui buku ini, pembaca akan dibuat terkaget-kaget dan kagum akan kebesaran visibelitas sang tokoh dengan segalah karya dan pemikiranya yang boleh dibilang komplit. Sehingga patut direkomendasikan bagi akademisi, peneliti, dan tokoh ulama-intelektual yang ingin mendapatkan fakta baru tentang sejarah thariqat di Indonesia, sekaligus menaruh perhatian pada dunia tasawwuf kontemporer.
Akhirnya, dari sejarah tokoh legendaris ini, kita sebagai generasi dan penerus perjuangan ulama terdahulu bisa mengambil suri tauladannya yang suka pengetahuan, kesederhanaan, mengutamakan orang lain, ikhlas, mandiri, disiplin, sabar dan tak kalah penting cintanya pada tanah air dan bangsa indonesia ini. Luar biasa bukan ?.


*) Santri Pondok Pesantren Luhur Husna dan koorditor Student Association of Moslem Indonesia ( SAMI ) di surabaya
Read More “Tokoh Legendaris Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah”

Gur Dur dan Konflik PKB


Judul Buku :GUS DUR GARIS MIRING PKB
kumpulan Tulisan Khusus Tentang Gus Dur dan PKB
Penulis :A.MUSTOFA BISRI
Penerbit :Mata Air Publishing
Cetakan :I, Mei 2008
Tebal :137 hlm
Peresensi :Ahmad Shiddiq Rokib*


Boleh dibilang antara K.H. Abdurrahman Wahid yang biasa dikenal Gus Dur dan K.H. A.Mustofa Bisri atau Gus Mus. Ibarat, dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan apalagi kedua tokoh tersebut memang lengket sejak menempuh studi ke Negeri para Nabi ( Mesir ) hingga kembali ke Tanah Air, meskipun keduanya beda jalan dalam mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan ummat dan bangsa. Gus Dur sibuk dengan mengurus partai politik (PKB) sebagai instrumen, sedangkan Gus Mus sendiri lebih banyak menyapa ummat lewat tulisan, lukisan, dan pengajian. namun keduanya bisa saling mengisi dan melengkapi satu sama lain.

Ada banyak hal, yang membedakan kedau tokoh ini, salah satunya adalah kalau Gus Dur lebih banyak melontarkan pernyataan kontroversial, sehingga gaya yang seperti itu banyak orang rasan-rasan dan menimbulkan pro-kontra, ada yang benci oleh sebagian orang sekaligus dipuji oleh pengagumnya. Gus Mus yang bergelut dengan sastra yang identik dengan estetika ( keindahan ) dan kelembutan membuat kyai bersahaja selalu menjadi penengah atau mengakurkan orang yang bertikai, tidak terkecuali saat konflik menyerang Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB ) dan sering kalangan yang berkonflik menyebut-nyebut namanya untuk segera turun gunung meredakan api yang membara.

Buku yang ditulis oleh Gus Mus yang berjudul ”GUS DUR Garis Miring PKB, Kumpulan Tulisan Khusus Tentang Gus Dur dan PKB” ini merupakan respon seorang kyai kesohor sekaligus pendiri partai berlambang bola dunia dengan dikelilingi bintang sembilan, terhadap konflik yang tak kunjung usai, meskipun sudah banyak makan korban atau lebih tepatnya adanya kepentingan tidak terakomodasi secara rapi.

Bisa dibayangkan, sudah tujuh kali menyelenggarakan Muktamar hampir semuanya menjadi catatan merah ditangan Gus Mus. Ada yang menarik dari apa yang dituturkan oleh pengasuh pondok Roudhotut Thalibin ini, apa yang yang menjadi kemelut ditubuh partai yang selalu meneriakkan jargon “Membela yang benar” disebabkan. Pertama terpilih Gus Dur sebagai Dewan Syuro untuk pertama kali di Surabaya dan masih menjadi Presiden RI dengan Dewan Tanfidznya H.Mathori Abdul Djalil. Sejak itulah, PKB identik dengan Gus Dur atau sebaliknya Gus Dur identik dengan PKB, tepatnya Gus Dur menjadi institusi sendiri dalam partainya. Kedua Gus Dur yang merupakan tokoh besar untuk PKB, sehingga, mempersempit sekaligus tidak menyisakan ruang gerak bagi kader-kader PKB. Seperti, Mathori Abdul Jalil, Alwi Shihab dan yang terakhir A. Muahimin Iskandar menjadi wujuduhu Ka ‘adamihi, adanya seperti tidak adanya.

Ketiga lemahnya kader partai yang belum matang berorganisasi dan belum terbiasa berpartai, sehingga memperparah sekaligus memicu ketidak stabilnya organisasi. Konflik yang terjadi antar elit ditubuh partai besar ini, seharusnya bisa diminimalisir oleh kubuh yang berseberangan dan tidak perluh mengikut sertakan pengikut yang tidak tahu apa-apa.

Gus Mus sendiri telah mewanti-wanti untuk menyelesaikan persoalan yang tidak berujung secara kekeluargaan sebab tidak akan menguntung pada PKB sendiri, utamanya kyai dan warganya yang mulai kebingungan bahkan kecewa oleh tingkah laku pembesar partai. Dari ini Gus Mus, sering melayangkan surat berupa masukan maupun teguran pada partai, meskipun pada diri Gus Mus sendiri harus mengorbankan perasan demi terciptanya tatanan yang harmonis dan mengujudkan tujuan awal dibentuknya partai yang harapkan menampung aspirasi warganya. Misalnya, surat yang ditujukan pada Pinpinan Partai berisi tentang keresahan warga NU atas perilaku pinpinan yang sibuk bertikai dan kebijakan yang diambil DPP seringkali menimbulkan keributan dibawah tanpa memberikan klarifikasi yang jelas. Dari klarifikasi tersebut menjadi semacan jembatan pada tingkat akar rumput agar tidak meninbulkan pro-kontro antar pendukung.

Namun disatu sisi, Gus Mus menjadi seorang romantisme sejati terhadap sahabatnya, ini terlihat dari surat Gus Mus yang ditujukan pada Gus Dur, dengan maksud merindukan sosok yang dianggap selalu demokrat, egalitarian, dan romantis yang dibangun sejak kuliah dimesir, berubah legal-formal lantaran jarak kekuasan, yang menurutnya mengurangi keakraban antara keduanya. Dengan sangat indah ia menulis kata-kata, layak orang kasmaran dan tak lupa diselah-selah kalimat romantisnya menyelipkan pesan agar orang disayangi itu tidak terjebak pada bithanaah lantaran ia berpandangan tokoh sebesar Gus Dur pasti akan dikerumuni banyak orang yang mempunyai kepentingan untuk diri sendiri.(hal 123)

Kumpulan tulisan tentang Gus Dur dan PKB yang tersebar diberbagai media ini ditulis dengan gaya fimilar, mudah dicernah siapapun, membuat orang yang membaca ingin melanjut kata demi kata dan judul demi judul. Demikian juga buku ini patut dibaca oleh para politisi, simpatisan partai, dan insan akademis yang menaruh perhatian pada perjalanan sebuah partai besar. Disamping masih ada kekurangan yang tidak begitu subtansial seperti kesalahan pengetikan teks dan tidak ada tanggal penulisan yang jelas. Namun, patut mendapat apresiasi, hal ini membuktikan bahwa ia memang menaruh perhatian besar dan menyayangi Gus Dur dan PKB.

Meskipun demikian, tetap saja konsekuensi yang barangkali sangat disadari oleh Gus Gur sendiri dari sikapnya yang tidak suka mememdam sikap dan cueknya terhadap reaksi pro-kontra orang lain, Gus Dur pun menjadi tokoh kontroversial sejati yang dipuja sekaligus dalam waktu yang sama dibenci. Konsekuensi ini justru lebih merugikan pihak yang memuja dan membencinya, ketimbang Gus Dur sendiri, bukankah begitu, Gus ?.

*) Penulis : Mantan Aktivis PAC. Ikatan Pelajar NU Gapura-Sumenep dan saat ini studi di IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Read More “Gur Dur dan Konflik PKB”

Sistesis Spiritual Peradaban Jawa


Judul Buku : Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa
Penulis : Paul Stange
Penerbit : LKIS Yogyakarta
Cetakan : Maret 2009
Tebal : xxix+366 hal.
Perensi : Ahmad Shiddiq Rokib*


Sebagai “pewaris sah nilai-nilai spritual jawa”, aliran kepercayaan sebenarnya menghadapi tantangan serius. Dari segi riil politik mereka dituntut untuk mendudukkan dirinya secara tepat dihadapan kekuasaan negara dan lalu lintas hubungan dengan kelompok-kelompok agama yang menggeliat memproklamirkan kebangkitan. Derasnya arus modernisasi yang membawa semangat hidup pragmatis dan konsumeris, juga memaksa mereka merekonstruksi dan melakukan revitalisme nilai-nilai spritual dan kebudayaan.

Buku Paul Stange ini, merupakan penyingkapan nilai-nilai jawa yang menurutnya merupakan tradisi Tantrik yang sudah ada jauh sebelum kedatangan tradisi-tradisi agama india dan samatik. Dalam banyak hal, paul menegaskan kembali apa yang disebut “agama jawa” atau sering disebut Kejawen dengan segala nilai dan praktik spiritual-ritualnya. Jelas, dibutuhkan suatu energi intelektual yang besar untuk mengklarifikasi hal itu, lantaran jawa yang kita kenali sekarang bersifat sinkritik.

Jawa berkembang tidak dengan kekhasan yang terisolasi, tetapi dalam kombinasi dengan masukan kultural dari luar.
Nah, sementara penegasan agama Jawa senantiasa ingin menjernihkan, dengan cara memilah namun tidak berarti mententangkan, mana yang dianggap murni Jawa dan mana yang sekedar tempelan dari Jawa. Dan ini menjadi kontroversi ini sulit dipisahkan antara Jawa dan bukan Jawa. Misalnya, Jawa dan Islam, sering dianggap suatu “politik pengetahuan” yang ideologis, bahkan merambah ketegangan politik, bahkan pada level aliran kepercayaan.

Buku setebal 366 halaman ini terdiri dari tiga bagian dan terdiri dari beberapa bab, meskipun pada awalnya hanya esai yang berdiri sendiri semua sudah diolah kembali. Tidak hanya proses penterjemahan, tetapi pada pembaruan dan pengurutannya. Pada bagian satu, pendekatan secara etnografis dan tekanannya pada rasa, pengalaman dan antologi tunggal sebagai landasan teori maupun penerapan kejiwaan dijawa. Bagian kedua paul mencoba menelusuri perkembangan didalam lingkungan kepercayaan sejak kemerdekaan, dan dengan sendirinya pada bagian ini beralih pada sejarah, tentu sejarah pada masa kini. Dan bagian ketiga dosen senior dalam program Asian Studies di Murdoch University, Perth, Australia Barat. Mengulas masalah politik penafsiran, terutama oleh ilmuwan Barat, namun pada hakikatnya sasarannya ilmu semata-mata.

Pada umumnya, ada kecenderungan untuk menafsirkan kepercayaan seolah-olah dapat dimengerti didalam satu lapisan dari realitas-realitas pemikiran atau tindakan seperti yang ditawarkannya “praksis” ( perpaduan antara teori dan praktik) sebagai landasan inti untuk memahami gejala-gejala agama dan kepercayaan. Dengan praksis sebagai landasan.

Meskipun antara judul dan sub judul buku ini tidak terdapat keterkaitan yang sangat erat, dan pada awalnya tampak kabur. Istilah “politik” menurut pengakuan paul tidak menyangkut lapangan pemerintahan (walapun pada ahirnya terkait) yaitu berkaitan dengan ilmu sosial dan sastra Barat. Di dalam wacana itu, politik menyangkut antara lain, pola kekuasaan di dalam lingkungan keluarga, antara jenis kelamin, didalam susunan wewenang dikantor atau pabrik dan sampai pada beberapa kompetensi antara beberapa bentuk atau jenis wacana.

Sedangkan penggunaan istilah “perhatian” dan bukan (umpamanya) “meditasi” karena jangkauannya luas, tidak terbatas pada lingkup latihan kejiwaan saja. Dengan demikian, menunjukan adanya permainan serta pengarahan perhatian, tidak hanya di dalam lapangan kepercayaan tertentu, seakan-akan merupakan masalah lingkungan tertentu saja, tetapi di dalam dan melalui kebudayaan secara umum sebagai masalah yang menyangkut semua orang. Setiap kebudayaan menitikberatkan lapangan tertentu dengan cara tertentu pula (247 hal).

Dari itu, paul stange sendiri bisa dikatakan merupakan salah seorang pengamat jawa mancanegara, yang turut menyemarakkan jagad perhatian terhadap jawa yang menjadi fenomena intelektual tahun 1970-an. Tidak sekedar pengamat, paul stange bahkan, seperti diakuinya penganut nilai-nilai jawa. Jawa, sebagai sebuah peradaban, bertahan dengan sintesis spiritualnya terhadap peradaban dunia : Hindhu-Budha dan Islam. Tetapi, mengapa gagap menghadapi penetrasi Barat? Upaya memilah Jawa dan non-Jawa selalu saja merupakan perististiwa politik.

Dan itu selalu ada yang ter(di)singkir(kan). Jawa yang takluk ?lalu siapa pula yang berhak mewakili Hindhu-Budha, aliran kepercayaan, koegrafer Sardono atau Bagong, Gus Dur dan pesantrennya, kraton Mataram atau lembaga Javanologi? Mungkin tak seorang pun dari mereka karena Jawa telah menjadi masa silam dan hanya ada dalam imajinasi. Semakin ia dikaji untuk masa kini, semakin kita menelusuri masa silamnya.

Untuk itu, membaca buku ini dengan sendirinya kita berhadapan dengan seoarang yang disatu sisi murni scholar (seorang yang berjarak terhadap Jawa), namun sekaligus disisi lain menjadi “orang dalam” yang menganut dan menghayati nilai-nilai yang diteropong tersebut. Sehingga buku ini layak dibaca siapapun yang menaruh perhatian pada kebudayaan Nusantara khususnya Jawa. Baik, budayawan, akademisi dan masyakat umum, karena lewat suatu teropong etnoggrafisnya yang dikombinasikan dengan penelusuran leterarnya, buku ini makin lebih hidup.
Waallahu a’lam bisshawaf.


*) Penulis adalah Staf Departemen Pengkajian dan Penelitian Pondok Budaya Ikon Surabaya.

Tulisan ini dimuat NU online
Read More “Sistesis Spiritual Peradaban Jawa”

GUS MUS Bicara Nasib Rakyat


Judul Buku :KOMPENSASI
Penulis        :A.MUSTOFA BISRI
Penerbit     :Mata Air Publishing 
Cetakan      :Februari 2008
Tebal           :x+ 312 hlm
Peresensi    :Ahmad Shiddiq Rokib*

Dalam Motto buku Ini tertulis “ Mungkin akan jumpai empat macam orang ; orang tahu dan tahu bahwa dia tahu, bertanyalah kepadanya; Orang yang tahu dan tidak tahu bahwa dia tahu, ingatkanlah dia; Orang yang tidak tahu dan tahu bahwa dia tidak tahu, ajarilah dia; orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu, tinggalkanlah dia ” bisa dikata mencerminkan kegelisan Gus Mus pada realitas sosial.

Betapa tidak, ditengah tertapaan sosial, politik, dan himpitan ekonomi rakyat indonesia makin tak berdaya. Rakyat mengalami goncangan psikologis, dan penguasa tidak peka pada keadaaan yang sedimikian berat tersebut. Ada banyak kebijakan tidak pro rakyat dan wakil rakyat masih jauh yang diharapan.

Buku kompensasi, kumpulan tulisan K.H.A. Mustofa Bisri yang lebih popular Gus Mus ini. Menjadi kompensasi tersendiri bagi rakyat Indonesia meskipun, istilah kompensasi menjadi popular bersamaan dengan kebijakan yang tidak popular dengan naik harga BBM, pengertiannya tidak sesempit itu, disamping sebagai obat terapi bagi penguasa yang sering kali kebijakannya terjebak realitas politik.

Membaca buku ini, bisa diterkah dengan ibrah motto diatas; ada tipe orang yang tahu bahwa dia tahu, bertanyalah. Bisa kita maknai Gus Mus sendiri dalam berdakwah ia sering dimentai pendapatnya tentang perkara sehari-hari baik rakyat, penguasa dan ulama sendiri tapi sang empunya tetap menempatkan diri pada porsi sangat sederhana, dan tidak memanfaatkan kehormatan yang didapatkan untuk mencari keuntungan dibalik kebutuhan orang yang membutuhkan dengan diam seribu bahasa bukan berarti tidak peka melihat realitas atas kedzaliman yang meraja rela.

Menjadi bukti bahwa Gus Mus patut menjadi rujukan bertanya bisa dilihat pada kumpulan tulisan ini. Ia banyak menyampaikan lewat media, dia tidak segan-segan untuk sekedar mengkritik penguasa yang lalim atau menjadi metra berbagi kesedihan rakyat dengan tulisannya. Hal ini, mungkin dipengaruhi jiwanya yang selalu teduh, luas akan penghayatan ilmu dan jiwa kebudayaannya yang terpatri dalam hati melengkapi kepribadiannya yang santun. 

Selanjutnya tafsiran, orang tahu dan tidak tahu bahwa dia tahu, bisa berarti pemerintahdan-wakil rakyat kita sudah tahu nasib rakyat yang selalu tertindas dari kebijakn tapi tidak mau tahu, dan ini bisa kita lihat tulisan berjudul kompensasi dan bagaimana geramnya Gus Mus terhadap kebijakan tadi “ pemerintah eksekutif dan legislatif rupanya belajar dari kenaikan BBM sebelumnya yang tidak diikuti oleh program anti kemeskinan yang efektif dan ternyata berdampak sangat luas di masyarakat. Beban rakyat makin terus meningkat karena kenaikan harga pokok. Kaluapun belajar , tapi tidak sampai memikirkan dampak dari kebijakan tadi, baik mental maupun fisik, seperti budaya bergantung dengan menjadikan rakyat malas bekerja dan terjadi kroyokan antar penerima( hal, 36).

Orang yang ketiga ini, bisa kita maksudkan pada rakyat indonesia yang memang dia betul tidak tahu tentang apa dan bagaimana menjadi bangsa dan menjadi manusia seutuhnya, tentunya karena dia menyadari bahwa dia tidak tahu, sebagai orang terdidik jangan selalu membodohi tapi sebaliknya bagimana kita memberikan pendidikan, pengertian, dan menyadarkan bahwa dia manusia yang patut menjadi mendapatkan hak-hak sebagimana mestinya. 

Dan yang terakhir ini, menjadi repot jika ada orang tidak dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu, bagaimana bisa ? ya bisalah !. kalau rakyat, penguasa/ pemerintah, ulama pura-pura tidak tahu apa yang akan diperbuat untuk bangsa dan kebaikan bersama, meskipun hanya untuk diri sendiri. Orang yang seperti ini digambarkan oleh Gus Mus dalam tulisan berjudul Fenomena ada orang berkepala dua , tikus berkolusi dengan kucing dan sebagainya, sungguh betul-betul tidak tahu apa yang akan perbuat oleh dirinya sendiri.

Dari macam-macam orang -orang diatas, tentu kita berpikir akan menjadi orang seperti apa kita ini, termasuk orang tahu dan tahu bahwa kita tahu, atau pilihan yang kedua, orang tahu dan tidak tahu bahwa kita tidak tahu atau lebih tepat pura –pura tidak, kalaupun kita berada termasuk orang yang ketiga juga tidak apa-apa. Karena orang tidak tahu dan tahu bahwa kita tahu, masih ada orang mengingatkan, tapi menjadi orang keempat ini, menjadi sangat naif sudah tidak tahu dan tidak bahwa dia tidak tahu, juga tidak orang mau untuk sekedar mengingatkan kita, karena orang tahu bahwa kita tidak ada gunanya.

Disinilah, pentingnya membaca buku ini. Untuk sekedar tahu bagaimana orang macam orang bersentuhan dengan baik, ulama, rakyat, bahkan gaya kepeminpinan penguasa. Dan patut menjadi pelengkap referensi kita dalam menatap masa depan yang lebih baik. Kalaupun ada kekurangan dalam buku ini, pada sumber tulisan yang dimuat atua disampaikan pada kegiatan apa ? tapi tidak mempengaruhi subtansi penyampaikan ide-ide segar pengasuh pondok pesantren Raudhotul Tholibin sekaligus budayawan NU ini. Karana jarang orang seperti Gus Mus ini, yang berani mengungkap isi hati tampa ada yang tersinggung dan menariknya buku ini ditulis dengan khasnya.

Dan terakhir, buku ini menjadi kompensasi tersendiri bagi Gus Mus, Rakyat Indonesia dan wakil pemerintah Indonesia. Sekaligus kado bagi bangsa mengalami degradasi di era transisi.

Waallahu a’lam bis shawab.

*)penulis santri Pesantren Luhur Husna dan aktif di Pena Pesantren
Read More “GUS MUS Bicara Nasib Rakyat”

Korupsi dilingkaran Kekuasaan


Judul Buku : Kekuasaan Dan Perilaku Korupsi
Penulis        : Saldi Isra
Pengantar  : Mochtar Pabottinggi
Penerbit     : KOMPAS
Cetakan      : I, Januari 2009
Tebal           : xIii +210 hal
Peresensi    : Ahmad Shiddiq Rokib*

Buku Saldi Isra berjudul kekuasaan dan perilaku korupsi merupakan kumpulan tulisan tentang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur pemerintah. Kegelisahan dosen Hukum Tata Negara andalas cukup beralasan atas perilaku tangan-tangan jahil. Seperti dalam pengantar buku ini, Mochtar Pabottinggi mengatakan ada kesalahpahaman dalam memaknai korupsi, sehingga antara pelaku dan masyarakat merasa perilaku tersebut adalah hal yang biasa dan dapat dimafhumi dalam kekuasaan dengan kata lain korupsi sebagai budaya dan terbudayakan.

Memerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, dari sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan. Mati satu tumbuh seribu, kata pepatah.

Salah satu kekeliruan upaya pemberantasan korupsi selama ini adalah terlalu fokus pada upaya menindak para koruptor. Sedikit sekali perhatian pada upaya pencegahan korupsi. Salah satunya lewat upaya pendidikan antikorupsi. Terakhir, era reformasi melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selain diserahi tugas penindakan, juga tugas pencegahan tindak pidana korupsi.

Pendidikan anti korupsi sebagai Jawaban

Tidak ketinggalan banyak pada peranan birokrasi pendidikan pun. Bukan rahasia lagi, jika praktek korupsi di sekolah juga memiliki korelasi dengan lembaga di atasnya, seperti dinas pendidikan. Mereka menikmati keuntungan melalui setoran-setoran atau jasa tanda terima kasih, malah tidak sedikit yang aktif menjadi bagian dari rantai korupsi di sekolah. Dengan demikian, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum kurikulum antikorupsi diterapkan. Mulai mereformasi institusi pendidikan, sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan kekuasaan antara kepala sekolah, guru, dan orang tua murid. Selain itu, terus mendorong upaya peningkatan kesejahteraan guru atau dosen. 

Tentu saja, akan ada perlawanan dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan dari praktek korupsi di institusi pendidikan. Tapi tidak ada pilihan lain, institusi pendidikan sebagai benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi sudah menjadi tempat mempromosikan korupsi, karena itu harus direbut. Kalau itu semua sudah dilakukan, tanpa menggunakan kurikulum antikorupsi pun dengan sendirinya sekolah akan menjadi tempat mempromosikan nilai-nilai antikorupsi, karena memang itu khitahnya.

Ide memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum mendapat respons positif masyarakat. Hasil jajak pendapat harian Seputar Indonesia terhadap 400 responden (27/5), sebanyak 87% menyatakan perlunya memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum. Keyakinan masyarakat juga relatif besar. Hampir 200 responden menyatakan keyakinannya bahwa pendidikan antikorupsi bisa berjalan efektif membendung perilaku korupsi di Indonesia

Pokok Bahasan dalam Mata Ajaran. Pertanyaan muncul, haruskah pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran tersendiri? Mestinya tidak, sebab hal ini malah akan menyusahkan anak didik. Saat ini peserta didik sudah demikian sesak dengan melimpahnya mata pelajaran yang harus dipelajari dan diujikan. Dikhawatirkan anak didik akan terjebak dalam kewajiban mempelajari materi kurikulum antikorupsi. Bisa jadi yang akan muncul adalah kebencian dan antipati pada mata pelajaran antikorupsi. Bukannya pemahaman dan kesadaran antikorupsi.

Pendidikan Nilai, Pendidikan antikorupsi bagi siswa SD, SMP, dan SMU akhirnya memang mengarah pada pendidikan nilai. Pendidikan antikorupsi yang mendukung nilai-nilai kebaikan. Pendidikan yang mendukung orientasi nilai, mengutip Franz Magnis Suseno, adalah pendidikan yang membuat orang merasa malu apabila tergoda untuk melakukan korupsi, dan marah bila ia menyaksikannya.

Menurut Franz Magnis Suseno, ada tiga sikap moral fundamental yang akan membikin orang menjadi kebal terhadap godaan korupsi: kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab. Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi. Menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Seseorang perlu berperilaku jujur bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk.

Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Magnis mengatakan, bersikap baik tetapi melanggar keadilan, tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju kebaikan. Tanggung jawab berarti teguh hingga terlaksananya tugas. Tekun melaksanakan kewajiban sampai tuntas. Misalnya, seoarang diberi tanggung jawab mengelola dana kegiatan olahraga di tempatnya tinggal. Rasa tanggung jawab seseorang terlihat ketika dana dipakai seoptimal mungkin menyukseskan kegiatan olahraga. Menurut Magnis, pengembangan rasa tanggung jawab adalah bagian terpenting dalam pendidikan masyarakat menuju kedewasaan. Menjadi orang yang bermutu sebagai manusia.

Nah, buku Saldi Isra ini, mampu menguraikan dengan bahasa sederhana dan gamblang, perihal korupsi yang begitu rumit, mengurita, dan melibatkan segala kekuasaan. Argumen cerdas didukung data kuat.. sehingga buku setebal 209 halaman ini patut dibaca oleh segala kalangan yang peduli akan pemberantasan korupsi dan membangun nalar anti korupsi.

*) Alumni Pondok Nasy Atul Muta’allimin Sumenep, dan pengelola pondok Budaya ikon Surabaya. 

Read More “Korupsi dilingkaran Kekuasaan”