tag:blogger.com,1999:blog-73364289223150418172024-02-18T23:22:31.604-08:00Pena PesantrenPena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.comBlogger28125tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-83853183929867046182011-07-31T10:38:00.000-07:002011-07-31T10:46:22.829-07:00Tarekat Sebagai Respon Kultural<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5eKMtrfp0y7skjULzZfPpQcBDkY10B_vh1DlotVC1d0c58f-NIb44KVjgQ2UWAXKjEbiJq6amrwIQIgBUAM91NvO_4DX63DK8dTOMzC9KDFmnFhtXtn5czjo9wCi7q4Zrv4vy1sJzEqYo/s1600/22+aliran+tarekat.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 134px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5eKMtrfp0y7skjULzZfPpQcBDkY10B_vh1DlotVC1d0c58f-NIb44KVjgQ2UWAXKjEbiJq6amrwIQIgBUAM91NvO_4DX63DK8dTOMzC9KDFmnFhtXtn5czjo9wCi7q4Zrv4vy1sJzEqYo/s200/22+aliran+tarekat.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5635572556406288498" /></a><br />Judul : Ensiklope 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawwuf<br />Penulis : K.H. Azis Masyhuri<br />Penerbit : Imtiyaz, Surabaya <br />Cetakan : I, Juli 2011<br />Tebal : xx+338 hal.<br />Peresensi : Ahmad Shiddiq *<br /><br />Sungguh beruntung Indonesia mempunyai tokoh sekaliber HB Yasin, karena selama hidupnya, H.B. Jassin juga dikenal sangat ahli dan tekun dalam mendokumentasikan perkembangan sastra Indonesia. Hasil jerih-payahnya saat ini dapat di temukan pada Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. dengan ketelatenannya mendokumentasikan sastra yang berserakan menjadi himpunan sastra yang tak ternilai harganya, Sehingga generasi selanjutnya, turut menikmati sastra peninggalan para pujangga masa lalu. Begitu juga Nahdlatul Ulama sangat beruntung mempunyai KH. A Azis Masyhuri yang dengan telaten mendokumentasikan tentang ke-NU-an, hal ini di akui oleh Martin Van Bruinessen, peneliti senior Universitas Utrecht Belanda, yang rajin menulis tentang NU.<br /><br />Buku Ensiklopedi 22 aliran tarekat dalam tasawwuf karya kiai yang produktif ini, memuat berbagai aspek esotoris maupun eksotoris 22 aliran tarekat yang sudah masyhur : Alawiyah, Ahmadiyah Badawiyah, Aidrusiyah, Chistiyah, Dasuqiyah, Ghazaliyah, Haddadiyyah, Idrisiyah, Khaltiyah, Malamatiyah, Maulawiyah, Naqsabandiyah, Naqsabandiyah Haqqaniyah, Qadiriyah, Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, Rifa’iyah, Sammaniyah, Sanisiyah, Suhrawandiyah, Syadiliyah, Sattariyah dan lain-lain.<br /><br />Tidak hanya itu, penulis buku ini begitu detail menceritakan asal-usul berdirinya aliran tarekat, siapa pendiri, bagaimana ajaran, tempat tumbuh dan berkembang dimana aliran tarekat tersebut. Sedangkan Tasawwuf sendiri merupakan bentuk mistisisme dalam Islam. Tasawwuf bukanlah satu tatanan ajaran, tetapi lebih sebagai mudus pemikiran dan perasaan dalam kerangka agama. Pada awal kemunculannya, mistisisme Islam menampilkan suatu reaksi perlawanan terhadap upaya intelektualisme dan formalisme ajaran Islam dan al-Qur’an yang berkembang sebagai konsekuensi. Secara psikologis landasannya harus dicari dalam hasrat besar manusia untuk menyingkap kebenaran tuhan dan kebenaran agama, upaya untuk mendekati Tuhan secara langsung, serta pengalaman yang lebih personal dan lebih mendalam tentang kedua kebenaran itu.<br /><br />Pada mulanya, tasawwuf berkembang sebagai gaya hidup aksetis, lebih khusus lagi komtemplatif, pada abad kedua Hijriyah dan seterusnya tasawwuf berkembang menjadi gerakan sinkretis, menyerap berbagai elemen dari kristen, Neo-Platonik, Gnotisisme, dan Budhisme, serta berkembang melalui tahap-tahap mistis, teosofis, dan panteistis. Pakaian wol (shuf) diadopsi sebagai pakaian khas mereka, meniru para pendeta kristen yang juga menjadi model penerapan gaya hidup selibat yang tidak pernah diterapkan sebelumnya oleh kalangan muslim ortodoks.<br /> <br />Kelompok sufi (tarekat) yang berkembang pada abad tiga belas mengembangkan konsep relasi antara guru (syaikh) dengan muridnya. Adapun ritual keagamaan dalam tarekat adalah dzikir, merupakan ritual yang sangat rumit dan berbeda dengan praktik dari berbagai ajaran agama lain.<br /><br />Seperti dalam pengantar buku oleh K.H. Said Agil Sirajd, bahwa tasawwuf merupakan bentuk perlawanan dari merajalelanya penyimpangan yang dilakukan penguasa dengan dalih agama demi tujuan pribadi dan gaya hidup mewah yang menjadi kebiasaan para raja dengan membuang sisi dari ajaran agama yang tidak sesuai dengan kehendak pribadi. Sejak saat itu dan seterusnya, sejarah mencatat adanya kebangkitan pembaharuan serta militansi yang kian lama kian mantap dikalangan umat islam yang tulus, untuk mengembalikan pesan orisinil dan sakral yang dibawa nabi Muhammad. Seorang sufi adalah penegak dan penjunjung tinggi pesan-pesan Islam. <br /> <br />Kesufian adalah wilayah yang menghubungkan dimensi luar (lahiriyah) dan realitas yang bersifat fisik dengan dimensi yang tak beruang dan berwaktu (batiniyah) yang hanya dapat dialami oleh kedirian sebelah dalam manusia. Seorang sufi hidup laksana puncak gunung es yang nampak dalam dunia kasat mata. Namun, demikian, juga memiliki aspek-aspek dunia yang terselubung dan tersembunyi oleh indera yang justru merupakan fondasi dari yang terlihat nyata sekaligus bentuk realitas lain yang tidak kasat mata.<br /><br />Ia akan melakukan yang terbaik guna memahami hukum-hukum kausal dan kehidupan sebelah luar yang bersifat fisik sekaligus meresapi guna meningkatkan kesadarannya terhadap “realitas” sebelah terdalam yang “maha luas” yang berarti meliputi dunia yang diketahui maupun tidak, serta menggabungkan realitas yang nampak dengan yang tidak nampak dan dunia yang beruang serta berwaktu dengan dunia yang tidak beruang dan berwaktu.<br /><br />Itu sebab kehidupan sebelah dalam seorang sufi tanpa ada batasnya. Namun demikian, ia tetap mengakui dan menerima batasan-batasan lahiriyah dengan menghormati hukum alam. Seorang sufi sepenuhnya riang dengan kebahagian yang tiada tara dalam jiwanya. Secara lahiriyah, para sufi berjuang kearah kualitas hidup yang lebih di muka bumi dan melakukan yang terbaik tanpa memperlihatkan secara berlebih-lebihan terhadap hasil akhir. Dengan kata lain, mereka memancarkan cahaya dan kesadaran hati manusia serta penghormatan dan pengabdian secara lahiriyah bagi kemanusian.<br /><br />Tokoh-tokoh Sufi dengan aliran dan ajaran banyak sekali bahkan Islam Nusantara tidak ketinggalan, ada Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Abdurrauf al-Singkili, Syekh Khotib Sambas, Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Saleh Darat, ada banyak kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh tersebut dan menjadi rujukan dan berperan besar dalam transformasi ke-Indonesian. Bahkan di Jawa proses islamisasi dengan tarekat sufi berkembang pesat sebagai pendukung imperium islam. Karena sufi di Nusantara dikenal sebagai cendikiawan yang berwawasan luas, penulis kreatif dan produktif serta terlibat dalam berbagai aspek kehidupan.<br /><br />Wal-hasil, melalui buku karya ulama produktif sekaligus ahli dukomentasi NU ini, merupakan sebuah pencapaian yang sangat luar biasa, karena bukuse tebal 338 halaman, diulas dengan padat, buku ini menyajikan gambaran kompreherensif tentang tarekat dan dunia sufisme. Artinya, melalui karya munomental ini, membuktikan kecakapan dan pengetahuan yang luas tentang tarekat-tarekat dan tokoh-tokoh sufi.Sehingga buku ini patut mendapat apresiasi dan layak menjadi bacaan bagi pembaca umum, para sarjana, peneliti atau siapapun yang berminat dengan dunia tarekat dan kesufian.<br /><br />*)Penulis adalah Direktur Pena Pesantren dan Aktif pada Pondok Budaya Ikon Surabya.Pena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-30220369195374353632011-04-19T22:22:00.000-07:002011-04-19T22:29:45.835-07:00Membelah Hukum Minoritas<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZAIPFnks-lbhjy6J9XOXXc4aQjYOP731zEAfPHPj_V3SHeNvNTkJL4Ubx-v0iwhxiLRbiP6PyLcpODMySR28c7JlJoFUOESJ0vQ82QIEwdjYoS37RlpkaVFpbpZ7Tlf8DwpDqDkB5mXJ6/s1600/fiqih+minoritas+1.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 134px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZAIPFnks-lbhjy6J9XOXXc4aQjYOP731zEAfPHPj_V3SHeNvNTkJL4Ubx-v0iwhxiLRbiP6PyLcpODMySR28c7JlJoFUOESJ0vQ82QIEwdjYoS37RlpkaVFpbpZ7Tlf8DwpDqDkB5mXJ6/s200/fiqih+minoritas+1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5597533600690991506" /></a><br />Judul : FIQIH MINORITAS, Fiqh Al- Aqalliyat Dan Evolusi Maqashid <br /> Al-Syari’ah Dari Konsep Ke Pendekatan <br />Penulis : Dr. Ahmad Imam Mawardi, MA.<br />Pengantar : Prof. Dr. Abd. A’la, MA.<br />Penerbit : LKIS, Yogyakarta <br />Cetakan : I, Desember 2010<br />Tebal : xxvi+322 hal.<br />Peresensi : Ahmad Shiddiq *<br /><br />Wacana pembaruan hukum Islam sebenarnya bukanlah masalah baru, dan perdebatan tentang ijtihad pun bukan sesuatu yang asing. Dialog hukum Islam (fiqh) dengan perkembangan sosial juga sudah sering dilakukan. Munculnya nama-nama pembaru hukum Islam modern dan istitusi hukum-hukum Islam modern dan institusi-institusi hukum Islam yang aktif mengkaji hukum-hukum aktual adalah bukti masih hidup hukum Islam, walaupun sempat redup dalam beberapa periode. Namun, lemahnya kajian ushul fiqh yang mengusung spirit ijtihad telah menutup pintu kreativitas para cendikiawan untuk berani memberikan tafsiran-tafsiran baru yang sesungguhnya dibutuhkan oleh muslim kontemporer dengan dinamika kehidupan yang serba cepat.<br /><br />Sejatinya, hukum dibuat untuk mencapai kemaslahatan manusia, tak terkecuali hukum Islam yang diyakini bersumber dari al-Qur’an, hadits, ataupun imam-imam madzhab (fiqh). Apabila hukum tidak lagi mengcover kepentingan maslahah umat manusia, saat itu pula hukum perlu ditinjau kembali dan selanjutnya dibuat hukum yang baru dan lebih akomodatif , dengan tetap tidak menafikan ajaran-ajaran prinsipil agama, yang dalam khazamnah fiqh disebut kulliyatul khams (perlindungan agama, nyawa, keturunan, harta dan akal). Hal inilah yang kemudian menjadikan fiqh aqalliyyat mendapatkan perhatian besar, baik pada tataran produk hukum, metodelogi, maupun, implikasinya.<br />Buku ini dalam diskursus hukum Islam di Indonesia bisa disebut sebagai buku pertama yang secara khusus mengkaji maqashid al-syari’ah sebagai metode pendekatan. Selama ini kita hanya memposisikan maqashid al-syaria’ah sebagai kerangka nilai yang mendasari setiap produk hukum, lalu berpegang pada kaidah ushul dalam proses istibath-nya. Maqashid al-syari’ah dalam buku ini telah berevolusi dan bermetamorfosis sebagai sebuah pendekatan metode pendekatan guna mengasilkan produk-produk hukum Islam yang kompetibel dengan kebutuhan masing-masing komunitas, sehingga melahirkan apa yang disebut fiqih minoritas (fiqh aqalliyat) yang khusus diperuntukkan bagi masyarakat minorotas Muslim yang hidup di Barat.<br /><br />Karena itu, urgensi fiqh ini akan terasa apabila kesulitan dan problematika hidup sebagai minoritas muslim di tengah masyarakat mayoritas non-muslim dapat dipahami dengan baik. Problematika sosial, politik, budaya, dan agama yang mereka hadapi membutuhkan kajian khusus dan mendalam sebagai satu-kesatuan masalah. Fiqh aqalliyat akan menjadi jawaban atas masalah ini apabila ia mampu menjadi serangkaian aturan yang utuh bagi kehidupan keagamaan masyarakat minoritas muslim.<br /><br />Meski fiqih minoritas (fiqh aqalliyat) sebenarnya bukanlah suatu bentuk fiqh yang seratus persen baru dan terpisah dari fiqih tradisional. Fiqih minoritas hanyalah salah satu cabang dari ilmu fiqh yang luas dalam Islam (fiqh makro). Ia merujuk pada sumber yang sama, yaitu al-Qur’an , sunnah, ijma’ dan qiyas. Ia juga menggunakan metodelogi ushul fiqh yang sama dengan fiqh lainnya. Karena itulah, fiqh minoritas ini tidak perlu ditakuti atau bahkan dicurigai.<br /><br />Memang, penulis buku ini bukanlah penggagas pertama hukum Islam semacam itu (fiqh aqalliyyat). Adalah Thaha Jabir Al-Alwani dan Yusuf Qaradhawi yang dianggap sebagai penggagas fiqih ini. Meski demikian, kehadirannya memiliki signifikansi tersendiri, malalui karya ini, penulis menegaskan bahwa ajaran Islam itu universal. Universalisme ajaran Islam berupa nilai-nilai moralitas yang luhur yang bertumbuh kukuh dalam maqashid al-syari’ah. <br /><br />Dalam tataran ini Islam adalah satu. Meminjam konsep Bassam Tibi, dalam bentuk seperti itu Islam merupakan model reaty yang menampakkan diri lebih sebagai suatu ajaran yang bersifat umum, absolute, dan bersifat metahistoris. Oleh karena itu, tugas mujtahid untuk melabuhkan ke dalam realitas konkret melalui kontekstualisasi model for reality tersebut ke dalam pemaknaan yang berkolerasi dengan lokalitas dan temporalitas tertentu. Dengan demikian, Islam bukan sekedar berada di langit angan-angan, atau sekedar archaism yang tidak bisa berdialog dengan tempat dan waktu, atau tak lebih dari sekedar utopian. Islam seutuhnya hadir sebagai agama kehidupan untuk maslahatan dan kehidupan umat manusia. <br /><br />Seperti yang dijelaskan dalam karya Ahmad Imam Mawardi ini, bahwa fiqh aqalliyat didesain untuk memberikan panduan tentang hal-hal yang dilarang dan yang boleh bagi minoritas muslim di negara Barat, yang tidak bersistem pemerintahan Islami. Memang, fiqh pada masa awal memang identik dengan syari’ah, meliputi segala dimensi ajaran agama. Pada perkembangannya, fiqh hanya berisikan hukum-hukum Islam murni, dengan tidak memasukkan bidang aqidah yang dianggap sebagai wilayah kajian teologis, dan akhlak pada wilayah kajian moral atau etika. Perkembangan fiqh pada masa berikutnya terpengaruh oleh trend spesialisasi yang merupakan jargon profesionalisme di berbagai bidang sehingga melahirkan pembidangan yang lebih spesifik tentang wilayah kajian fiqh. Fiqh aqalliyat sendiri merupakan sebagai trend kontemporer kembali memadukan semua bidang.(hal, 124)<br /><br />Hal inilah, yang menjadi perbedaan signifikan dari fiqh pada umumnya adalah fiqh minoritas ini merupakan salah satu produk fiqh geografis yang terlahir dari perspektif yang berbeda tentang maqashid al-syariah. Artinya, maqashid al-syariah dalam fiqh ini, lebih diposisikan sebagai metode pendekatan ketimbang sebagai konsep nilai agung, seperti fiqh umumnya dalam fiqh tradisional. Produk hukumnya pun berbeda. Kalau fiqh umumnya, produk hukumnya didasarkan pada hujjiyah nash (otoritas nash), maka produk hukum dalam fiqh aqalliyat didasarkan pada hujjiyah al-maqashid (kekuatan nilai-nilai tujuan syara’) yaitu untuk mendapatkan kemaslahatan dan menghilangkan kemadharatan.<br /><br />Komitmen keislaman subtantif dan disertai oleh kemampuan penulis buku ini, dalam merangkai karya, sangat menarik untuk dicermati. Sisi-sisi dan nilai-nilai keislaman secara holistik terpampang dari satu uraian ke uraian berikutnya. Ia menggugah kita untuk meyakini dan membumikannya ke dalam kehidupan sehari-hari, secara sosial, budaya, agama, dan berbagai aspek lainya. Dan bagi kalangan non-muslim dapat menambah pemahaman dan meyakini bahwa Islam itu sebenarnya identik dengan nilai-nilai al-akhlaq dan al-shalihah yang ditujukan bagi terwujudnya kemaslahatan bersama.<br /><br />*) Penulis santri Pesantren LUHUR AL-HUSNA dan redaktur Pena Pesantren SurabayaPena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-85311951511680690122010-10-14T05:22:00.000-07:002010-10-14T05:27:35.553-07:00Jejak Sjahrir yang Terlupa<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwdh-6A5qL4xqWsn3L3tU9Bg5GIefqOMNPqibCM0h-lHBpGxaE2q7MG-PevCU_ul-cSQpyeDeXbBiTra2US0Cy8i5gwg2i-ZmHLqu8qDYE-S3cbFqmANr9XjFioKX-CZ0eOE5ug296_xDG/s1600/sutan+syahrir.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 128px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwdh-6A5qL4xqWsn3L3tU9Bg5GIefqOMNPqibCM0h-lHBpGxaE2q7MG-PevCU_ul-cSQpyeDeXbBiTra2US0Cy8i5gwg2i-ZmHLqu8qDYE-S3cbFqmANr9XjFioKX-CZ0eOE5ug296_xDG/s200/sutan+syahrir.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5527877065642774226" /></a><br />Judul : Mengenang Sjahrir. Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan<br />Penulis : H. Rosihan Anwar<br />Penerbit : Gramedia, Jakarta<br />Cetakan : I, Marat 2010<br />Tebal : 508 hal.<br />Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*<br /><br />Kedewasaan berpikir suatu bangsa dapat diukur dari sikap terbuka untuk membicarakan kembali secara rasional dan wajar tokoh-tokoh sejarahnya. Pembicaraan kembali itu menunjukkan adanya kebutuhan rohani untuk meninjau kembali penilaian mereka sehingga dapat dicapai suatu persepsi yang lebih matang tentang tokoh-tokoh yang bersangkutan. Usaha ini mencerminkan dinamika bangsa itu, yang senantiasa berikhtiar untuk wawas diri dalam rangka mengenal diri secara lebih mendalam. Dari pengenalan diri itu diharapkan tumbuh strategi pembangunan manusia dewasa.<br /><br />Tema sentral buku Sjahrir yang ditulis oleh wartawan senior, dari kumpulan karangan ini adalah seorang tokoh nasional yang secara menentukan telah memberi arah dan isi kepada arus revolusi Indonesia dalam suatu kurun sejarah yang penuh emosi dan kekacauan. Jangka waktu hidupnya yang merentang lebih dari setengah abad (lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, 5 Maret 1909 dan meninggal 9 April 1966 di Zurich, Swiss) penuh dengan tantangan dan perjuangan. Dia tumbuh sebagai manusia utuh. Dia menjadi korban orang yang bersikap tak acuh dan membencinya, sekaligus menjadi pujaan banyak orang yang mengagumi dan mencintainya. Penilaian yang objektif terhadap tokoh yang sudah meninggal ini sekarang sangat dibutuhkan oleh generasi tua dan muda. Dan bangsa ini ditantang untuk mengukur kedewasaan berpikirnya dalam menilai kembali kepribadian Sjahrir.<br /><br />Sjahrir, menyelesaikan sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan pada 1926. Sejak remaja, ia sudah menggemari berbagai buku-buku asing dan novel Belanda. Juga senang seni, dimana kadangkala ia mengamen di Hotel de Boer, hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih. Setamat dari MULO, ia masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung. Di sekolah ini, bakat seninya makin berkembang setelah dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis). Di sini, ia berperan sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor. <br /><br />Dalam perjalanannya, akhir tahun 1931, Syahrir kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Ia bergabung dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), yang kemudian pada Juni 1932 dipimpinnya. Ia pun mempraktekkan dunia proletar di tanah air. Ia terjun dalam pergerakan buruh. Juga banyak menulis tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Juga sering berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Kemudian, Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia. Hatta menyusul kembali ke tanah air pada Agustus 1932. Hatta tampil memimpin PNI Baru bersama Syahrir. Organisasi ini berhasil mencetak kader-kader pergerakan. Bahkan pemerintahan kolonial Belanda menilai, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru itu justru lebih radikal daripada gerakan Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. Menurut polisi kolonial, PNI Baru cukup setara dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi, tetapi secara cerdas, berhasil mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.Sehingga, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda memenjarakan dan membuang Syahrirdan Hatta, serta beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul. Setelah hampir setahun Syahrir dan Hatta dipindahkan ke Banda Neira, di sini mereka menjalani masa pembuangan selama enam tahun. <br /><br />Pada masa pendudukan Jepang, Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif<br />Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.<br /><br />Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan." Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan. (hlm, 56)<br /><br />Mengenang Sjahrir adalah kumpulan karangan dari kenalan-kenalan Sjahrir. Mereka memahami makna julukan "Bung Sjahrir", "Bung Kecil". Kata-kata itu menunjukkan hubungan emosional mereka. Bacaan ini tidak hanya dimaksudkan untuk generasi tua yang punya kenangan tentang Sjahrir, tetapi terutama untuk generasi muda yang ingin menentukan sikapnya sendiri terhadap tokoh-tokoh nasional. Setiap generasi merasa perlu menentukan sendiri makna sejarah setiap tokoh nasional dengan melihatnya dari sudut keperluan, aspirasi, dan nilainya sendiri.Usaha suatu bangsa untuk secara terus-menerus menginterpretasikan kembali sejarah nasionalnya memang sarana mutlak dalam meningkatkan kesadaran diri dan pengetahuan tentang diri sendiri. Dan kisah tentang tokoh sejarah seperti Sjahrir merupakan suatu contoh usaha semacam itu.<br /><br />Buku ini, mengupas tuntas perjuangan seorang pahlawan yang sedemikian objektif, karenanya buku setebal 508 patut direkomendasikan dan dibaca pada sejarawan, akademis, mahasiswa dan siapa saja yang menaruh perhatian pada proses terbentuk republik ini. Dengan demikian, menjadi memoar yang tak terlupakan dari perjalanan putra terbaik bangsa Indonesia sepanjang masa.<br /><br />*) Penulis adalah pengelola Pondok Budaya Ikon SurabayaPena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-76204608207518694392010-08-12T23:50:00.000-07:002010-08-17T22:41:29.198-07:00Imam Syafe’i dalam Yurispundensi Islam<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi63HaKw3jqE8xSAwjxfqYxrmISVsOEwabB-EBvLSXoXc5JWIDFr-YtmEORLe6jqWtgmupuR4JGzH7ZVt87trz7H05WXS32BsL3aPlZXA1kCUcerpwRbNV7jgb0HJ9QTGHDc9WbgAfn9TeQ/s1600/imam+syafe%27i.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 128px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi63HaKw3jqE8xSAwjxfqYxrmISVsOEwabB-EBvLSXoXc5JWIDFr-YtmEORLe6jqWtgmupuR4JGzH7ZVt87trz7H05WXS32BsL3aPlZXA1kCUcerpwRbNV7jgb0HJ9QTGHDc9WbgAfn9TeQ/s200/imam+syafe%27i.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5506619998310577410" /></a><br />Judul Buku : FIQIH IMAM SYAFI’I<br /> Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasar Al-Qur’an Dan Hadits<br />Penulis : Prof. Dr. Wahbah Zuhaili<br />Penerbit : Almahira, Jakarta<br />Cetakan : I, Februari 2010<br />Tebal : 716 hal.<br />Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib* <br /><br />Fiqih merupakan cabang ilmu keislaman yang mengkaji hukum syariat yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan ( hablum minallah) dan hubungan antar sesama manusia (hablum minannas). Kata “fiqih” sendiri secara bahasa berarti “paham”. seperti dikutip dalam hadits diatas, awal mulanya fiqih pengertian yang luas, yaitu pemahaman yang mendalam terhadap islam secara utuh. Definisi ini berlaku pada masa generasi sahabat dan tabi’i. Selanjutnya pada masa muta’akhirin (abad IV-XII H), fiqih mengalami penyempitan makna, menjadi “pengetahuan hukum syara’ yang bersifat alamiyah bersumber dari dalil-dalil yang spesifik”.<br /><br />Pada periode Mutaakhirin ini, pula terjadi pelembagaan fiqih dalam beberapa madzhab. Ketika itu ada empat madzhab besar berkembang dan mampu bertahan hingga saat ini, yaitu Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab syafe’i dan Madzhab Hambali. Empat madzhab tersebut tersebar keseluruh dunia, termasuk di Indonesia. Berdasarkan sejarah masuknya Islam ke Nusantara, Madzhab Syafe’i lah yang pertama kali di anut penduduk Nusantara. Dan saat ini mayoritas kaum muslimin indonesia bermadzhab Syafe’i.<br /><br />Madzhab Syafe’i yang digagas oleh Muhammad bin Idris as-Syafe’i (150-204 H) mendapat apresiasi yang luar biasa dari umat Islam dunia. Madzhab ini dianut oleh kurang lebih 28 persen populasi muslim dunia, atau sekitar 439,6 juta jiwa dari 1,57 miliyar penduduk dunia. Penganut Madzhab Syafe’i tersebar di Mesir, Arab Saudi, Suriah, Indonesia, Malasyia, Brunai Darussalam, Pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain.<br /><br />Tidak heran jika pengaruhnya sangat luar biasa dalam yurispundensi Islam sebab Imam Syafe’i memang dikaruniai kecerdasan istimewa, kemampuan nalar dan gaya bahasa yang luar biasa. Pada usia 20 tahun ia sudah hafal kitab “al-Muwaththa’” karya monumental Imam Malik. Imam Malik mengagumi Imam Syafe’i sembari berkata “wahai Muhammad (Syafe’i)” sesungguhnya Allah telah memancarkan cahaya hatimu, maka jangan engkau sia-siakan cahaya itu dengan maksiat. Esok akan banyak orang yang berdatangan untuk belajar kepadamu. Pujian Imam Malik benar menjadi kenyataan. Syafe’i kemudian Imam madzhab panutan umat diberbagai belahan dunia Islam, termasuk di Indonesia. <br /><br />Madzhab Syafi’i, satu dari sekian banyak madzhab fiqih saat ini masih mendapat apresiasi luar biasa mayoritas kaum muslim dunia. Keunggulan utama madzhab Syafi’i terletak pada sifatnya yang moderat. Di awal pertumbuhannya, pendiri madzhab ini, Muhammad bin Idris as-Syafi’i (150-204 H), mengakomodasi dua aliran hukum islam yang berkembang saat itu, yaitu aliran tektualis (madrasatul hadits) dan aliaran rasionalis (madrasatur ra’y). Hasil kolaborasi keduanya dapat dilihat dari produk hukum Imam Syafi’i yang selalu mengacu pada subtansi nash (al-Qur’an dan as-Sunnah), kemudian dalam kasus tertentu dipadukan dengan dalil analogi (qiyas).<br /><br />Sebagai bapak Ushul Fiqh, Imam syafi’i mewariskan seperangkat metode istimbath hukum yang berfungsi untuk menganalisasi beragam kasus hukum baru yang terjadi dikemudian hari. Dari tangan Imam Syafi’i lahir ribuan ulama yang konsen menafsirkan, menjabarkan, dan mengembangkan pemikiran beliau dalam ribuan halaman karya dibidang hukum Islam. Tidak heran jika dinamika perkembangan Madzhab ini melampaui Madzhab lainnya.<br />Buku yang terdiri tiga jilid yang ditulis Prof. Dr. Wahbah Zuhaili ini, memuat ribuan kasus yang terjadi masyarakat, yang dibidik dengan aturan hukum islam dalam berbagai aspek kehidupan yang bersumber dari al-qur’an, as-sunnah, ijma’ ulama dan qiyas serta hasil ijtihad Imam Syafe’i dan murid-murid beliau.<br /><br />Secara garis besar, Masterpiece Prof. Dr. Wahdah as Zuhaili ini disusun dalam lima bab. Sebagai pendahuluan, pembaca akan diajak menelusuri biografi dan pemikiran hukum Imam Syafe’i. Selanjutnya secara sistematis, Prof. Wahbah mengurai secara detail hukum thaharah dan ibadah, pada bab satu. Bab dua menyajikan hukum muamalah konferensional dan syari’ah berikut transaksinya. Bab ketiga memaparkan hukum keluaga Islam. Kemudian pada bab empat berisi hukum Hadd, Jinayah, dan Jihad, terakhir. Bab lima, mengulas aspek peradilan Islam.<br /><br /> Dalam buku fiqih Imam Syafe’i ini diperkaya dengan penjelasan hikmah dibalik penetapan sebuah aturan syariat, penjelasan terperinci atas setiap topik bahasan, dan pemberian contoh-contoh lengkap dengan dalilnya. Penulisan buku ini berpatokan sepenuhnya pendapat Imam Syafe’i yang lebih valid yang terdapat didalam Majmu’dan minhajnya, dan tidak merujuk pada kitab al-raudhah dan sebagainya. Tujuan agar madzhab ini dapat menjadi jelas bagi kalangan awam. Apalagi, penyajian Fiqih perbandingan yang dilakukan terlalu dini tampaknya lebih sering hanya akan memunculkan kebingungan serta menhancurkan keselarasan hukum syaiat.<br /><br />Jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainya, fiqih merupakan ilmu yang paling lurus dan matang. Dengan fiqih, syariat islam telah menjadi salah satu sumber penetapan syariat yang sekaligus dapat diterima disetiap waktu dan tempat. Karena itu, fiqihlah yang telah menghimpun antara ajaran pokok dengan hal-hal yang menjaman serta menghimpun antara upaya untuk menjaga berbagai macam sumber syariat yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis dengan berbagai macam pekembangan dan perubahan yang terjadi, yang tujuannya adalah untuk mengindentifikasi hukum halal-haram dan demi menggapai kemaslahatan bagi umat manusia dan kebutuahan mereka disepanjang zaman. Karena fiqih memang terlahir dari dasar-dasar dan berbagai sumber yang kokoh demi tujuan syariat yang universal.<br /><br />Dengan demikian, buku yang sangat mengagumkan ini patut menjadi rujukan umat Islam, baik untuk dijadikan leterasi dalam dunia akademik maupun sebagai pandangan hidup dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Sehingga, mampu membedakan dari hal-hal yang diperbolehkan dengan yang tidak diperbolehkan oleh agama. Wallahu a’lam bi al-showab. <br /><br />Penulis adalah Aktif Pada Pondok Budaya Ikon Surabaya.Pena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-22510322450993823312010-06-02T21:42:00.000-07:002010-06-02T21:45:38.063-07:00NU dan Politik Kebangsaan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbOVBWGQcy54YCuHodxOFRcuAVmNS4sDsBqOsb3xX30A2RqDVaZDA6fuX9i_mArOETd4O26JAON6t6oXzIvW3FcasOH43gLBvqYN7OF_L8alUgfuoQHF03cWPrmaN8dULBbKhI7olETgHl/s1600/nu+banget.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 118px; height: 160px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbOVBWGQcy54YCuHodxOFRcuAVmNS4sDsBqOsb3xX30A2RqDVaZDA6fuX9i_mArOETd4O26JAON6t6oXzIvW3FcasOH43gLBvqYN7OF_L8alUgfuoQHF03cWPrmaN8dULBbKhI7olETgHl/s200/nu+banget.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5478403786949828754" /></a><br />Judul Buku : Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan<br />Editor : Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzili<br />Penerbit : Kompas, Jakarta<br />Cetakan : I, Maret 2010<br />Tebal : xii + 260 Halaman<br />Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*<br /><br /><br /><br />Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi kemasyarakatan yang berbasis agama (Islam tradisionalis) terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Kiprahnya dalam pembangunan tidak diragukan lagi. Banyak buku yang mengulas perjalanannya yang sangat panjang, mulai pra-kemerdekaan Indonesia hingga zaman Reformasi. Melihat perjuangannya yang unik dan ekspotik serta ketekunan dalam membimbing masyarakat dengan “arus bawah” NU menjadi pusat perhatian para peneliti, baik yang dari dalam maupun luar negeri. Berbagai sisi dari kehidupan NU menjadi fenomena yang mendatangkan rasa antusias para peneliti mulai dari sisi interaksi interpersonal warganya, tradisionalitasnya, dan tak kalah pentingnya adalah kiprahnya dalam perpolitikan kekuasaan di Indonesia.<br /><br />Dapat dikatakan bahwa sumbangan terbesar NU terhadap perkembangan peradaban bangsa Indonesai adalah bidang politik kekuasaan. Sebagai organisasi yang tumbuh dari pergulatan politik, NU banyak mengambil andil dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Sejak awal, NU tampil sebagi “bidan” lahirnya Republik dan penjaga NKRI yang tak diragukan lagi. NU terlibat dalam pembentukan laskar Hizbullah, Jundullah, dan Sabilillah (1945-1949) (salah satu embrio lahirnya TNI) untuk membebaskan Republik Indonesia dari cengkeraman penjajah. Dengan melihat bukti sejarah itu, jelas sumbangan orang-orang NU dalam membangun peradaban bangsa ini sehingga menjadi negara nasional yang solid. Anggapan yang menyatakan bahwa kadar nasionalisme NU rendah bisa dipatahkan dengan fakta sejarah tersebut.<br /><br />Buku ini merupakan kumpulan pikiran-pikiran cerdas kaum muda NU, yang mencoba untuk melakukan refleksi dinamika perubahan yang selalu dan terus terjadi dalam perspektif NU dalam rangka mewujudkan kesatuan bangsa yang beradab dan bermoral. Buku yang berisi pelbagai opini yang telah di muat di Kompas dalam kurun waktu 2004-2009 ini dapat menggambarkan betapa gigihnya perjuangan NU dalam rangka membangun keutuhan NKRI. Ternyata, NU sebagai organisasi umat terbesar, telah menjadi bagian penting dari kekuatan masyarakat beradab untuk berkontribusi dalam membangun keadaban bangsa. NU Berhasil membangun keadaban bangsa yang didasarkan pada semangat kebersamaan lintas agama dan keyakinan, begitulah kata Zada-editor buku ini. Kiranya, tekad bulat NU –seperti ini- patut diapresiasi dan terus didukung oleh umat kebanyakan.<br /><br />Kalau kita lihat kembali, mulai lahir pada 31 Januari 1926 hingga saat ini, NU berdiri sebagai organisasi. Artinya, selama ini wajah NU bukan Jama’ah (kumpulan), melainkan juga sebagi jam’iyah yaitu organisasi yang memiliki AD/ART dan atau konun asasi sebagai pola dasar gerakan. Namun demikian, sampai memasuki usia 1 abad, NU masih belum banyak menghasilkan perubahan dalam masyarakat basisnya. Pengembangan ekonomi, politik, dan perlindungan akan kesejahteraan rakyat tradisional yang kebanyakan terkonsentrasi dipedesaan, masih belum menampakkan hasil nyata. Masyarakat tradisionalis masih tetap seperti dulu, mayoritas terpinggirkan, terbelakang, dan tetap miskin, baik secara intelektual maupun finansial.<br /><br />Lalu, apakah yang salah dari perjalanan sejarah perjuangan NU selama ini? Bukankah telah didirikan Nahdlatul Tujjar untuk memperdayakan ekonomi masyarakat? Bukankah telah didirikan Nahdlatul Wathan untuk mendidik masyarakat agar memiliki rasa kesetiakawanan dan nasionalisme yang kuat? Bukankah telah didirikan Tasywirul Afkar untuk memupuk intelektualisme warga nahdliyin agar memiliki kepekaan dalam menjawab segala tantangan jaman yang sangat cepat berubah?.<br /><br />Pertanyaan-pertanyaan ini harus menjadi bahan refleksi bagi segenap warga NU, utamanya para elitenya dalam rangka membenahi dan merevitalisasi pola gerakan sekaligus mengorganisasi kembali aset-aset NU yang menyokong kekuatan NU selama ini, baik berupa lembaga, paradigma, dan karakteristik NU yang khas. Namun sebelum itu, harus di evaluasi dan dibahas terlebih dahulu kekuatan dan kelemahan NU selama ini, serta tantangan warga NU yang setiap waktu selalu berkembang dan berubah dari awal lahirnya NU hingga saat ini.<br /><br />Semua itu perlu menjadi pemikiran bersama warga Nahdliyin dalam rangka mencapai cita-cita bersama, sebagimana juga telah diidentifikasikan oleh para fundhing leader NU. Dan hal lain yang penting diungkapkan adalah prestasi NU yang fenomenal dalam sejarah peradaban di Indonesia selama ini agar mengenai perjuangan dan pola gerakan NU tidak ahistoris. Dari sini gerakan pembaharuan NU akan mungkin dilakukan. Tantangan bagi NU adalah, bagaimana NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia mampu (sekaligus) mau menampilkan karakter Islam ala Indonesia, seperti yang telah dipraktikan oleh para pendiri, sebut saja Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan K.H. A. Wahab Hasbullah. Cara berpikir NU untuk mempertahankan tradisi tak lain adalah menjaga warisan leluhur yang telah mengembangkan Islam sambil terus melakukan perubahan yang lebih baik (hlm. 131).<br /><br />Agar, peran NU bagi perjalanan peradaban NU ke-indonesian tidak pandang sebelah mata. Sikap akomodatif terhadap kebudayaan lebih di letakkan dalam rangka menunjukkan bahwa agama (Islam) selalu memberi peluang bagi tumbuh kembangnya kebudayaan yang memang menjadi ‘naluri’ masing-masing komunitas. itulah sebabnya, NU merawat kebuadayaan bangsa seabagai alat untuk mengembangkan tradisi keagamaan yang berfaham ahlus sunnah wal jama’ah. <br /><br />NU sebagai organisasi siap mengawal nilai-nilai kebangsaan yang prural dengan menerima pancasila sebagai common platformnya. Bahkan NU membuat deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam dalam Muktamar NU ke-27 yang intinya menyebut Pancasila merupakan dasar falsafah Negara Republik Indonesia, yang bukan sebagai agama dan tidak dapat menggantikan kedudukan agama. NU juga menganggap bahwa penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat Islam.<br /><br /><br />*) Penulis Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya dan aktif pada Pondok Budaya Ikon SurabayaPena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-9016935375214773992010-05-09T20:20:00.000-07:002010-05-09T20:24:44.623-07:00IDEOLOGI POLITIK GUS DUR<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyOKX05u9oR0s3tWgN1m9u8980wjwYteq74Tsk0MSgkmCsWyjwMlCLf9NBmIHrGbxY3eYl_6-iE-phwtIUBPVVWD57IAyHAzlia74MDeAkirheeWymwjQTwUA06CIqOejHo6C43EdCXU8O/s1600/gus+dur.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 134px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyOKX05u9oR0s3tWgN1m9u8980wjwYteq74Tsk0MSgkmCsWyjwMlCLf9NBmIHrGbxY3eYl_6-iE-phwtIUBPVVWD57IAyHAzlia74MDeAkirheeWymwjQTwUA06CIqOejHo6C43EdCXU8O/s200/gus+dur.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5469476790812241426" /></a><br />Judul Buku :Pemikiran dan Sikap Politik GUS DUR<br />Penulis : Dr. Ali Masykur Musa, M.Si, M.Hum.<br />Penerbit : Erlangga, Jakarta<br />Cetakan : I, Januari 2010<br />Tebal : 162 hal.<br />Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*<br /><br />Sebagai Intelektual Indonesia bulan oktober 1999 KH. Abdurrahman Wahid, yang hampir buta dan baru sembuh dari stroke parah, terpilih sebagai presiden Indonesia keempat. Tokoh panutan yang sangat dihormati karena pengabdiannya pada masyarakat, demokrasi, dan Islam toleran tampil dengan pribumisasi Islam, dengan konsep ahlus sunnah wal jamaah yang menjadi jalan tengah dan mampu mengakomodasi kesenjamgan antar elemen masyarakat. Tentu aswaja yang menjadi doktrin terbuka lebih dekat pada yang inklusif atau pribumisasi islam. Yaitu corak yang islam yang memiliki kedekatan bahkan mengakomodasi budaya lokal. <br /><br />Bahkan ia menyerukan ditemukannya cara pandang Islam terhadap dunia atau weltanchauung Islam. Dengan menemukan cara pandang ini, Islam bisa tampil dengan wajah yang lebih akomodatif terhadap lokalitas pemeluknya, karena praktik-praktik lokal itu tidak mutlak ditolak, melainkan akan masuk dibawah bingkai weltanchauung Islam itu. Maka ia mengusulkan digantinya ucapan salam yang berbahasa Arab itu dengan “selamat pagi”, misalnya. Karena toh sama-sama merupakan ekspresi dari harapan akan keselamatan. Ia mengklaim mekanisme dari Islam itu sendiri. Dengan konsep desakralisasi dan sekuralisasi (bukankah penyaringan seperti itu sudah tersedia dalam metodologi Islam), yaitu berupa teori ‘adah dan ‘urf<br />Buku yang ditulis oleh Ali Masykur Moesa ini, adalah upaya anak ideoligis Gus Dur untuk mengenang sekaligus menjelaskan gagasan besar dan bagaimana peranannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gus Dur, persepektif buku ini, adalah sosok yang tidak tinggal diam dan “berpangku tangan” menyaksikan apa yang terjadi dalam kehidupan bangsanya. Ia tidak hanya berkata-kata, tapi juga bertindak. Mengambil sikap tegas terhadap apa yang ia pikir patut untuk dibantu atau dibela. Sejumlah peristiwa nasional yang terjadi semasa hidupnya, baik aspek kehidupan beragama, bermasyarakat maupun berpolitik, yang secara langsung melibatkan dirinya, adalah contoh totalitas Gus Dur dalam pemikiran dan perbuatan. Ia selalu berdiri didepan dan siap mengambil risiko apa pun untuk membela orang-orang yang secara politik lemah dan tertindas.<br /><br />Selain memaparkan pemikiran politik Gus Dur dan wawasan kebangsaan dalam perspektif NU, penulis buku ini juga ingin membuktikan bahwa pemikiran NU tidak sekonservatif dan setradisional seperti ditudingkan oleh beberapa pengamat. Secara internal, NU hingga saat ini telah mengalami pembaruan pemikiran baik dalam tataran keagamaan maupun kemasyarakatan dan kenegaraan.<br /><br />Menurut KH. Abdurrahman Wahid, jika kita memiliki Pemimpin yang mengerti pentingnya keberagaman ( Multikulturalisme ), maka kita dengan sendirinya akan beruntung, tetapi jika kita mengutamakan keseragaman, maka mau tidak mau kita lalu menyimpang dari semboyan; Bhinneka Tunggal Ika. Pernyataan ini, ada benarnya karena pada saat ini, bangsa Indonesia mengalami disintegrasi yang makin tajam dan kuat intensitasnya berupa sentimen kelompok berbau SARA, dan jika tidak ditangani secara serius, tidak menutup kemunkinan bangsa sebesar Indonesia, akan terjadi perpecahan dan perang antar saudara, akibat tidak memahami arti perting perbedaan antar elemen bangsa.<br /><br />Kemudian dalam prinsip dasar sistem negara dalam Islam yaitu assyura (permusyaratan), Gus Dur berpandangan hal itu sangat tergantung pada batas hak dan kewajiban yang berlaku dalam suatu negara. Di sinilah, menurut Gus Dur, pentingnya merumuskan sejumlah kerangka pemikiran bagi pengembangan pemikiran negara dalam pandangan Islam, yang memasukkan dalam dirinya pemikiran politik yang dasar. Menurutnya, hal ini menjadi penting karena beberapa sebab. Pertama, bagaimapun Islam tidak kenal agama dan politik. Kedua, adanya kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam berbagai bidang kehidupan perlu juga dicermati pemikiran diluar Islam, misalnya Pancasila. Ketiga, perlu adanya keharusan pemeliharan keseimbangan antara konsep pemikiran tersebut. Misalnya, Islam diajukan untuk merumuskan pandangan positif dan konstruktif dalam kehidupan, seperti bidang keluarga berencana, perkawinan, kelangsungan hidup anak, dan pembinaan keluarga. (hal, 96)<br /><br />Sedangkan kekuasaan negara harus berjalan sebagai operasionalisasi dari dalil naqli yang menghendaki agar terjadi proses permusyawaratan antara pemimpin dan yang dipimpin. Dalam hal ini, ia mengkritik para pemikir Islam terdahulu yang hanya merumuskan hak dan kewajiban rakyat pemerintah, tapi kurang memikirkan hak dan kewajiban rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Menurutnya hak dan kewajiban seorang pemimpin negara memang dirumuskan secara teliti, namun tidak diberikan perhatian cukup besar pada bagaimana hak-hak dan kewajiban kewajiban itu secara organik dengan hak dan kewajiban warga negara, baik secara individu maupun secara kolektif. Dengan kata lain, pemikiran negara selalu berurusan dengan pembagian kekuasaan antara yang memerintah dan diperintah.<br /><br />Meskipun, dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya, Gus Dur telah membuktikan bahwa ia adalah pejuang sejati yang tidak mengenal lelah, bahkan hingga akhir hidupnya. Pemikiran politik Gus Dur dan paham kebangsaan yang dikembangkannya selalu integratif dan inklusif dengan dinamika berbangsa dan bernegara. Terlepas dari potret Gus Dur yang penuh warna itu, usul pemberian gelar pahlawan Nasional kepadanya patut disandangkan karena ia tokoh besar yang pernah dimiliki bangsa ini.<br /><br />Buku setebal 162 yang sebagian besar uraian menyangkut pemikiran politik Gus dur ini, merupakan hasil tesis pada pascasarjana bidang ilmu sosial dan ilmu politik UI yang berjudul “pemikiran politik Nahdlatul Ulama periode 1987-1994” dapat memberikan tambahan referensi pada pembaca untuk mengenal Gus Dur secara lebih komprehensif, terutama ketika terkesan tidak umum, nyeleneh, dan melawan arus. Gus Dur pun seperti mozaik kaya yang takkan pernah lekang oleh zaman. <br /><br />*)Penulis adalah Gusdurian, aktif di Pondok Budaya Ikon SurabayaPena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-46260474414959702292010-03-11T22:27:00.000-08:002010-03-11T22:31:43.976-08:00Menembus Tradisi Pesantren<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj19gpvw5nVC8spZH8-Uu3rKa4d_BrlmyQHoc1d69zelSBlaLqW6YKjNo8PZsf7gQsuC3L-ts0ysBuIgpBbnBHpeA9g2e-MScgBUF-rNYgkfajhBF2XOMpKos4m7Jj7Ctxl9pqK7ENE6ezl/s1600-h/pesantren.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 132px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj19gpvw5nVC8spZH8-Uu3rKa4d_BrlmyQHoc1d69zelSBlaLqW6YKjNo8PZsf7gQsuC3L-ts0ysBuIgpBbnBHpeA9g2e-MScgBUF-rNYgkfajhBF2XOMpKos4m7Jj7Ctxl9pqK7ENE6ezl/s200/pesantren.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5447631228990922642" /></a><br />Judul Buku : Pesantren Dari Transformasi Metodologi<br /> Menuju Demokratisasi Institusi<br />Penulis : Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag <br />Penerbit : ERLANGGA, Jakarta<br />Cetakan : 2009<br />Tebal : 206 hlm.<br />Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*<br /><br />Pesantren merupakan institusi pendidikan dan dakwah agama. Ia hadir ditengah-tengah rakyat yang belum mengenal sekolah dan universitas. Karenanya, tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren telah banyak memberikan andil besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam wacana ini, dalam menjalankan fungsi pendidikan memang merupakan tugas pokok dari semua pesantren. Selama pesantren dapat menjalankan fungsi pendidikan bagi pemberdayaan umat, maka selama itu pula ia dapat mempertahankan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat. <br /><br />Dalam perspektif inilah pada dasarnya pesantren ingin menciptakan santri yang menurut al-Ghazli an yakuna “aliman, ‘abidan, ‘zahidan, wari’an, ya’rif mashalih al-khalq. Adapun, dari sisi kepemimpinan mereka memiliki tiga identitas sekaligus, yaitu spiritual leader, community leader, dan knowledge leader. Karenanya, dahulu para kiai lebih mementingkan untuk membangunkan shalat subuh santrinya dari pada sekedar mereka mampu menghafalkan kitab Alfiyah. Demikian pula, banyak kiai yang justru memberi bungkusan nasi kepada santrinya pada pagi hari, ketika ia melihat santri tersebut memasak nasi untuk makan sahur.<br /><br />Dan menurut rumusan Azyumardi Azra, Pesantren telah melakukan tiga peranan : transmission Islamic of knowldge (penyampain ilmu-ilmu keislaman), maintenance of Islamic tradition (pemiliharaan tradisi islam ), dan reproduction of ulama (pembinaan calon ulama). Watak utama yang melekat pada pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan telah menjadikannya memiliki tradisi keilmuan sendiri, namun tradisi ini mengalami perkembangan dari masa kemasa dan menampilkan manisvestasi yang berubah-ubah.<br /><br />Kemudian ada tiga karesteristik yang dapat dikenali sebagai baik utama kultur pesantren. Pertama, pesantren sebagai lembaga tradisionalisme. Tradisionalisme dalam mencontoh tauladan yang dilakukan ulama salaf yang masih murni dalam menjalankan ajaran islam agar terhindar dari bid’ah, khurafat dan klenik. Kedua, pesantren sebagai pertahanan budaya (culture resistence). Mempertahankan budaya dengan ciri tetap berdasarkan ajaran dasar islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Ketiga, pesantren sebagai pendidikan keagamaan. Pendidikan pesantren didasari, digerakakan, dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran islam. Ajaran dasar ini berkelindan dengan struktur sosial atau realitas sosial yang digumuli sehari-hari.<br /><br />Dan dalam buku berjudul “Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi” yang ditulis oleh Mujamil Qamar ini, berusaha memberikan gambaran yang utuh tentang pesantren. Hal ini, di perlukan agar penilaian klise yang selalu mengkategorikan pesantren sebagai lembaga tradisional yang tidak pernah disentuh oleh proses perubahan yang dinamis bisa dihindari. Seperti diketahui bahwa sebagian pengamat pesantren yang meneliti lembaga ini secara parsial memberikan konklusi bahwa lembaga pesantren lahir sebagai perwujudan sikap budaya lokal yang hanya mampu menawarkan bentuk pengajaran yang statis dan tidak dinamis.<br /><br />Berbeda dengan konklusi para pengamat tersebut, penulis buku ini menemukan sebuah dinamika yang halus namun pasti yang terjadi pada institusi pesantren. Dengan karakter seperti itu profile lembaga ini sebetulnya selalu berubah sejak dulu sampai sekarang, baik dari sudut perubahan kepemimpinan, sistem pendidikan, kelembagaan, kurikulum maupun metode pengajarannya. Dinamika seperti itu, menurut penulis buku adalah akibat dari kemampuan pesantren dalam menjalin hubungan interactive dengan nilai yang hidup di sekitarnya. Hubungan timbal balik tersebut kemudian melahirkan terjadinya perubahan dan penyesuaian dalam tubuh pesantren, hingga lembaga yang sudah berusia ratusan tahun ini bisa tetap hidup dan menghidupi masyarakat di sekitarnya sampai era modren ini. Dinamika pesantren juga tercermin dalam perubahan yang terjadi dalam deminsi kurikulumnya.<br /> <br />Pesantren, menurut alumni IAIN Syarif Hidayatullah ini, ternyata selalu memantau kebutuhan hidup di masyarkat, agar kurikulum yang ditetapkannya nanti dapat merefleksi jenis ilmu yang diperlukan dalam kehidupan mereka. Dalam deretan ilmu agama yang diajarkan dilembaga pendidikan islam tradisional tersebut, penulis mencantumkan dengan pola susunan yang hirarkis agar dinamika yang terjadi dalam kurikulum dalam pesantren tersebut bisa terdeteksi.<br /><br />Sedangkan, perkembangan pesantren dari sudut metode pengajarannya juga nampak menampakkan sifat dinamis yang dimiliki lembaga ini. Pesantren menurut hasil penelitian ini, tidak merasa cukup dengan metode pengajaran konvensional yang sebagian dipinjam dari lembaga pendidikan islam di negeri lain, seperti wetonan, sorogan, muhawarah, mudzakarah, dan majlis ta’lim. Oleh karena itu diperkenalkan metode pengajaran yang didasarkan pada sistem pengajaran baru ke dalam sistem pendidikan modern selalu memiliki resonansi di lembaga pesantren. Jenis metode pengajaran modern yang didasarkan pada sistem pengajaran kelas itu secara bertahap telah diadopsi oleh pesantren, sesuai demensi waktu yang melahirkan setiap metode tersebut. Dalam rentangan waktu yang panjang tampak pengenalan metode modren tersebut dalam lembaga pesantren mulai metode madrasi, diskusi sampai seminar.(hal, 145)<br /><br />Dengan demikain ini, pesantren tidak hanya mampu mentransformasi pendidikan secara tradisional tapi mampu menjawab tantangan yang dihadapi dalam berbagai strategi, baik kepemimpinan pesantren, transformasi sistem pendidikan pesantren, transformasi institusi di pesantren, transformasi kurikulum pesantren, dan transformasi metode pendidikan di pesantren. Buku ini, patut di apreasiasi dan dibaca oleh mahasiswa, akademisi, peneliti, pengasuh pesantren dan mereka yang menekuni serta berminat mengetahui pesantren, karena kajian yang ditawarkan oleh penulis akan memberikan perseptif baru tentang dunia pesantren. Wa allahu a’lamu bi al-shawab.<br /><br />Penulis alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafiyah Ibrohimy Gapura, Sumenep dan sedang studi di IAIN Sunan Ampel Surabya.Pena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-20559529965086542072010-02-04T22:35:00.000-08:002010-02-04T22:40:04.056-08:00MENGAPRESIASI KREATIFITAS SANTRI<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihcPcOV8a1vqXneud7bOAsXlHTPSGVh35eSK205IPEk4GLZVfVREIUOg3muTpvxWUQ4kSZBhiMNK53beiLTMkCIDLOKxbxLD30VqgNYWiGBwa3PDhcZmhkkiBhZe-JoQCfmv6no9eM9YZx/s1600-h/Vi0%C2%A33t003.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 154px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihcPcOV8a1vqXneud7bOAsXlHTPSGVh35eSK205IPEk4GLZVfVREIUOg3muTpvxWUQ4kSZBhiMNK53beiLTMkCIDLOKxbxLD30VqgNYWiGBwa3PDhcZmhkkiBhZe-JoQCfmv6no9eM9YZx/s200/Vi0%C2%A33t003.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5434645152927471538" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDCM4JKMJc7Bh6CnKpnQ9m_odyY9UetW46k46yF35-UihBqRjEGTcZjn_P9okEJLj2BGVMNx2almkyT4w_Y-w1t3Vop4pOcRrmnoMLEkQQwB8n5dKeUPfvDMktp5hXZIMcsdGvkvzosoie/s1600-h/santri+penulis.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 138px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDCM4JKMJc7Bh6CnKpnQ9m_odyY9UetW46k46yF35-UihBqRjEGTcZjn_P9okEJLj2BGVMNx2almkyT4w_Y-w1t3Vop4pOcRrmnoMLEkQQwB8n5dKeUPfvDMktp5hXZIMcsdGvkvzosoie/s200/santri+penulis.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5434645007214136834" /></a><br />Judul Buku : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis<br />Editor : Tsanin A Zuhairi, M.si<br />Penulis : Rizal Mumazziq Zionis, dkk. <br />Prolog : Prof. Dr. H.Nur Syam, M.Si<br />Epilog : Prof. Dr. Abd. A’la, MA<br />Penerbit : Muara Progresif, Surabaya<br />Cetakan : I, 2009<br />Tebal : xii+224 hlm.<br />Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*<br /><br /><br />Santri yang dulu sering disebut sebagai kelompok tradisioanal, dewasa ini sudah tidak relevan lagi. Santri sudah bermain-main dengan facebook, blog, dan dunia teknologi informasi lainnya. Bahkan santri banyak yang menjadi penulis, jadi kalau sekarang banyak santri yang menjadi penulis hakikatnya adalah bagian dari proses kreatifitas ditengah dunia kompetensi dalam berbagai bidang yang luar biasa.<br /><br />Buku berjudul “Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis” adalah bukti santri yang menekuni dunia kreatifaitas menulis, dan menunjukkan pada dunia bahwa mereka juga bisa berbuat sesuatu, dengan menjadi penulis tidaklah gampang seperti yang dibayangkan. Buku ini, menggambarkan bagaimana beratnya seorang santri menulis, penuh dengan liku-liku. Betapa tidak, menjadi seorang penulis, harus meredam dan menahan keinginan untuk bersenang-senang bahkan sekedar untuk bersenda gurau dengan teman-teman santri lainnya.<br /><br />Menjadi penulis memang bukan hanya iseng untuk mengisi waktu luang tapi butuh intensitas yang sangat tinggi dan membutuhkan pengorbanan yang luar biasa dari seorang penulis. Disamping itu juga, menyediakan waktu dalam proses menulis, karena menulis membutuhkan tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu ; Membaca, inspirasi, dan kemauan untuk menulis. Ada yang suka baca, tidak menemukan inspirasi, ada yang hanya mempunyai inspirasi tapi tidak ada kemauan untuk menulis atau sebaliknya, jadi ketiga-tiganya harus berjalan senada dan seirama.<br /><br />Memang, kadang menjadi penulis bukan karena hobi atau bakat yang dimiliki seseorang, tapi karena ada faktor-faktor yang mendukung kreatifitas itu muncul. Pertama, faktor kebutuhan perut alias penulis kelaparan, sehingga menumbuhkan ide-ide dan mampu menghadang tantangan yang ada, dengan menjadi motivasi keronik tersebut, maka honorlah yang terbayang. Kedua, ideologi, karena semua penulis buku ini adalah alumni pesantren. Nuansa ke-pesantren-annya kental, yaitu paradigma yang khas ala pesantren yang tetap mempengaruhi gaya kepenulisan dan pola pikir dalam memanen ide-ide kreatifitas, dengan konsep al-muhafadzatu ala al-qadimi al-sholeh wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah.<br /><br />Dalam buku setebal 224 ini, pembaca akan disuguhi curhat dari 13 penulis bagaimana ia memulai menulis, proses kreatifnya, dan setelah dimuat di berbagai media baik lokal maupun nasional. Membaca tulisan Suhaidi RB, pembaca akan tergelitik dengan menelusuri perjalanan mengukir kreatifitas. Ia merasa mendapat teror oleh seniornya dengan ucapan “jangan bermimpi, anda masih pemula sudah berani mengirim ke media besar (Nasioanal)”. Teror mental tersebut hampir saja membunuh semangat dan karakter kepenulisan yang sebelumnya bangkit, atau kisah Fathorrahman JM, yang honor pertamanya dimuat dimedia Nasional ludes di meja kantin, Karena di paksa jadi bos kecil oleh teman-teman santri lainnya. Ada yang lebih ngeri lagi dengan menghukum diri sendiri, dengan pegang ballpoint dan kertas meski ada ide atau tidak, tak pelak jika ide masih belum muncul-muncul, ia merubah posisi duduk dari mulai berbaring, terlentang, jongkok dan bahkan berdiri. Demikian seterusnya, hal ini dilakukan oleh ahmad khotib hingga akhirnya “hukuman” padanya berhasil menumbuhkan produktifitasnya. (hal. 155)<br /><br />Kisah-kisah mengenaskan sekaligus mengesankan, juga dituturkan dengan kocak oleh Muhammadun, Mukhlis amrin yang selama ini terperanjab di Dunia sastra, menulis curhatnya dengan gaya prosais. Refleksi gado-gado ala Salman Rusydi Anwar dan Rizal Mumazziq Zionis juga terasa renyah dengan penekanan. “…..bahwa menjadi penulis adalah menjadi sosok yang belajar banyak hal”. Ada pula Ach. Syaiful a’la yang memilih lelaki sunyi seorang penulis, sekedar meniru kreatifitas tuhan, katanya.<br /><br />Selain itu, ada juga pola adaptasi gaya tulisan penulis idola sebagaimana yang dilakukan Nur faishal yang kesemsem berat dengan gaya estetika essainya Goenawan Mohammad, maupun gaya detail mengalir ala Pramoedya Ananta Toer. Juga layak di baca bagaimana para perempuan yang terbiasa lebih intuitif-estetis dalam mengolah kata, mencoba melarutkan ide-idenya dalam bentuk cerpen maupun novel, sebagaimana yang dilakukakan oleh Azizah Hepni, Noviana Herliayanti, Ana FM, Hana al-Ihriyyah. Dengan membaca buku ini sampai penghabisan pun, seakan-akan dibawa pada dunia realitas bahwa kita lah pelakunya. <br /><br />Yang jelas buku ini, membawa cita-rasa baru dalam kepenulisan yaitu menulis membutuhkan semacam perangsang yaitu kesabaran, kerja keras, komitmen, ketelatenan, keuletan dan kemauan untuk belajar. Dengan demikian, buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang berminat belajar menulis agar lebih mengenal pola lika-liku, bahkan jalan terjal sekalipun yang hendak dilewati, sehingga mudah dan mempersiapkan diri untuk membekali diri. Sedia payung sebelum hujan.<br /><br />Ahkirnya, mengutip pernyataan D. Zawawi Imron di cover belakang buku ini “Pada era modern ini, anak-anak santri pun mengalami keresahan dengan kemelut sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Diantara mereka ada yang mencari denyut hidup dalam dunia penulisan”, lalu, Andakah yang mencari denyut nadi hidup di dunia kepenulisan berikutnya?.<br /><br />Penulis adalah alumni Pondok Pesantren NASA, sekarang melanjutkan studi pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya.Pena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-5269660646911886832010-01-11T18:15:00.000-08:002010-01-11T18:23:29.509-08:00Budaya Lokal : Identitas Keislaman Nusantara<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEge-1x_4fH2xzAWH7mu1WrHtRfBuAqByO39Mg20NfTA-2FEDsWDxg21GLS4pOv9_ESwjB56z_LAXqlxeyoQtd_3SYAewQeq1zEccLnz_XMUzkJ5-MBoK_O5mqs_hs9_SltyjKgDSiO53eDE/s1600-h/buku+pantun+melayu.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 150px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEge-1x_4fH2xzAWH7mu1WrHtRfBuAqByO39Mg20NfTA-2FEDsWDxg21GLS4pOv9_ESwjB56z_LAXqlxeyoQtd_3SYAewQeq1zEccLnz_XMUzkJ5-MBoK_O5mqs_hs9_SltyjKgDSiO53eDE/s200/buku+pantun+melayu.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5425672645543972434" /></a><br /><br />Judul Buku : Pantun Melayu, Titik Temu Islam dan Budaya Lokal Nusantara<br />Penulis : ABD. RACHMAN ABROR<br />Penerbit : LKIS, Yogyakarta<br />Cetakan : September, 2009<br />Tebal : xvi+400;14,5x21cm.<br />Perensi : Ahmad Shiddiq Rokib*<br /><br />Budaya pantun dari tanah Melayu, futurolog john dan patricia dalam mega trend 2000 pernah memprediksi bahwa di era global, kecintaan pada budaya dan tradisi untuk menunjukkan jati diri suatu bangsa akan semakin menguat ditengah terpaan peradaban global. Hipotesis ini, dalam Indonesia yang memiliki prulalitas budaya sekaligus sebagai penerima globalisasi, menjadi ukuran dan bahkan taruhan tersendiri bagi masa depan keindonesian. Persoalan kebudayaan yang segera muncul kemudian adalah apakah proses globalisasi yang tak terhindarkan itu akan menggerus kebudayaan lokal ataukah globalisasi itu justeru membawa berkah bagi tumbuh dan berkembangnya kebudayaan local?.<br /><br />Problem kebudayaan itu dapat ditelusuri pemecahannya, diantaranya dengan sebuah ihktiar kebudayaan, sejauh kita dapat memilihara, menggali dan merevitalisasi hasil kebudayaan manusia Indonesia, yang dapat membedakan dengan bangsa lain. Dengan cara itu, jati diri bangsa akan terbaca eksistensinya.<br /><br />Adalah buku “Pantun Melayu, Titik Temu Islam dan Budaya Lokal Nusantara yang mencoba menyingkap keunikan produk budaya lokal berupa pantun yang merupakan hasil kesustraan asli melayu yang menjadi khazanah kebudayaan Indonesia yang hidup sejak lama, terutama disebagian Sumatra dan Kalimantan. Menurut Abd.Rachman Abror penulis buku setebal 400 halaman ini, bahwa pembangunan kebudayaan yang berorientasi pada pembangunan mental spiritual sama pentingnya dengan pembangunan sains dan teknologi agar bangsa yang terseret lebih jauh pada perasaan rendah diri karena kehilangan kepribadian sebagai bangsa.<br /><br />Sebagaimana dikatakan oleh St .Takdir Alisjahbana bahwa pembangunan kebudayaan manusia Indonesia pada kerangka pengembangan individu yang berkepribadian pembangunan masyarakat seutuhnya tidak hanya berberhenti pada ekspresi pengalaman individu itu sendiri. Dan kalau melihat konsep manuasi yang dianut masyarakat melayu adalah kesatuan antara jasmani dan rohani (psikologi dan monodualis). Mereka mengorentasikan nilai budi dan sesuai dengan fitrah kejadian manusia , konsep kesatuan itu juga sesuai dengan konsep budi itu sendiri yang tersusun secara bersiratan kedalam gugusan akal-budi, hati-budi, budi-bicara, dan budi pekerti.<br /><br />Dalam kontets Melayu yang lebih luas, pribadi-pribadi yang berwatak budiman, diharapkan dapat melahirkan komunitas masyarakat dan bahkan bangsa yang meliki watak budiman. Dengan demikian, kedudukan budi begitu memiliki makna penting sebagai ukuran penilaian, karena menjadi fondasi kehidupan bangsa atau sebagai sarana pembngunan character building dalam berbangsa dan bernegara.<br /><br />Fungsi utama pantun sebagi alat komunikasi tidak langsung masyarakat, bahsa yang digunakan merupakan lambing dan perlambang. Lambang-lambang tersebut bukan hanya diambil dari alam sekitaryang sudah lazim (flora dan fauna), melainkan juga diambil dari mitos dan legenda , peribahasa atau tegangan kias dan benda budaya (artefak budaya). Misalnya, mereka gunakan selain untuk menerangkan diri mereka, juga cermin diri. Dengan demikian, demikian sarana fisik dapat menjadi sarana penting dalam pembentukan nilai dan norma, yang lazim disebut nilai danorma adat (hal, 247).<br /><br />Adapun nilai-nilai islam yang terkandung pantun melayu berkisar pada nilai-nilai iman, ibadah, dan akhlak. Ketiganya merupakan satu bangunan agama islam yang saling kait mengait dan tak terpisahkan. Pengalaman nilai-nilai islam dalam dunia Melayu turut berperan dalam melahirkan pelbagai tradisi agama orang Melayu dan nilai-nilai tersebut ikut memperkaya dan memperkokoh konsep budi mereka, sebagai nilai tertinggi dengan tujuan untuk menhasilkan manusia yang budiman. Salah satu contoh pantun Melayu yang mencerminkan nilai-nilai luhur agama sebagai berikut : pisang nipah di batu laying /anyam ketupat dujung tanjung/ hati susah bawa sembayang / disitu tempat iman bergantung. Dari pantun tersebut, sangat jelas pesan nilai-nilai agamanya. <br /><br />Biasa pantun melayu digunakan dalam berdakwah dan mendiskusikan adat, dengan suasana penyampaian yang berbeda dari suasana pantun anak-anak, teka-teki, percintaan, yaitu membangkitkan perhatian dan mengajak untuk berfikir, merenung dan mengamalkan.<br />Buku ini, selain membedah secara akademik tentang pantun Melayu, juga telah berhasil membuka cakrawala bertemunya nilai-nilai islam dalam bait-bait pantun, terutama nilai budi atau akhlak yang sekaligus menegaskan idenfikasi yang kuat tentang Melayu dengan Islam. <br /><br />Buku ini patut diapresiasi karena penulis buku ini justru bukan orang lahir dan besar dalam “ruang budaya pantun ” . ia seorang jawa yang mencintai kebhinnekaan dan terkesima dengan pantun. Dengan kata lain, untuk memelihara kebudayaan di butuhkan cross understanding di antara suku bangsa yang berbeda. Sehingga, tidak hanya layak dibaca oleh peminat kebudayan, akademisi, dan mahasiswa, tapi juga oleh generasi baru yang tidak bersedia kehilangan jati diri dengan menanggalkan budaya bangsanya sendiri hanya karena latah dengan pesona globalisasi. <br />Wa allahu a’lam bisshowaf.<br /><br />Penulis adalah Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya aktif di Pondok Budaya IkonPena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-77746474881149951092009-11-08T18:21:00.000-08:002009-11-08T18:31:03.279-08:00Sumarah, Simbol inklusvisme Islam<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXLNXu_Y7Jk4vpbei0XI4iUszJjd43VIO6RYZJafoEyZOfk8XFrCP4Kfqk81TRAuixr0qMmtmDuI8_skYQR3yWQ7ZMuySHhh0y_euQVi62tpciUCICEDB7tBGtn3QoEm3xQBm1vFNd10HH/s1600-h/sumarah+foto.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 137px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXLNXu_Y7Jk4vpbei0XI4iUszJjd43VIO6RYZJafoEyZOfk8XFrCP4Kfqk81TRAuixr0qMmtmDuI8_skYQR3yWQ7ZMuySHhh0y_euQVi62tpciUCICEDB7tBGtn3QoEm3xQBm1vFNd10HH/s200/sumarah+foto.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5401925269320031842" /></a><br />Judul Buku : Kejawen Modern, Hakikat dalam Penghayatan Sumarah <br />Penulis : Paul Stange<br />Penerbit : LKIS Yogyakarta<br />Cetakan : I, April 2009<br />Tebal : xIvii + 394 hal.<br />Perensi : Ahmad Shiddiq Rokib*<br /> <br /><br />Siapa yang berani menyatakan sudah mencapai kesempurnaan hidup, “pengertian” mengenainya masih di alam “pemikir”. Pengalaman pencerahan batiniyah pun masih di alam wujud, walau terkadang sangat halus. Kebenaran mutlak atau di sebut hakiki hanya berupa pancaran tuhan yang memang di mungkinkan bergandeng dengan alam-alam yang ditempuh makhluk yang disebut “manusia”. Bagaimanapun, yang mutlak masih “milik Tuhan”, tak tercakup alam terbatas yang disebut “orang”.<br /><br />Sumarah, sebuah organisasi kebatinan yang dipelopori oleh Sukinohartono, yang kehadirannya menitikberatkan pada prinsip bahwa “kebenaran mendasari semua agama”. Ia berfungsi sebagai penyelaras spritual dan material, serta penguat tali persaudaraan umat manusia. Sumarah sebagai perkumpulan kebatinan yang bersumber pada penghayatan, yaitu saluran atau wahana demi perkembangan batin dari tuhan kepada seseorang secara langsung.<br /><br />Paul Stange dalam buku ini menyatakan bahwa tema utama sejarah Sumarah adalah upaya mengubah pandangan orang dari keterikatan pada kerajaan arwah leluhur. Ini dibuktikan sendiri oleh pendiri Sumarah, yang menolak bantuan ruh panembahan sinopati untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan pasukan dari alam lelembut. Dan atau ditolaknya gaya islam ala Diponegoro dalam perang Jawa melawan belanda lewat bantuan Nyai Roro Kidul.<br /><br />Pada prinsipnya, berbagai macam praktik spiritual kalangan mistik diharapkan berhasil dalam meningkatkan kesadaran bahwa segala wujud, termasuk yang mereka gunakan adalah melitansi. Inti pencarian mistik, sebagai kesadaran langsung akan kesatuan adalah berada diluar demensi baik nyata ataupun gaib. Meskipun pengalaman mistik berbuah dalam beberapa gagasan intelektual atau keyakinan emosional, intinya pengalaman itu sendiri tidak bergantung pada keduanya. Kalangan mistik secara universal menyatakan bahwa inti pengalaman adalah sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh nalar, sedangkan otentisitas tidak dapat dinilai berdasarkan wujud yang terpercik dari ekspresi sehingga pada ujungnya ia hanya mampu diketahui oleh dirinya sendiri.<br /> <br />Sebagaian orang jawa masih merasakan islam sebagai agama asing secara esensial. Artinya, ia bukan dari identitas mereka, seperti halnya, budaya india sebelumnya. Pandangan budayawan kejawen lebih cenderung melihat kebelakang pada perpaduan rohani Majapahit Hindu selama lebih dari lima abad yang lalu ketimbang Demak Islam pada masa kemudian. Beberapa tradisi rakyat yang menyuguhkan secara rinci keruntuhan Majapahit memasukkan ramalan bahwa jawa nantinya akan jatuh dibawah kaki kebudayaan asing selam lima ratus tahun sebelum zaman Buddha, atau era kemasaan baru akan membangkitkan kembali jati diri kejiwaan pribumi. <br /><br />Dan karena orang Sumarah memandang evolusi mereka sendiri sudah barang tentu terdapat begitu banyak keragaman corak perkembangan. Bahkan pada tahapan awal sejarah gerakan kebatinan itu, para juru bicara Sumarah memahami perkembangan tersebut dalam pengertian dinamis. Mereka menyesuikan yang terus berlanjut terhadap pertumbuhan kesadaran internal dan tekanan eksternal dalam konteks yang melatari sebagai sesuatu yang alamiah. Alih-alih membahas magik dan kesaktian, tema pembicaraan mereka sudah mengarah kedemensi kesadaran dalam sehari-hari dan mengaitkan perubahan yang terjadi dengan difusi otoritas spiritual atau yang disebut “demokratisasi spiritual”(hal, 312). <br /><br />Gerak batiniah, baik dari kesadaran maupun organisasi juga dimengerti sebagai sesuatu yang terkait secara integral dengan pola nasional. Akan tetapi, kesejajaran itu dihayati bukan hanya sebagai hasil dari kekuatan yang sama, melainkan juga sebagai refleksi dari penyelarasan kelompok yang sifatnya khusus terhadap peristiwa yang lebih luas dimensinya.<br /><br />Secara umum, latihan sumarah mengilustrasikan suatu prinsip yang diakui secara luas. Basis tuntunan spiritual dalam Sumarah adalah “penyelarasan” para pamong terhadap kondisi batiniah para anggota. Disini pamong sebagai penuntun spiritual dianggap mempunyai kepekaan terhadap rasa yang merupakan landasan bagi pernyataan objektif tentang kondisi getaran yang sifatnya halus dalam diri warga Sumarah, yang boleh jadi tidak disadari oleh mereka.<br /><br />Nah, fenomena ini menunjukkan bahwa sejak dahulu islam di Jawa tidak mengenal apa yang disebut ekslusivitas. Ketergantungan antara islam dan dunia kejawen (kebatinan) juga tampak dalam wayang kulit, sebagai kontinuitas Hindu ke Islam (kisah pertemuan Sunan kalijaga dan Judistira), perjuangan pangeran Diponegoro pada 1825-1830 melawan penjajah Belanda (pertolongan nyi Roro kidul). Artinya, interaksi antara islam dan budaya lokal telah menciptakan sikap inklusivistik islam yang tertanam diJawa sejak dahulu kala. <br /><br />Buku setebal 394 halaman ini, sangat berharga sekali, disamping jarang sekali, bacaan berat dibahas secara tuntas, gamblang dan mudah dicerna siapapun. Untuk itu, membaca buku ini dengan sendirinya kita berhadapan dengan seoarang yang disatu sisi murni scholar (seorang yang berjarak terhadap Jawa). Namun disisi lain, menjadi “orang dalam” yang menganut dan menghayati nilai-nilai yang diteropong tersebut. <br /><br />Sehingga buku ini layak dibaca siapapun yang menaruh perhatian pada kebudayaan Nusantara khususnya Jawa. Baik, budayawan, akademisi dan masyakat umum, karena lewat suatu teropong etnoggrafisnya yang dikombinasikan dengan penelusuran leterarnya, buku ini makin lebih hidup.<br /><br />*) Penulis adalah Staf Departemen Pengkajian dan Penelitian Pondok Budaya Ikon Surabaya.Pena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-47072019230072306472009-07-17T08:46:00.000-07:002009-07-17T09:04:10.778-07:00Sosok Sufi dibalik Kedai kopi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtxf9KMVVqe4BtiYebIFRDMdLt_xRuBr4fsSJwavrY9mzlcYD16OXtYZMlkAppBHXBWRptVPC0LL7LMp2AE1sWjbqxRpguq2wiGgAnVXoM_mc3sxLL6C-5kXJzAzSSygYGZu8bdpxb9U-A/s1600-h/kiai+jempes.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 133px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtxf9KMVVqe4BtiYebIFRDMdLt_xRuBr4fsSJwavrY9mzlcYD16OXtYZMlkAppBHXBWRptVPC0LL7LMp2AE1sWjbqxRpguq2wiGgAnVXoM_mc3sxLL6C-5kXJzAzSSygYGZu8bdpxb9U-A/s200/kiai+jempes.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5359457870043288626" /></a><br />Judul Buku : JEJAK SPRIRITUAL Kiai Jampes<br />Penulis : Murtadho Hadi<br />Penerbit : Pustaka Pesantren<br />Cetakan : I, 2008<br />Tebal : xii+76 hlm.<br />Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*<br /><br /><br />“Kiai kerjanya kok cuman ngopi ngrokok-ngopi ngrokok. Kopi dan rokok kan haram !?”. <br /><br />Begitu kira-kira kritik tajam yang terlontarkan dari seorang kiai berpandangan ekstrim tentang kopi dan rokok terhadap kiai ihsan. Lalu bagaimana reaksi kiai ihsan terhadap kritikan yang ditujukan pada dirinya. Akankah ia marah, beradu argumen dengan seribu dalil atau mengeluarkan celurit untuk berkelahi? Tidak, beliau hanya tersenyum seakan-akan tidak ada beban. Karena melayani hal demikian hanya bisa menimbulkan jidal ( poro padu dalam istilah jawa ). Dan begitu ada ksempatan yang memungkinkan malah beliau menyempatkan untuk menyusun risalah tentang “kopi dan rokok” dengan judul irsyadul Ikhwan fi Bayani Hukmi Qahwati Wa ad-Dukhan, syair-syair yang amat indah tentang kopi dan rokok. <br /><br />Kitab sederhana itu hendak mengulas hukumnya “kopi dan rokok” dalam pandangan ulama dengan melakukan menelusuri perjalanan asal-usul tembakau sampai ke kampung-kampung terpencil Amerika, Meksiko, dan Afrika. Hal ini, yang ingin ditunjukkan oleh seorang sufi dari kediri bahwa perang sehat para ulama adalah sebuah wacana (karya) bukan justru berkoar-koar yang hanya sakitkan telinga dan seperti ini kearifan-arifan muncul yang hendak memakmurkan umat dengan hikmah dan Uswatun Hasanah.<br /><br />Dan tradisi kopi ini sangat kuat dipulau jawa utamanya masyarakat Nganjuk, Tulungagung, Blitar dan bahkan belum ada yang menandingi dikota-kota lain indonesia. Kedai-kedai kopi pun menjadi laris manis dari pagi hingga malam hari sekalipun. Kita bisa bayangkan pemilik warung sekali ngadoni (menyeduh kopi) tiga puluh sampai empat puluh cangkir dalam sekali tuang. Tradisi yang kuat membuktikan bahwa keramaian tidak harus dikota besar yang notabene sibuk dengan aktivitas ekonomi dan dunia hedonis, tapi dibangun dari cangkruan dengan suasana keakraban antar elemen masyarakat.<br /><br />Tidak heran, kalau hal semacam ini menelorkan gagasan cerdas, memberikan pencerahan pada masyarakat sekitar dengan segala topik pembicaraan mengalir bak air bening. Adalah kiai Ihsan jempes, tokoh karismatis yang dengan kretivitasnya melahirkan karya monomental, yakni siraj ath thalibin yang berarti “pelita para pencari” sarah dari kaya imam Ghazali “minhajul Abidin” .800 halaman, intelektualitas beliau bisa disejajarkan dengan ulama muslim dunia. Didalamnya memaparkan makna-makna lughat bukan dari pengertian yang tunggal, melainkan dalam menyusun redaksi hadist dia memaparkan perbedaan para perawinya.<br /><br />Sebagai bukti lain bahwa beliau seorang arif yang produktif yang mampu melahirkan karya-karya layak menjadi rujukan bacaan dan referensi umat muslim sedunia adalah Tashrihul Ibarat ( kitab falak syarah Natijatul Miqatnya kiai Dahlan Semarang ) dan kitab Manahijul Imdad ( Syarah Irsyadul Ibadnya kiai Zainuddin dari India-Selatan, yakni kota Malaibari atau Malabar ) setebal 1000 halaman, sayangnya belum terbit.<br /><br />Dalam buku ini, sebetulnya ingin mengungkapkan prisma pemikiran kiai Ihsan Jempes yang tertuang kitab Siraj at Thalibin dalam bentuk biografi singkat. Dan pemikiran tasawwuf seperti yang dilakukan oleh ulama terdahulu utama al Ghazali yang menjadi rujukan ulama sunni dibelahan dunia islam. seperti tentang kata “aqabah adalah jalan terjal pada sebuah tebing “yang harus dilalui oleh “salikin” ( penempuh jalan ) yang terbungkus dalam tujuh hal yakni petama jalan terjal didalam “Ilmu”maksudnya ilmu prioritas utama yang harus didahulukan, ibarat ilmu sebuah obor yang menyinari ruangan gelap bagi para pencari. kedua jalan terjal didalam “taubat” karena untuk mencapai suatu maqam, taubat merupakan yang harus dipertahankan dan menjadi asas setiap maqam dan ahwal yang harus dilalui para penempu jalan “suluk” dengan tingkatn permulaan (bidayah) dan pencapaian tertinggi menuju tuhan (hihayah).<br /><br />ketiga Aqabatul-Awa’iq merupakan bisa dikatakan yang yang paling pokok dalam pembahasan sirat at thalibin adalah jalan yang harus ditempuh untuk menyingkirkan setiap rintangan dan penghalang. Imam ghazali menjelaskan bahwa yang dimaksud rintangn dan halangan adalah Dunia, mahkluk, setan dan hawa nafsu manusia. Keempat Aqabatul- Awaridh suatu jalan terjal ( mendaki ) yang harus dituntaskan “persoalaan yang menyibukkan” yang menganggu aktivitas lahir dan batinyang membuat tertatih-tatih dalam beribadah dan tidak cepat beranjak untuk melihat kegaiban alam malakut. Kelima Aqabqtul-Bawa’its yaitu jalan terjal dalam upaya menyingkirkan penghalang ( aghyar, sesuatu selainAllah ) dan dengan membangkitkan kerinduan pada Allah.<br /><br />Keenam Aqabatul-qawadhil adalah upaya total seorang pejalan untuk mencapai kebersihan jiwa dan mencapai maqam “kemurnian”. Ketujuh Aqabatul-hamdi yang menjadi pemungkas dalam berta’abbud sehingga jalan terjal dalam maqam Syukur menjadi keharusan bagi seorang hamba dan bisa mencapai maqam arif. (hal, 39-45)<br />Buku setebal 76 halaman ini, merupakan kegelisan dan pesarannya sang penulis terhadap sosok kiai jempes yang lebih suka berdakwah ditempat yang tak terjangkau oleh kendaran dan tempat yang sederhana bahkan di musholla kecil lembah sungai Gajah Wong.dan bagaimana lika-liku menjadi sosok sufi yang disegani hingga melahir karya monomental.meskipun buku ini, risalah kecil hasil diskusi diwarung kopi bisa menambah refensi dunia tasawwuf kita. Meskipun perlu penyempurnaan referensi kuat dari sang penulis tapi tetap patut diapresiasi karena jarang orang menyingkap tokoh yang telah memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman keagamaan yang kita yakini.<br /><br />Dengan demikian, prinsipnya manusia diciptakan untuk mengabdikan dirinya pada tuhan, namun pengabdiantidak semulus yang dibayangkan, banyak kerikil yang menghalangi manusia sampai padanya. Oleh karena itu, manusia perlu mengasah hatinyadengan selalu berdzikir dan bertaqarrub padanya.dimensi terpenting pergulatan spritual hamba mencapai insan kamil dan menjadi tujuan hakiki.<br /><br /><br /><br />*) Alumni PP. Ibrahimy Gapura Sumenep dan Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel SurabayaPena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-79663565315307084992009-07-17T08:33:00.000-07:002009-07-17T08:44:55.407-07:00Pak Harto, Kebal Hukum Tidak Kebal Mati<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIfeGA9xJ4uzVYkdGIvBhB6aT-t8FcweJLui8ATckZzoJq-MNAlVDrrIbudZ0hnuaF37BjS-jzEwEw6jNvxLj_0lB8q0OHyawoMeojexpe3kZKPSS1yWQSkG4eb7ZYPv531ZG9O8rXSG7S/s1600-h/pak+harto.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 135px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIfeGA9xJ4uzVYkdGIvBhB6aT-t8FcweJLui8ATckZzoJq-MNAlVDrrIbudZ0hnuaF37BjS-jzEwEw6jNvxLj_0lB8q0OHyawoMeojexpe3kZKPSS1yWQSkG4eb7ZYPv531ZG9O8rXSG7S/s200/pak+harto.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5359455252639442546" /></a><br />Judul Buku : Rahasia Pak Harto ( Menyingkap Rahasia Umur panjang, <br /> : Kesehatan, kesuksesan, & kekuasaan Pak Harto )<br />Penulis : Mohammad Shoelhi<br />Penerbit : GRAFINDO<br />Cetakan : Maret 2008<br />Tebal : 133 hal<br />Perensi : Ahmad Shiddiq Rokib*<br /><br />Bangsa yang besar adalah yang menghargai jasa para pahlawan dan pendahulunya. Bung karno, Bung Hatta, Bung Tomo dan seterusnya, termasuk pak Harto adalah pahlawan terbaik yang dimiliki bangsa ini. Dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, mereka telah mengukir sejarahnya masing-masing dalam percaturan memerdekakan, membangun, dan memajukan Indonisia.<br /><br />Haji Mohammad Soeharto atau lebih dikenal sebutan pak Harto, hal ini disebabkan karena beliau menjadi penguasa bangsa ini selama 32 tahun, sehingga nama besarnya terangkat didunia internasional, berakhir pada saat krisis moneter tahun 1998 ditandai dengan krisis kepeminpinan dan turunnya sang peminpin diakibatkan oleh ulahnya sendiri pada saat jayanya selalu bertindak sewena-wena, jika ada suara kritis mengelinding pada istana kekuasaannya.<br /><br />Saat persakit-sakitan mata dunia tertujuh padanya untuk sekedar mengenang jasa-jasa beliu, mulai dari yang benci dan yang suka, baik teman maupun lawan memberikan perhatian besar, bahkan K.H..Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, BJ. Habibie, Ginanjar karjasasmita dan yang lainnya menyuarakan agar pak Harto dimaafkan dosa-dosanya. Menurut Gus Dur meskipun mantan Presiden kedua ini banyak melakukan kesalahan tapi juga banyak jasa-jasa yang dipersembahkan untuk bangsa ini, paling tidak pak Harto dalam melakukan sesuatu atau bertindak memperhitungkan segala sesuatu, selalu merencanakan dengan matang, dan yang terpenting selalu memikirkan rakyat kecil.<br /><br />Pada zaman berkuasa pak Harto selalu tersenyum, pada kawan, lawan,termasuk saat susah, senang, bahkan dalam keadaan kalap sekalipun sehingga musuh dan bawahannya sulit memprediksi apa yang sedang direncanakan dan senyum multitafsir hendak mendarat, dari senyum itulah dipercaya menjadi rahasia, kelanggengan kekuasaan, kekayaan, kesehatan, dan umur panjangnya. Dalam sebuah riset disebutkan bahwa senyum memberi manfaat yang luar biasa pada psikologi seseorang. Dan pada masa hidupnya pak Harto selalu menjaga penampilannya dengan senyuman dan tak elak menimbulkan multitafsir.(hal 19)<br /><br />Tapi apa yang terjadi jika senyum yang multitafsir tersebut hilang dari penampilannya, akankan yang konon katanya, senyun membawa keberentungan pada karir, kesehatan,kekuasaan, dan umur panjangnya, yang.menjadikan orang –orang dsekitarnya deg-degan itu, pada situasi yang tidak menentu? tentu hal ini, bisa terjawab dengan tuntas dalam buku ini.<br /><br />Buku yang berjudul Rahasia Pak Harto ini, banyak menjelaskan tentang penyebab hilangnya senyum pak Harto, dan bahkan menurut para pakar psikologi, beliau sudah kehilangan 385 senyum perhari.dan pengamatan pakar politik, menilai senyum itu hilang, pertama karena power syndrome kejatuhan kekuasaannya begitu mendadak, penhiayatan yang dilakukan oleh orang –orang kepercayaan yang telah ia besarkan, menghianati dengan turut serta meminta turun dari jabatan kepresidenan, semua itu berbalik lurus begitu cepatnya.<br /><br />Turunnya sang macan dari kekuasaan, menimbul kasus Hukum yang menyita perhatian publik, yakni KKN hasil berkuasa disinggasana bernama bangsa Indonesia. Penggatinya .BJ. Habibie hingga SBY belum menunjukkan tanda-tanda diusut dengan tuntas dan cendrung tutup buka jalan terhadap kasus tersebut. meskipun sang empunyah sudah pulang ke alam baka. Menurut beberapa versi harta al-marhum. Laporan yang diturun oleh majalah TIME edisi Asia, 24 Mei 1999 menyatakan bahwa kekayaannya mencapai US$ 15 miliar (sekitar 135 triliun), itupun diperkirakan lebih dan majalah Forbes, edisi 28 juli 1997 (sebelum lengser) menobatkan penguasa negeri kaya ini orang terkaya keempat didunia. Dan belum mengusut perusahaan yang begerak disektor usaha dipegang oleh anak-cucuknya.(hal 72-73)<br /><br />kedua karena adanya penyelewengan keppres, bermula pada tahun 1983 pak Harto mengeluarkannya, pada bidang perhutanan dan perkebunan yang terindikasi terjadi penyimpangan karena berbau Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).<br /><br />Dari keppres tersebut, tercatat sejumlah penyelewengan yang menguntungkan bagi kroni-kroninya. Antara lain, keppres No 6 tahun 1983 tentang pembangunan dan pengelolaan gedung manggala Wanabhakti oleh Yayasan Wanajaya sampai pada keppres No 1/1997 tentang koordinasi pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri, keppres No 73/1995 tentang Reklamsi pantai Kapuk Naga Tangerang, dan keppres No 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dikuasai anak dan kroninya, bahkan temuan Masyarakat Transparansi Indonesia ( MTI ) dari tahun 1993 sampai 1998 terdapat 528 keppres yang dibuat mantan Presiden kedua ini, sekurang-kurangnya 79 terbukti menyimpang, baik legalitas, materi, dan dampak pada masyarakat.<br /><br />Ya, meskipun sudah jelas bersalah tapi nyatanya hukum kita tidak bertaring dan tumpul menenbus cendana, meskipun pak Harto sudah tidak lagi didunia. Akankah rakyat Indonesia telah memaafkan mengiringi kepergiannya ?.dan sekebal-kebalnya pak harto terhadap hukum ternyata tak kebal mati juga !.<br /><br />Buku bacaan yang semi-populer ini, merupakan sekumpulan informasi yang ditulis dengan gaya jurnalistik, dan mudah dibaca oleh siapapun termasuk siswa yang duduk dibangku sekolah, Cuma sayang, terdapat kekurangan disana-sini dalam bentuk penulisan dan tidak berpengaruh pada subtansi tulisan, yang bertujuan menyajikan informasi masa lalu untuk menjadi cermin oleh generasi yang akan datang dan para politisi sekarang. Dengan demikian buku ini sangat cocok dibaca oleh peneliti, praktisi, akademisi, pemerhati dan bagi mereka yang menaruh perhatian pada masalah hukum dan politik di Indonesia <br /><br />Lalu Ibarat pepatah, Gajah mati meninggalkan gading, pak harto mati meninggalkan masalah. Allahu Maghfirlahu.!<br /><br />* Penulis :Pecinta buku dan aktif dikomunitas Baca Surabaya (KOMBAS)Pena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-75829965943650726202009-06-28T06:02:00.000-07:002009-06-28T06:07:34.603-07:00Percikan Mata Batin Seorang Sufi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_WErg44FrLUD-QCxFYxB0UaTywZXgK1a9L4QG5dlIpnqutNZ8Sytxe16-H6reeRZ23ORGQA1huU7dR4drNXo2CtphPg1Zm9uAievfD2CFN7YGwyNqEkKL542imPoC4Xr-IhNh0eUDjBBX/s1600-h/surga.sidik.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 134px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_WErg44FrLUD-QCxFYxB0UaTywZXgK1a9L4QG5dlIpnqutNZ8Sytxe16-H6reeRZ23ORGQA1huU7dR4drNXo2CtphPg1Zm9uAievfD2CFN7YGwyNqEkKL542imPoC4Xr-IhNh0eUDjBBX/s200/surga.sidik.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5352364188735128834" /></a><br />Judul Buku : Percikan Cinta dari Surga<br />Penulis : Geidurrahman El-Mishry<br />Penerbit : himmah Kelompok Grafindo, Jakarta<br />Cetakan : I, September 2008<br />Tebal : 254 hal<br />Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*<br /><br />Pada prinsipnya, manusia diciptakan untuk mengabdikan dirinya kepada tuhan, namun pengabdian tidak semulus apa yang dibayangkannya. Banyak krikil yang menghalangi manusia sampai kepada-nya. oleh sebab itu, manusia perlu mengasah hatinya dengan selalu bertaqarrub kepada tuhannya. Dimensi terpenting dalam pergulatan hamba spiritual hamba mencapai tingkatan dan menjadi tujuan hakiki.<br />Dengan demikian, setiap dari kita menginginkan kehidupan yang lebih mulia dan bermakna. Hal demikian yang menjadi tujuan hidup manusia, tak lain karena semata ingin mendapat ridha Allah. Keikhlasan dalam beribadah menjadi kata kunci dalam upaya meraih ridha Allah. Kalau ridha Allah sudah kita dapat, apapun akan kita raih, termasuk hidup mulia dan nikmat surga kelak di akhirat.<br /><br />Nah, dalam buku yang berjudul “percikan Cinta dari surga” ini. Akan mengantar kita pada hal yang demikian, banyak hikmah yang diungkapkan didalamnya. Misalnya tentang terkabulkanya do’anya tukang sapu oleh Allah yang diceritakan oleh Muhammad bin Muhandist, pada suatu malam sang muhandist berada dimasjid, tiba-tiba datang seorang berkulit kecoklat-coklatan, mengenakan kain sarung, dan pada lehernya tergantung kain yang lebih kecil. Lalu laki-laki itu berdo’a agar Allah menurunkan hujan “Wahai rabbku. Para penduduk Madinah kota-Mu telah keluar dan meminta hujan, namun engkau tidak mencurahkan hujan. Kini aku bersumpah atas Mu, turunkanlah hujan”<br />Lalu suara guntur diiringi hujan yang mulai menjatuhi bumi. Tatkalah itu Muhanndist tadi terkaget-kaget, dari saking penasarannya ia membuntutinya tiap kali habis sembahyang shubuh, yang selalu keluar setelah salam tanpa berdzikir terlebih dahulu.<br /> <br />Sampai dirumahnya. Langsung sang muhandist disambut oleh yang berdo’a dimasjid tadi dan menanyakan tentang apa yang bisa dibantu tapi sang muhandist men jawab sekaligus bertanya,”apa benar anda yang bersama saya pada suatu malam itu”.Tiba-tiba yang ditanya raut wajahnya berubah kerah-merahan dan mengumpat sang Muhannadist, kemudian muhanndist meninggalkannya.<br /><br />Dari secuil cerita diatas, dalam diri kita akan terbersit sesobek hikmah yang mulai luntur dari kaum muslim ditengah derasnya kilauan dunia. Pertama tidak riya’dalam beribadah kepada tuhan, dan bila riya terdapat pada diri seseorang maka Allah akan melaknat hambahnya. Sebab riya adalah perbuatan yang sama halnya menyandingkan kemuliaan-nya dengan yang lainnya.<br /><br />Kedua tidak ta’jub, ujub, sombong, dan kemegahan lantaran popularitas. Karenanyamenghindari sebab dan musababnya popularitas menjadi wajib. Kecuali lantaran menyebarkan agama (dakwah) Allah, dengan ketaatan, ikhlas, perbuatan yang bisa dirasakan manfaatnya oleh orang banyak, sehingga ia menjadi masyhur dengan sendirinya. Dan hal ini, perlu diatasi dengan cara mencintai Khumul (anti ketenaran), ia tidak mabuk dipuji dan tidak memperdulikan yang mengaguminya. Orang semacam ini, budi pekertinya baik, bisa menjaga lisannya serta renda hati dalam berbagai persoalan.<br /><br />Ketiga tidak mencari kedudukan, sedangkan harta dan kedudukan tidak bisa dipisahkan dengan popularitas. Keduanya adalah sendi dari dunia. Secara alami orang yang tertarik dengan harta karena ingin memiliki dan memanfaatkan buat kebutuhan hingga kebutuhan sampai tingkat menguasainya. Sementara itu, orang tertarik dengan kedudukan. karena ingin dihormati, diagungkan, ditaati juga ingin mendapatkan kekayaan. Dua sendi dalam kehidupan ini saling terkait satu sama lain ( hal, 77 ).<br /><br />Melihat realitas saat ini, mungkin hampir tidak ditemukan orang yang tidak mencintai dan bahkan mencari popularitas, kedudukan dengan cara riya, mengagungkan kelebihan diri sendiri, menjelek-jelekkan orang lain. Kadang supaya dirinya popular dan mendapat jabatan yang diinginkan ia berani menhambur-hanburkan uang dengan beriklan di TV, surat kabar dan lain-lain. Dan andaikan orang-orang mencontoh dan mengambil pelajaran kisah diatas, tidak tidak mempopularkan diri dalam mencari jabatan, yang ujung-ungnya hanya mencari kekayaan pribadi bukan kemaslahatan umat, niscaya selalu teduh dan tidak kering dari spiritual.<br /><br />Sungguh, Geidurrahman El-Misry sapaan nama pena dari Aguk Irawan telah mampu menyajikan kisah-kisah Sufi dari kalangan sahabat Nabi dan tabi’in yang diangkat dari kitab-kitab klasik dengan dipadukan dengan tafsir hikmah, hingga menambah inspirasi orang-orang yang ingin mendapatkan ridha Allah dengan merasa sejuk bersamanya dan dapat mengambil ibrah dengan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian tidak heran kalau KH. Musatafa Bisri atau Gus-Mus di cover depan mengatakan Bahwa “Buku yang cerdas, yang menghantarkan hidup kita menjadi lebih bermakna dan mulia dengan mengapai ridha dan surga Allah, serta menjadi bagi pencerahan mata batin dan spiritual kita”.<br /><br />Dengan demikian, buku ini perlu dibaca siapapun yang rindu akan nilai-nilai kearifan berakar dari shahabat, tabi’in dan ulama sholeh. dan tentu dalam buku ini terdapat beberapa kelemahan yang tidak begitu fatal. <br /><br />Akhirnya, setiap manusia harus senatiasa menjadi hamba pilihan Allah SAW. Karena hanya dengan menjadi pilihannya, manusia bisa mendapatkan tempat dan derajat tinggi disisinya. Untuk mengujudkan keinginan luhur itu tentu tidak gampang, apalagi pada era sekarang, penuh tantangan dan godaan. Wallahu A’lam bis showab.<br /> <br /><br /><br />*)Penulis Alumni PP. Nasy-Atul Muta allimin, Mantan Aktivis PAC. Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama Gapura Sumenep.Pena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-59066870260967110032009-06-28T05:46:00.000-07:002009-06-28T06:00:44.598-07:00Tokoh Legendaris Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjARsGJxJe5I9iKsOceEBDGC7WMAQh1arZVwMvqqK_fY5BFKxvlnFUFW69vm5xNKSbhFUWq__kThRlxeQqkv3C-AQRSX-srJ4EQmSIQgPZATrrWbhDXyQBXhcUwZNnxpJvJpc8dVp4TsY5K/s1600-h/k.nawawu.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 135px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjARsGJxJe5I9iKsOceEBDGC7WMAQh1arZVwMvqqK_fY5BFKxvlnFUFW69vm5xNKSbhFUWq__kThRlxeQqkv3C-AQRSX-srJ4EQmSIQgPZATrrWbhDXyQBXhcUwZNnxpJvJpc8dVp4TsY5K/s200/k.nawawu.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5352362321528403954" /></a><br />Judul Buku :MENGENAL K.H.NAWAWI Berjan Purworejo, Tokoh diBalik Berdirinya Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah<br />Penulis :Drs.HR.Mahsun Zain, Dkk ( Tim PP . An-Nawawi ) <br />Pengantar :K.H.Ahmad Idris Marzuki<br /> K.H.Maimoen Zubair <br />Penerbit :Khalista Surabaya<br />Cetakan :I, Agustus 2008<br />Tebal :xx+184 hlm<br />Peresensi :Ahmad Shiddiq Rokib*<br /> <br />Dunia tasawwuf muncul akibat kepongahan kelompok umat islam yang merasa tidak puas dengan kedekatan diri mereka kepada tuhan melalui ritual-ritual formal seperti sholat, puasa, dan sebagainya. Mereka ingin mencapai intisari ibadah yaitu adanya kesadaran akan adanya komunikasi antara roh manusia dan tuhan. Kesadaran inilah yang pada akhirnya memunculkan ajaran-ajaran tasawwuf baik yang hanya disampaikan secara lisan dari seorang guru kepada muridnya maupum yang ditulis dalam bukunyasemisal Ihya Ulum al-din Oleh al-Ghazali. Bahkan pada abad XII Masehi ikatan guru dan murid dalam kontek usaha transfer ajaran ( tranfer of doctrine) mulia terorganisir yang dikenal dengan nama tharikat. <br /><br />Adalah K.H. Nawawi bin Shiddiq yang merupakan mursyid thoriqah sekaligus pendiri Organisasi Jam’iyyah Thariq al-Mu’tabarah yang cukup dikenal dan patut menjadi tokoh teladan oleh segenap guru dan santri thoriqat dari berbagai aliran utamanya Thariqah Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah dan umumnya seluruh muslim-muslimat dipenjuru tanah air ini. Pasalnya, derajat yang tinggi dalam beberapa kepengurusan organisasi sosial kemasyarakatan baik dalam lingkup organisasi Nahdhtul Ulama (NU), Thariqh, dan sebagainya, tidak menjadikan “ menyembulkan” keluar dari jati dirinya. Tetap mampu menahan godaan pengaruh kewibawaan, yang kini banyak dicari orang.<br /> Posisinya yangat strategis sebagai salah seorang pendiri dan pelopor berdirinya Jam’iyyah Ahli Thariqh Al-Mu’tabarah yang dideklarisikan di Pondok Pesantren Tegalrego Magelang pada tahun 19-20 Rabi’ul Awal 1377 H. /12-13 Oktober 1957 M. Tidak dijadikannya ajang untuk mencari keuntungan Pribadi. Beliau, seorang kyai yang matang dalam berorganisasi khususnya di NU dan Thariqah Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah, tidak pernah mbalelo dalam masa pengabdian yang panjang, banyak kawan sederhana, tidak neko-neko, namun tetap dihormati oleh kalangan tua dan digandrungi anak muda.<br /><br />Jadi tidak heran, jika semua dilakukan hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Sebab ulama pengasuh Pondok Pesantren ini, seperti ynang dituturkan oleh K.h. Ahmad Idris Marzuki pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri bahwa ia mengawali karir pengabdiannya dengan menimbah ilmu pada beberapa pesantren di Jawa Tengah dan Jawa timur. kesederhanaannya dalam hidup, diwarisi dari ayahandanya K.H.Shiddiq bin Zarkazi, dan nampak jelas dalam ingatan teman-teman selama enam tahun mondok di pondok lirboyo Kediri yang diasuh oleh Syech Abdul Karim bahwa penghidupannya terlalu sederhana karena diperoleh dengan jalan “ buruh ngeseh kitab ” pada teman-temannya.<br /><br />Semangat pengabdian kepada umat pula yang memompa keprihatinannya menyaksikan pada masanya, banyak terjadi penyimpangan dalam ajaran thariqat. Keprihatinannya inilah yang menuntutnya menemukan ide brilian dengan memprakarsai terselenggaranganya kongres I Alim Ulama Thariqah Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah pada tanggal 12-13 Oktober 1957 dan pada saat ini pula dideklarasikannya Jam’iyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah. Sebelumnya beliau membuat kesepakatan antara K.H.Nawawi Berjen dengan K.H. Masruhan Brumbung pada tanggal 31 Desember 1955 untuk meluruskan dan menyepakati perlunya membentuk jam’iyah tharikat shohihah karena ditengarai terjadi penyimpangan ajaran dan tidak terorganisirnya pengikut thoriqat. Demi memuluskan ide tersebut beliau berkeliling untuk silaturrahim pada pengasuh pondok-pondok yang ada di Jawa tengah dan Jawa Timur ( hal 96).<br />Disamping itu, beliau adalah sosok pemikir yang tidak kalah produktif dengan pemikir kontemprer ini, utamanya berkaitan dengan din maupun masalah duniawiyah. Ini terlihat dari sejumlah karya tentang keutamaan al Qur’an, Aqidah, tasawwuf / thariqat, fiqih hingga kemandirian ekonomi dan tata Negara, yang hampir semuanya berbahasa arab dan jawa dengan berbentuk syair. Pada bagian pembahasan tentang tata negara beliau sangat cerdas memeparkan bahwa umat islam indonesia harus bisa menata agama dan negara dengan sebaik-baiknya dan bagaimana rakyat indonesia bisa maju dan mandiri secara ekonomi yang tidak berergantung pada negara asing dan peminpin yang mengelolanya untuk kesejahteraan bersama.<br /><br />Sungguh, buku ini cukup runtut dalam memaparkan fakta sejarah karena didukung sumber yang terpercaya. Lebih dari itu, buku ini saja memaparkan sejumlah peristiwa tetapi penulisannya telah diberikan penjelasan makna sejarah dan fakta yang ditampilkan, sehingga melalui buku ini, pembaca akan dibuat terkaget-kaget dan kagum akan kebesaran visibelitas sang tokoh dengan segalah karya dan pemikiranya yang boleh dibilang komplit. Sehingga patut direkomendasikan bagi akademisi, peneliti, dan tokoh ulama-intelektual yang ingin mendapatkan fakta baru tentang sejarah thariqat di Indonesia, sekaligus menaruh perhatian pada dunia tasawwuf kontemporer.<br />Akhirnya, dari sejarah tokoh legendaris ini, kita sebagai generasi dan penerus perjuangan ulama terdahulu bisa mengambil suri tauladannya yang suka pengetahuan, kesederhanaan, mengutamakan orang lain, ikhlas, mandiri, disiplin, sabar dan tak kalah penting cintanya pada tanah air dan bangsa indonesia ini. Luar biasa bukan ?.<br /><br /><br />*) Santri Pondok Pesantren Luhur Husna dan koorditor Student Association of Moslem Indonesia ( SAMI ) di surabayaPena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-74503212744942492302009-06-15T20:03:00.000-07:002009-06-15T20:12:34.081-07:00Gur Dur dan Konflik PKB<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYX_ISJx-MgwL0jIeFPbFFbbPDusAYsilsLB6n-3vfhNYDb0Pyx0Byou4HpMK3AYPVfCK5mhbp8NHdGKyU7g87a3rCg8HCW5jg5DsLRLASUqBTK2urItTtA38Fxd5VqoClsi7ZXihxCmdJ/s1600-h/New+Image.BMP"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 140px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYX_ISJx-MgwL0jIeFPbFFbbPDusAYsilsLB6n-3vfhNYDb0Pyx0Byou4HpMK3AYPVfCK5mhbp8NHdGKyU7g87a3rCg8HCW5jg5DsLRLASUqBTK2urItTtA38Fxd5VqoClsi7ZXihxCmdJ/s200/New+Image.BMP" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5347756808135282402" /></a><br />Judul Buku :GUS DUR GARIS MIRING PKB <br />kumpulan Tulisan Khusus Tentang Gus Dur dan PKB<br />Penulis :A.MUSTOFA BISRI<br />Penerbit :Mata Air Publishing <br />Cetakan :I, Mei 2008<br />Tebal :137 hlm<br />Peresensi :Ahmad Shiddiq Rokib*<br /> <br /><br />Boleh dibilang antara K.H. Abdurrahman Wahid yang biasa dikenal Gus Dur dan K.H. A.Mustofa Bisri atau Gus Mus. Ibarat, dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan apalagi kedua tokoh tersebut memang lengket sejak menempuh studi ke Negeri para Nabi ( Mesir ) hingga kembali ke Tanah Air, meskipun keduanya beda jalan dalam mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan ummat dan bangsa. Gus Dur sibuk dengan mengurus partai politik (PKB) sebagai instrumen, sedangkan Gus Mus sendiri lebih banyak menyapa ummat lewat tulisan, lukisan, dan pengajian. namun keduanya bisa saling mengisi dan melengkapi satu sama lain.<br /><br />Ada banyak hal, yang membedakan kedau tokoh ini, salah satunya adalah kalau Gus Dur lebih banyak melontarkan pernyataan kontroversial, sehingga gaya yang seperti itu banyak orang rasan-rasan dan menimbulkan pro-kontra, ada yang benci oleh sebagian orang sekaligus dipuji oleh pengagumnya. Gus Mus yang bergelut dengan sastra yang identik dengan estetika ( keindahan ) dan kelembutan membuat kyai bersahaja selalu menjadi penengah atau mengakurkan orang yang bertikai, tidak terkecuali saat konflik menyerang Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB ) dan sering kalangan yang berkonflik menyebut-nyebut namanya untuk segera turun gunung meredakan api yang membara.<br /><br />Buku yang ditulis oleh Gus Mus yang berjudul ”GUS DUR Garis Miring PKB, Kumpulan Tulisan Khusus Tentang Gus Dur dan PKB” ini merupakan respon seorang kyai kesohor sekaligus pendiri partai berlambang bola dunia dengan dikelilingi bintang sembilan, terhadap konflik yang tak kunjung usai, meskipun sudah banyak makan korban atau lebih tepatnya adanya kepentingan tidak terakomodasi secara rapi. <br /><br />Bisa dibayangkan, sudah tujuh kali menyelenggarakan Muktamar hampir semuanya menjadi catatan merah ditangan Gus Mus. Ada yang menarik dari apa yang dituturkan oleh pengasuh pondok Roudhotut Thalibin ini, apa yang yang menjadi kemelut ditubuh partai yang selalu meneriakkan jargon “Membela yang benar” disebabkan. Pertama terpilih Gus Dur sebagai Dewan Syuro untuk pertama kali di Surabaya dan masih menjadi Presiden RI dengan Dewan Tanfidznya H.Mathori Abdul Djalil. Sejak itulah, PKB identik dengan Gus Dur atau sebaliknya Gus Dur identik dengan PKB, tepatnya Gus Dur menjadi institusi sendiri dalam partainya. Kedua Gus Dur yang merupakan tokoh besar untuk PKB, sehingga, mempersempit sekaligus tidak menyisakan ruang gerak bagi kader-kader PKB. Seperti, Mathori Abdul Jalil, Alwi Shihab dan yang terakhir A. Muahimin Iskandar menjadi wujuduhu Ka ‘adamihi, adanya seperti tidak adanya.<br /><br />Ketiga lemahnya kader partai yang belum matang berorganisasi dan belum terbiasa berpartai, sehingga memperparah sekaligus memicu ketidak stabilnya organisasi. Konflik yang terjadi antar elit ditubuh partai besar ini, seharusnya bisa diminimalisir oleh kubuh yang berseberangan dan tidak perluh mengikut sertakan pengikut yang tidak tahu apa-apa.<br /> <br />Gus Mus sendiri telah mewanti-wanti untuk menyelesaikan persoalan yang tidak berujung secara kekeluargaan sebab tidak akan menguntung pada PKB sendiri, utamanya kyai dan warganya yang mulai kebingungan bahkan kecewa oleh tingkah laku pembesar partai. Dari ini Gus Mus, sering melayangkan surat berupa masukan maupun teguran pada partai, meskipun pada diri Gus Mus sendiri harus mengorbankan perasan demi terciptanya tatanan yang harmonis dan mengujudkan tujuan awal dibentuknya partai yang harapkan menampung aspirasi warganya. Misalnya, surat yang ditujukan pada Pinpinan Partai berisi tentang keresahan warga NU atas perilaku pinpinan yang sibuk bertikai dan kebijakan yang diambil DPP seringkali menimbulkan keributan dibawah tanpa memberikan klarifikasi yang jelas. Dari klarifikasi tersebut menjadi semacan jembatan pada tingkat akar rumput agar tidak meninbulkan pro-kontro antar pendukung.<br /><br />Namun disatu sisi, Gus Mus menjadi seorang romantisme sejati terhadap sahabatnya, ini terlihat dari surat Gus Mus yang ditujukan pada Gus Dur, dengan maksud merindukan sosok yang dianggap selalu demokrat, egalitarian, dan romantis yang dibangun sejak kuliah dimesir, berubah legal-formal lantaran jarak kekuasan, yang menurutnya mengurangi keakraban antara keduanya. Dengan sangat indah ia menulis kata-kata, layak orang kasmaran dan tak lupa diselah-selah kalimat romantisnya menyelipkan pesan agar orang disayangi itu tidak terjebak pada bithanaah lantaran ia berpandangan tokoh sebesar Gus Dur pasti akan dikerumuni banyak orang yang mempunyai kepentingan untuk diri sendiri.(hal 123)<br /><br />Kumpulan tulisan tentang Gus Dur dan PKB yang tersebar diberbagai media ini ditulis dengan gaya fimilar, mudah dicernah siapapun, membuat orang yang membaca ingin melanjut kata demi kata dan judul demi judul. Demikian juga buku ini patut dibaca oleh para politisi, simpatisan partai, dan insan akademis yang menaruh perhatian pada perjalanan sebuah partai besar. Disamping masih ada kekurangan yang tidak begitu subtansial seperti kesalahan pengetikan teks dan tidak ada tanggal penulisan yang jelas. Namun, patut mendapat apresiasi, hal ini membuktikan bahwa ia memang menaruh perhatian besar dan menyayangi Gus Dur dan PKB.<br /><br />Meskipun demikian, tetap saja konsekuensi yang barangkali sangat disadari oleh Gus Gur sendiri dari sikapnya yang tidak suka mememdam sikap dan cueknya terhadap reaksi pro-kontra orang lain, Gus Dur pun menjadi tokoh kontroversial sejati yang dipuja sekaligus dalam waktu yang sama dibenci. Konsekuensi ini justru lebih merugikan pihak yang memuja dan membencinya, ketimbang Gus Dur sendiri, bukankah begitu, Gus ?.<br /> <br />*) Penulis : Mantan Aktivis PAC. Ikatan Pelajar NU Gapura-Sumenep dan saat ini studi di IAIN Sunan Ampel Surabaya.Pena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-63998566832334349482009-06-15T09:19:00.000-07:002009-06-15T09:43:01.394-07:00Sistesis Spiritual Peradaban Jawa<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhsXkA3QoBMftBjppkd7KMTDSuPvOQQhlTel5xwd9r_4ViL19suYJtPgeNxq-JL_3FodQ4t6ZZ0RSq4xErVsyOKaJRbg-nQxL7I5nV4uBHKEMrY4eUZ6dgSNco1JqEJh621gWtYwW8MwS-f/s1600-h/COVER+POLITIK+PERHATIAN+(1).JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 134px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhsXkA3QoBMftBjppkd7KMTDSuPvOQQhlTel5xwd9r_4ViL19suYJtPgeNxq-JL_3FodQ4t6ZZ0RSq4xErVsyOKaJRbg-nQxL7I5nV4uBHKEMrY4eUZ6dgSNco1JqEJh621gWtYwW8MwS-f/s200/COVER+POLITIK+PERHATIAN+(1).JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5347595503202821746" /></a><br />Judul Buku : Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa<br />Penulis : Paul Stange<br />Penerbit : LKIS Yogyakarta<br />Cetakan : Maret 2009<br />Tebal : xxix+366 hal.<br />Perensi : Ahmad Shiddiq Rokib*<br /><br /><br />Sebagai “pewaris sah nilai-nilai spritual jawa”, aliran kepercayaan sebenarnya menghadapi tantangan serius. Dari segi riil politik mereka dituntut untuk mendudukkan dirinya secara tepat dihadapan kekuasaan negara dan lalu lintas hubungan dengan kelompok-kelompok agama yang menggeliat memproklamirkan kebangkitan. Derasnya arus modernisasi yang membawa semangat hidup pragmatis dan konsumeris, juga memaksa mereka merekonstruksi dan melakukan revitalisme nilai-nilai spritual dan kebudayaan.<br /><br />Buku Paul Stange ini, merupakan penyingkapan nilai-nilai jawa yang menurutnya merupakan tradisi Tantrik yang sudah ada jauh sebelum kedatangan tradisi-tradisi agama india dan samatik. Dalam banyak hal, paul menegaskan kembali apa yang disebut “agama jawa” atau sering disebut Kejawen dengan segala nilai dan praktik spiritual-ritualnya. Jelas, dibutuhkan suatu energi intelektual yang besar untuk mengklarifikasi hal itu, lantaran jawa yang kita kenali sekarang bersifat sinkritik.<br /><br />Jawa berkembang tidak dengan kekhasan yang terisolasi, tetapi dalam kombinasi dengan masukan kultural dari luar.<br />Nah, sementara penegasan agama Jawa senantiasa ingin menjernihkan, dengan cara memilah namun tidak berarti mententangkan, mana yang dianggap murni Jawa dan mana yang sekedar tempelan dari Jawa. Dan ini menjadi kontroversi ini sulit dipisahkan antara Jawa dan bukan Jawa. Misalnya, Jawa dan Islam, sering dianggap suatu “politik pengetahuan” yang ideologis, bahkan merambah ketegangan politik, bahkan pada level aliran kepercayaan.<br /><br />Buku setebal 366 halaman ini terdiri dari tiga bagian dan terdiri dari beberapa bab, meskipun pada awalnya hanya esai yang berdiri sendiri semua sudah diolah kembali. Tidak hanya proses penterjemahan, tetapi pada pembaruan dan pengurutannya. Pada bagian satu, pendekatan secara etnografis dan tekanannya pada rasa, pengalaman dan antologi tunggal sebagai landasan teori maupun penerapan kejiwaan dijawa. Bagian kedua paul mencoba menelusuri perkembangan didalam lingkungan kepercayaan sejak kemerdekaan, dan dengan sendirinya pada bagian ini beralih pada sejarah, tentu sejarah pada masa kini. Dan bagian ketiga dosen senior dalam program Asian Studies di Murdoch University, Perth, Australia Barat. Mengulas masalah politik penafsiran, terutama oleh ilmuwan Barat, namun pada hakikatnya sasarannya ilmu semata-mata.<br /><br />Pada umumnya, ada kecenderungan untuk menafsirkan kepercayaan seolah-olah dapat dimengerti didalam satu lapisan dari realitas-realitas pemikiran atau tindakan seperti yang ditawarkannya “praksis” ( perpaduan antara teori dan praktik) sebagai landasan inti untuk memahami gejala-gejala agama dan kepercayaan. Dengan praksis sebagai landasan.<br /><br />Meskipun antara judul dan sub judul buku ini tidak terdapat keterkaitan yang sangat erat, dan pada awalnya tampak kabur. Istilah “politik” menurut pengakuan paul tidak menyangkut lapangan pemerintahan (walapun pada ahirnya terkait) yaitu berkaitan dengan ilmu sosial dan sastra Barat. Di dalam wacana itu, politik menyangkut antara lain, pola kekuasaan di dalam lingkungan keluarga, antara jenis kelamin, didalam susunan wewenang dikantor atau pabrik dan sampai pada beberapa kompetensi antara beberapa bentuk atau jenis wacana.<br /><br />Sedangkan penggunaan istilah “perhatian” dan bukan (umpamanya) “meditasi” karena jangkauannya luas, tidak terbatas pada lingkup latihan kejiwaan saja. Dengan demikian, menunjukan adanya permainan serta pengarahan perhatian, tidak hanya di dalam lapangan kepercayaan tertentu, seakan-akan merupakan masalah lingkungan tertentu saja, tetapi di dalam dan melalui kebudayaan secara umum sebagai masalah yang menyangkut semua orang. Setiap kebudayaan menitikberatkan lapangan tertentu dengan cara tertentu pula (247 hal).<br /><br />Dari itu, paul stange sendiri bisa dikatakan merupakan salah seorang pengamat jawa mancanegara, yang turut menyemarakkan jagad perhatian terhadap jawa yang menjadi fenomena intelektual tahun 1970-an. Tidak sekedar pengamat, paul stange bahkan, seperti diakuinya penganut nilai-nilai jawa. Jawa, sebagai sebuah peradaban, bertahan dengan sintesis spiritualnya terhadap peradaban dunia : Hindhu-Budha dan Islam. Tetapi, mengapa gagap menghadapi penetrasi Barat? Upaya memilah Jawa dan non-Jawa selalu saja merupakan perististiwa politik.<br /><br />Dan itu selalu ada yang ter(di)singkir(kan). Jawa yang takluk ?lalu siapa pula yang berhak mewakili Hindhu-Budha, aliran kepercayaan, koegrafer Sardono atau Bagong, Gus Dur dan pesantrennya, kraton Mataram atau lembaga Javanologi? Mungkin tak seorang pun dari mereka karena Jawa telah menjadi masa silam dan hanya ada dalam imajinasi. Semakin ia dikaji untuk masa kini, semakin kita menelusuri masa silamnya.<br /><br />Untuk itu, membaca buku ini dengan sendirinya kita berhadapan dengan seoarang yang disatu sisi murni scholar (seorang yang berjarak terhadap Jawa), namun sekaligus disisi lain menjadi “orang dalam” yang menganut dan menghayati nilai-nilai yang diteropong tersebut. Sehingga buku ini layak dibaca siapapun yang menaruh perhatian pada kebudayaan Nusantara khususnya Jawa. Baik, budayawan, akademisi dan masyakat umum, karena lewat suatu teropong etnoggrafisnya yang dikombinasikan dengan penelusuran leterarnya, buku ini makin lebih hidup.<br />Waallahu a’lam bisshawaf.<br /><br /><br />*) Penulis adalah Staf Departemen Pengkajian dan Penelitian Pondok Budaya Ikon Surabaya.<br /><br />Tulisan ini dimuat NU onlinePena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-13670452200466801742009-06-04T08:28:00.000-07:002009-06-04T08:33:08.286-07:00GUS MUS Bicara Nasib Rakyat<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1wf3nBwJaotzyAPZnPhdpgbbuvf_i5F7DBHUxTVxWpnN668qW02FSRd-_Sxr9xvSS9PBsH3BFVuIS7KAvBza8lEEIpSlLf0h98DP7GAhpmxlyqTAEMcuPNLxXvrUYB_Gl1tpfUEt81j7e/s1600-h/buku+Gus+Mus.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 140px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1wf3nBwJaotzyAPZnPhdpgbbuvf_i5F7DBHUxTVxWpnN668qW02FSRd-_Sxr9xvSS9PBsH3BFVuIS7KAvBza8lEEIpSlLf0h98DP7GAhpmxlyqTAEMcuPNLxXvrUYB_Gl1tpfUEt81j7e/s200/buku+Gus+Mus.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5343495700505231474" /></a><br />Judul Buku :KOMPENSASI<br />Penulis :A.MUSTOFA BISRI<br />Penerbit :Mata Air Publishing <br />Cetakan :Februari 2008<br />Tebal :x+ 312 hlm<br />Peresensi :Ahmad Shiddiq Rokib*<br /><p></p><p></p><p>Dalam Motto buku Ini tertulis “ Mungkin akan jumpai empat macam orang ; orang tahu dan tahu bahwa dia tahu, bertanyalah kepadanya; Orang yang tahu dan tidak tahu bahwa dia tahu, ingatkanlah dia; Orang yang tidak tahu dan tahu bahwa dia tidak tahu, ajarilah dia; orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu, tinggalkanlah dia ” bisa dikata mencerminkan kegelisan Gus Mus pada realitas sosial.<br /></p><p>Betapa tidak, ditengah tertapaan sosial, politik, dan himpitan ekonomi rakyat indonesia makin tak berdaya. Rakyat mengalami goncangan psikologis, dan penguasa tidak peka pada keadaaan yang sedimikian berat tersebut. Ada banyak kebijakan tidak pro rakyat dan wakil rakyat masih jauh yang diharapan.<br /></p><p>Buku kompensasi, kumpulan tulisan K.H.A. Mustofa Bisri yang lebih popular Gus Mus ini. Menjadi kompensasi tersendiri bagi rakyat Indonesia meskipun, istilah kompensasi menjadi popular bersamaan dengan kebijakan yang tidak popular dengan naik harga BBM, pengertiannya tidak sesempit itu, disamping sebagai obat terapi bagi penguasa yang sering kali kebijakannya terjebak realitas politik.<br /></p><p>Membaca buku ini, bisa diterkah dengan ibrah motto diatas; ada tipe orang yang tahu bahwa dia tahu, bertanyalah. Bisa kita maknai Gus Mus sendiri dalam berdakwah ia sering dimentai pendapatnya tentang perkara sehari-hari baik rakyat, penguasa dan ulama sendiri tapi sang empunya tetap menempatkan diri pada porsi sangat sederhana, dan tidak memanfaatkan kehormatan yang didapatkan untuk mencari keuntungan dibalik kebutuhan orang yang membutuhkan dengan diam seribu bahasa bukan berarti tidak peka melihat realitas atas kedzaliman yang meraja rela.<br /></p><p>Menjadi bukti bahwa Gus Mus patut menjadi rujukan bertanya bisa dilihat pada kumpulan tulisan ini. Ia banyak menyampaikan lewat media, dia tidak segan-segan untuk sekedar mengkritik penguasa yang lalim atau menjadi metra berbagi kesedihan rakyat dengan tulisannya. Hal ini, mungkin dipengaruhi jiwanya yang selalu teduh, luas akan penghayatan ilmu dan jiwa kebudayaannya yang terpatri dalam hati melengkapi kepribadiannya yang santun. <br /></p>Selanjutnya tafsiran, orang tahu dan tidak tahu bahwa dia tahu, bisa berarti pemerintahdan-wakil rakyat kita sudah tahu nasib rakyat yang selalu tertindas dari kebijakn tapi tidak mau tahu, dan ini bisa kita lihat tulisan berjudul kompensasi dan bagaimana geramnya Gus Mus terhadap kebijakan tadi “ pemerintah eksekutif dan legislatif rupanya belajar dari kenaikan BBM sebelumnya yang tidak diikuti oleh program anti kemeskinan yang efektif dan ternyata berdampak sangat luas di masyarakat. Beban rakyat makin terus meningkat karena kenaikan harga pokok. Kaluapun belajar , tapi tidak sampai memikirkan dampak dari kebijakan tadi, baik mental maupun fisik, seperti budaya bergantung dengan menjadikan rakyat malas bekerja dan terjadi kroyokan antar penerima( hal, 36).<br /><p>Orang yang ketiga ini, bisa kita maksudkan pada rakyat indonesia yang memang dia betul tidak tahu tentang apa dan bagaimana menjadi bangsa dan menjadi manusia seutuhnya, tentunya karena dia menyadari bahwa dia tidak tahu, sebagai orang terdidik jangan selalu membodohi tapi sebaliknya bagimana kita memberikan pendidikan, pengertian, dan menyadarkan bahwa dia manusia yang patut menjadi mendapatkan hak-hak sebagimana mestinya. <br /></p><p>Dan yang terakhir ini, menjadi repot jika ada orang tidak dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu, bagaimana bisa ? ya bisalah !. kalau rakyat, penguasa/ pemerintah, ulama pura-pura tidak tahu apa yang akan diperbuat untuk bangsa dan kebaikan bersama, meskipun hanya untuk diri sendiri. Orang yang seperti ini digambarkan oleh Gus Mus dalam tulisan berjudul Fenomena ada orang berkepala dua , tikus berkolusi dengan kucing dan sebagainya, sungguh betul-betul tidak tahu apa yang akan perbuat oleh dirinya sendiri.<br /></p><p>Dari macam-macam orang -orang diatas, tentu kita berpikir akan menjadi orang seperti apa kita ini, termasuk orang tahu dan tahu bahwa kita tahu, atau pilihan yang kedua, orang tahu dan tidak tahu bahwa kita tidak tahu atau lebih tepat pura –pura tidak, kalaupun kita berada termasuk orang yang ketiga juga tidak apa-apa. Karena orang tidak tahu dan tahu bahwa kita tahu, masih ada orang mengingatkan, tapi menjadi orang keempat ini, menjadi sangat naif sudah tidak tahu dan tidak bahwa dia tidak tahu, juga tidak orang mau untuk sekedar mengingatkan kita, karena orang tahu bahwa kita tidak ada gunanya.<br /></p>Disinilah, pentingnya membaca buku ini. Untuk sekedar tahu bagaimana orang macam orang bersentuhan dengan baik, ulama, rakyat, bahkan gaya kepeminpinan penguasa. Dan patut menjadi pelengkap referensi kita dalam menatap masa depan yang lebih baik. Kalaupun ada kekurangan dalam buku ini, pada sumber tulisan yang dimuat atua disampaikan pada kegiatan apa ? tapi tidak mempengaruhi subtansi penyampaikan ide-ide segar pengasuh pondok pesantren Raudhotul Tholibin sekaligus budayawan NU ini. Karana jarang orang seperti Gus Mus ini, yang berani mengungkap isi hati tampa ada yang tersinggung dan menariknya buku ini ditulis dengan khasnya.<br /><p>Dan terakhir, buku ini menjadi kompensasi tersendiri bagi Gus Mus, Rakyat Indonesia dan wakil pemerintah Indonesia. Sekaligus kado bagi bangsa mengalami degradasi di era transisi. </p><p>Waallahu a’lam bis shawab.<br /></p>*)penulis santri Pesantren Luhur Husna dan aktif di Pena PesantrenPena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-13768456739470304402009-06-04T08:14:00.000-07:002009-06-04T08:24:44.842-07:00Korupsi dilingkaran Kekuasaan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgK_paXLj0VWEOeFPf-dwFFSpIn4mWaU3sFpYnoieeEFzJkAbEmdStYnq_pCTvBwavWggE5fTxE5-ZiKblAReeAi-96adoCG5ZuP5PycK_hD242KWWEqHsHrqFEjlel-YJDVGJlT8qYHTow/s1600-h/buku+korupsi.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 134px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgK_paXLj0VWEOeFPf-dwFFSpIn4mWaU3sFpYnoieeEFzJkAbEmdStYnq_pCTvBwavWggE5fTxE5-ZiKblAReeAi-96adoCG5ZuP5PycK_hD242KWWEqHsHrqFEjlel-YJDVGJlT8qYHTow/s200/buku+korupsi.JPG" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5343493550172117218" /></a><br />Judul Buku : Kekuasaan Dan Perilaku Korupsi<br />Penulis : Saldi Isra<br />Pengantar : Mochtar Pabottinggi<br />Penerbit : KOMPAS<br />Cetakan : I, Januari 2009<br />Tebal : xIii +210 hal<br />Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*<br /><p>Buku Saldi Isra berjudul kekuasaan dan perilaku korupsi merupakan kumpulan tulisan tentang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur pemerintah. Kegelisahan dosen Hukum Tata Negara andalas cukup beralasan atas perilaku tangan-tangan jahil. Seperti dalam pengantar buku ini, Mochtar Pabottinggi mengatakan ada kesalahpahaman dalam memaknai korupsi, sehingga antara pelaku dan masyarakat merasa perilaku tersebut adalah hal yang biasa dan dapat dimafhumi dalam kekuasaan dengan kata lain korupsi sebagai budaya dan terbudayakan.<br /></p><p>Memerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, dari sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan. Mati satu tumbuh seribu, kata pepatah.<br /></p><p>Salah satu kekeliruan upaya pemberantasan korupsi selama ini adalah terlalu fokus pada upaya menindak para koruptor. Sedikit sekali perhatian pada upaya pencegahan korupsi. Salah satunya lewat upaya pendidikan antikorupsi. Terakhir, era reformasi melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selain diserahi tugas penindakan, juga tugas pencegahan tindak pidana korupsi.<br /></p><strong>Pendidikan anti korupsi sebagai Jawaban</strong><br /><p>Tidak ketinggalan banyak pada peranan birokrasi pendidikan pun. Bukan rahasia lagi, jika praktek korupsi di sekolah juga memiliki korelasi dengan lembaga di atasnya, seperti dinas pendidikan. Mereka menikmati keuntungan melalui setoran-setoran atau jasa tanda terima kasih, malah tidak sedikit yang aktif menjadi bagian dari rantai korupsi di sekolah. Dengan demikian, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum kurikulum antikorupsi diterapkan. Mulai mereformasi institusi pendidikan, sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan kekuasaan antara kepala sekolah, guru, dan orang tua murid. Selain itu, terus mendorong upaya peningkatan kesejahteraan guru atau dosen. <br /></p><p>Tentu saja, akan ada perlawanan dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan dari praktek korupsi di institusi pendidikan. Tapi tidak ada pilihan lain, institusi pendidikan sebagai benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi sudah menjadi tempat mempromosikan korupsi, karena itu harus direbut. Kalau itu semua sudah dilakukan, tanpa menggunakan kurikulum antikorupsi pun dengan sendirinya sekolah akan menjadi tempat mempromosikan nilai-nilai antikorupsi, karena memang itu khitahnya.<br /></p>Ide memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum mendapat respons positif masyarakat. Hasil jajak pendapat harian Seputar Indonesia terhadap 400 responden (27/5), sebanyak 87% menyatakan perlunya memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum. Keyakinan masyarakat juga relatif besar. Hampir 200 responden menyatakan keyakinannya bahwa pendidikan antikorupsi bisa berjalan efektif membendung perilaku korupsi di Indonesia<br /><p>Pokok Bahasan dalam Mata Ajaran. Pertanyaan muncul, haruskah pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran tersendiri? Mestinya tidak, sebab hal ini malah akan menyusahkan anak didik. Saat ini peserta didik sudah demikian sesak dengan melimpahnya mata pelajaran yang harus dipelajari dan diujikan. Dikhawatirkan anak didik akan terjebak dalam kewajiban mempelajari materi kurikulum antikorupsi. Bisa jadi yang akan muncul adalah kebencian dan antipati pada mata pelajaran antikorupsi. Bukannya pemahaman dan kesadaran antikorupsi.</p><p>Pendidikan Nilai, Pendidikan antikorupsi bagi siswa SD, SMP, dan SMU akhirnya memang mengarah pada pendidikan nilai. Pendidikan antikorupsi yang mendukung nilai-nilai kebaikan. Pendidikan yang mendukung orientasi nilai, mengutip Franz Magnis Suseno, adalah pendidikan yang membuat orang merasa malu apabila tergoda untuk melakukan korupsi, dan marah bila ia menyaksikannya.<br /></p><p>Menurut Franz Magnis Suseno, ada tiga sikap moral fundamental yang akan membikin orang menjadi kebal terhadap godaan korupsi: kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab. Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi. Menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Seseorang perlu berperilaku jujur bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk.<br /></p><p>Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Magnis mengatakan, bersikap baik tetapi melanggar keadilan, tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju kebaikan. Tanggung jawab berarti teguh hingga terlaksananya tugas. Tekun melaksanakan kewajiban sampai tuntas. Misalnya, seoarang diberi tanggung jawab mengelola dana kegiatan olahraga di tempatnya tinggal. Rasa tanggung jawab seseorang terlihat ketika dana dipakai seoptimal mungkin menyukseskan kegiatan olahraga. Menurut Magnis, pengembangan rasa tanggung jawab adalah bagian terpenting dalam pendidikan masyarakat menuju kedewasaan. Menjadi orang yang bermutu sebagai manusia.<br /></p>Nah, buku Saldi Isra ini, mampu menguraikan dengan bahasa sederhana dan gamblang, perihal korupsi yang begitu rumit, mengurita, dan melibatkan segala kekuasaan. Argumen cerdas didukung data kuat.. sehingga buku setebal 209 halaman ini patut dibaca oleh segala kalangan yang peduli akan pemberantasan korupsi dan membangun nalar anti korupsi.<br /><p>*) Alumni Pondok Nasy Atul Muta’allimin Sumenep, dan pengelola pondok Budaya ikon Surabaya. <br /></p>Pena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-28378238504283008072009-05-28T06:00:00.000-07:002009-05-28T06:14:21.561-07:00Dialektika Perubahan di Era Transisi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVQmklomsRuJANxp1V6GAQSx8ym35eUs5DsGbb9J_kUoQ_ShaIlZTBPigrkERMNwFiNn9W-yXOfq8SnbWSHC9eknG8zZ05PPbbpFn3mNNdE_XmulxF8HheTfsSNShFbO8DutdNImmeU5q3/s1600-h/Transisi.JPG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 134px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVQmklomsRuJANxp1V6GAQSx8ym35eUs5DsGbb9J_kUoQ_ShaIlZTBPigrkERMNwFiNn9W-yXOfq8SnbWSHC9eknG8zZ05PPbbpFn3mNNdE_XmulxF8HheTfsSNShFbO8DutdNImmeU5q3/s200/Transisi.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5340862298628873138" border="0" /></a><br /><b><span style="" lang="SV">Judul Buku <span style=""> </span>: TRANSISI PEMBARUAN</span></b><b><span style="" lang="SV"><br />Dialektika Islam, Politik dan Pendidikan </span></b><b><span dir="rtl" style="" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b><b><span style="" lang="SV"><br />Penulis <span style=""> </span>: Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si.</span></b><b><span style="" lang="SV"><br />Pengantar<span style=""> </span>: Prof. Dr. HM.Ridlwan Nasir, MA.<o:p></o:p></span></b><b><span style="" lang="SV"><br />Penerbit <span style=""> </span>: LEPKISS</span><span dir="rtl" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b><b><span style="" lang="SV"><br />Cetakan <span style=""> </span>: I, 2008</span><span dir="rtl" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b><b><span style="" lang="PT-BR"><br />Tebal <span style=""> </span>: 284 hal<o:p></o:p></span></b><b><span style="" lang="PT-BR"><br />Peresensi <span style=""> </span>: Ahmad Shiddiq Rokib*<o:p></o:p></span></b> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="PT-BR">“ yang senantiasa berubah adalah perubahan Itu sendiri ”( Cicero). kalimat ini, bukan kalimat tak bermakna dan bebas nilai, aneh, <span style=""> </span>apalagi ditakuti sebagai ancaman yang menghantui pikiran dan pijakan kita untuk melangkah menatap masa depan yang lebih baik. Tak terkecuali pada masa transisi yang menderah bangsa Indonseia. Tentunya ada banyak perubahan mendasar dalam tatanan kehidupan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="PT-BR"><span style=""> </span>Perubahan politik, pendidikan dan religiositas menarik untuk ditelisik. Didalam politik perubahan politik ternyata mengandung paradoks. Disatu sisi ada keteraturan sosial yang dibangun, sisi lain menhadirkan konflik sosial yanga tidak dapat ditolak. Tapi satu hal yang pasti bahwa semua tindakan politik yang dilakukan para elit poltik memilki tujuan yang sama yaitu ingin menciptakan perpolitikan Indonesia yang demokratis. Hanya saja kapan hal tersebut akan dicapai rasanya masih jauh. Dan yang menjadi perhatian dan menyesakkan bahwa kehidupan keragaman yang diwarnai dengan meningkatnya kekerasan. Ada banyak kasus kekerasan mengatas namakan agama, dan turut memancing konflik sosial yang tidak diharapkan. Sedangkan pada dunia pendidikan juga sangat menyedihkan, selain jauh dari perubahan dan cendrung sangat lambat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="PT-BR"><span style=""> </span>Buku Nur Syam berjudul “ Transisi Pembaruan, Dialektiaka Islam, Politik, dan pendidikan. Merupakan kumpulan tulisan refleksi seorang Profesor Sosiolog Islam yang berserakan di Media Massa tentang Gerakan Ke-Islam-an kontemporer, Perilaku (Oknom) Politik dan carut marutnya dunia Pendidikan Indonesia, yang dinilai <i>Laa yamuutu walaa yahya </i>( tidak bermutu dan tak berdaya ). Hal berupakan menjadi luar biasa karena di saat kesibukan menjadi birokrat Perguruan Tnggi menyempatkan diri menyumbang dan menyalurkan ide-ide segar.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="PT-BR"><span style=""> </span>Dalam sub tulisan “Dialektika Politik, Organisasi Keagamaan dan Tradisi keindononesian”, menbaca dinamika Keagamaan<span style=""> </span>dalam Politik, <span style=""> </span>misalnya bagaimana hubungan antara tarekat<span style=""> </span>dan penguasa, dengan memperlihatkan bahwa adanya dinamika relasi integrati-disintegratif dan juga bagaimana geliat politik kiai dan Ulama yang kian memuncak, kemudian refleksi ulang terhadap peran rakyat sebagai ujung tanduk demokrasi,<span style=""> </span>dan pandangan Nur Syam, tentang Politik yang pernah dilahirkan Jam’iyah Nahdltul Ulama.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="PT-BR"><span style=""> </span>Masyarakat memang belum bisa sepenuhnya mengelola kebebasan sosial politik.<span style=""> </span>Hal ini, bisa dibuktikan dengan masih ruwetnya persoalan politik dan masih menjadi pekerjaan rumah tentang kesenjangan sosial, rendahnya daya serap pekerjaan, in come perkapita dan kemiskinan hingga konflik sosial dimana-mana.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="PT-BR">Sedangkan, problem pendidikan begitu kompleks. Ketika awal reformasi, para pakar pendidikan langsung menyatakan terletak pada sentralisasi seluruh aspek kehidupan. Penyeragaman pendidikan dianggap sebagai ujung tumbak kerusakan pendidikan. Sistem sentralistik tersebut berdasar atas prinsip semua diatur dari pusat dan cendrung tidak memberikan ruang dinamis bagi lokalis.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="PT-BR"><span style=""> </span>Kemudian, ada perubahan paradigma dari pola sentralisasi ke desentralisasi yang banyak mengubah mindset perancang dan pelaksana pendidikan dalam berbagai aspek. Dalam UU sistem pendidikan nasional, No. 20 tahun 2003. misalnya, semangat desentralisasi pendidikan untuk mempercepat kemajuan. Isinya pun tentang pendidikan berbasis rakyat, artinya dari rakyat untuk rakyat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="PT-BR"><span style=""> </span>Dan yang menambah ruwet problem bangsa adalah kehidupan keragaman yang semakin keras. Sering, satu sama lain menjadi hakim kebenaran atas yang berbeda. Ada yang merasa agamanya yang paling<span style=""> </span>berhak hidup sedang lainnya dinihilkan. Kemudian ada yang merasa berhak menafsirkan doktrin keagamaannya. Tarik menarik atas tafsir tadi memicu konflik keagamaan. Ada beragama dengan posisi sangat kanan dan ada beragama pada posisi kiri. Ada yang sangat fundamental dan yang liberal. gesekan demi gesekan ini, tidak dapat didinginkan dengan cara keagamaan lebih mengedepankan rahmatan lil alamin dan bahkan diperbutkan terus menerus.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="PT-BR"><span style=""> </span>Sebagai tawaran atas problem, dalam menjalani kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, keagamaan, maupun pendidikan agar tetap eksis dan berjalan lancar diperlukan sebuah perjuangan dalam segala hal. Dengan mengedepankan etika perjuangan dijalan masing-masing, utamanya menghadapi transisisi perubahan disektor manapun yang berdampak langsung pada<span style=""> </span>kehidupan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="PT-BR"><span style=""> </span>Buku setebal 284 halaman ini, sarat akan pandangan cerdas dan sangat luas dalam mencermati perubahan yang terjadi, patut diajungi jempol sekaligus apresiasi besar tertujuh padanya. Hingga tidak salah, jika menjadi bahan referensi baik kalangan akademisi, poltitisi, mahasiswa dan pengamat perkembangan ke-Indonesian masa kini. Kalaupun ada beberapa kekurangan pada buku ini, tidak begitu berpengaruh pada subtansi pembahasan. Dengan ini, membuktikan bahwa profesor lulusan Universitas Airlangga ini mampu mendialektikakan perubahan dan pandangannya dengan menjangkau warna-warni yang tak tersentuh dalam aspek kehidupan dengan bekal ilmu sosiologi-religinya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="PT-BR"><span style=""> </span>Dan akhirnya, kalimat “yang senantiasa berubah adalah perubahan Itu sendiri” yang diucapkan Cicero, harus tetap mendapat perhatian dalam menangkap perubahan yang terus-menerus karena kita ada dalam kehidupan dan kehidupan adalah dinamis. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="PT-BR"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="PT-BR">*) Penulis Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabya dan Aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="PT-BR"><br /><o:p></o:p></span></p>Pena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-3278623580745038832009-05-28T05:48:00.001-07:002009-05-28T06:00:24.603-07:00Misi Profetik Nabi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRWDKECaj9BwYR1NVVuf3Gi5voZ2ooN88IAZH4Qw3m8FiN2RF6h1hs3RTd71DYhn75qCiYgILvz7YLMfcmaJ70AkypmLqhU8iKBSuCseV7HL9sU6WlORBvqDezn6xm53h_gnea1FKiD_kJ/s1600-h/Profetik.JPG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 150px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRWDKECaj9BwYR1NVVuf3Gi5voZ2ooN88IAZH4Qw3m8FiN2RF6h1hs3RTd71DYhn75qCiYgILvz7YLMfcmaJ70AkypmLqhU8iKBSuCseV7HL9sU6WlORBvqDezn6xm53h_gnea1FKiD_kJ/s200/Profetik.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5340858077764279954" border="0" /></a><br /><br />Judul Buku :ISLAM PROFETIK,<br />Substansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik<br />Penulis : Masdar Helmy<br />Penerbit : IMPULSE Jogjakarta<br />Cetakan : I, 2008<br />Tebal : 271 hal<br />Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*<br /><br />Kredibilitas agama-agama sedang dipertaruhkan. Agama tiba-tiba menjadi tidak popular dalam melahirkan resolusi konflik harisontal yang justru ditimbulkan akibat gesekan antaragama. Tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang makin menunjukkan gejala tidak sehat seolah tidak mampu diredam agama.<br /><br />Dan tampaknya penampilan agama dalam wilayah publik sedang mengalami episode antiklimaks atau titik nadir ditengah disfungsionalnya peran agama dalam proses penyelesaiannya berbagai persoalan kemanusian. ia sudah menjadi ironi agama yang yang diturunkan untuk menciptakan ketertiban dalam kehidupan umat manusia justru menjadi triggering factor bagi lahirnya itu sendiri.<br /><br />Setidaknya problem keagamaan diatas mencerminkan kerisauan penulis dalam buku berjudul “Islam Profetik, Subtansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik. atas fenomena keagamaan masyarakat akhir-akhir ini, agama yang lahir tanpa celah dan mengimban amanat suci, menyebarkan kebaikan dan membangun solidaritas-pruralisme antar beragama menjadi moester-moester menakutkan dengan sejumlah simbol-simbol.<br /><br />Kemudian atas problem keagamaan tadi, staf pengajar pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya ini, mempertanyakan buruknya sistem penataan agama dalam ruang publik, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apakah amburadulnya penataan ruang publik itu merupakan buah kesengajaan (be desaign) atau justru keteledoran (by accident)? Jika jawabannya adalah yang pertama, maka tidak salah jika kita berasumsi, fundamental ruang publik yang rapuh merupakan resultant dari upaya penggadain ruang publik yang sengaja diciptakan untuk tujuan-tujuan jangka pendek.<br /><br />Sementara itu, jawaban kedua mengandainkan rapuhnya fundamental ruang publik sebagai wujud kesembronoan, akibat dikeimbangkannya pengembangan platfom pruralisme dan multikulturalisme yang genuine sebagai perekat seluruh elemen bangsa. Hipotisis ini mensyaratkan kesungguhan dan kerja keras seluruh elemen bangsa, utamanya pemerintah terpilih, untuk membangun sebuah cetak biru ruang publik yang fair, adil, dan tidak menindas satu sama lain.<br /><br />Dan diantara permasalahan agama kontemporer jauhnya semangat kenabian dalam sejumlah kehidupan yakni; kekersan, terorisme, kriminalitas, kemiskinan, kebodohan, pembohan, ketidakadilan, ketertindasan dan lain-lain. Bahkan dari saking pesimisnya terhadap tanggung jawab agama menjawab persoalan yang menggorita diatas, alumni Universitas Melbourne Australia ini, mengibaratkan “mimpi disiang bolong” ketika persoalan agama sendiri belum terpecahkan. Dengan analogi, bagaiman bisa mampu memjawab persoalan umatnya kalau agama sendiri belum mampu membebaskan diri dari kungkungan test yang diciptakan umatnya.<br /><br />Karena itu, kesadaran profetik meniscayakan dua hal; membebaskan agama lebih dahulu, lalu mengonstruksi agama, berupa cara pembacaan terhadap agama yang sempit, dalam banyak hal justru lebih berbahaya ketimbang musuh dari luar dirinya., disinilah letak pentingnya pembacaan agama yang profetik guna menghadapi berbagai persoalan kontemporer yang makin rumit.<br /><br />Kesadaran profetik apa sebenarnya yang menjadi tawaran intelektual Muda Nahdlatul Ulama ini, dalam tulisan berjudul “Menuju Pembacaan Agama yang Profetik” ia mengajak segenap insan untuk meresapi penting dan membumikan misi profetk nabi. Karena misi profetik nabi yang paling utama adalah misi pembebasan, yakni membebaskan umat manusia dari segala belenggu dan ketertindasan.<br /><br />Dari pandangan yang demikian, bisa kita pahami bawa nabi adalah seorang pembebas bagi umatnya. Dalam perspektif universalitas nilai-nilai kemanusiaan, pembacaan profetik terhadap agama akhirnya tidak bisa dihindarkan dari proses bersama pencarian kebenaran seluruh umat manusia melalui agama masing-masing. Agama yang profetik bukan agama yang memaksakan umatnya memasuki pintu tunggal menuju surga, sebab tuhan telah membebaskan umatnya melakukan pembacaan terhadap agamanya sesuai kapasitas yang dimiliki.<br /><br />Kehadiran buku setebal 271 ini memberikan Pembacaan atas sejumlah test suci agama yang ramah lingkungan dalam ruang publik dengan meresapi nilai-nilai profetik dan seperti diakuai penulis bahwa buku ini adalah kumpulan tulisan artikel yang berserakan dimedia massa nasional dan jurnal, sehingga memungkinkan tulisan lepas tersebut kurang memiliki koherensi yang tinggi, tidak memiliki mata rantai. Karena diakibatkan respon penulis atas sejumlah fenomena sosial-keagamaan yang hadir saat-saat tertentu. Tapi terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam buku ini, masih patut diapresiasi dan layak menjadi referensi yang harus diakui keakuratan dengan validitas datanya.<br /><br />Akhirnya, membaca buku ini, layaknya membaca realitas sosial keagamaan yang menjadi kegelisahan tiap insan dalam menatap wajah agama-agama yang tidak ramah dalam ruang publik dan subtansiasi nilai-niulai agama dala ruang publik jauh dari harapan. Semoga kita masih rindu nilai-nilai dan semangat Misi Profetik Nabi.<br /><br /><br /><br /><br /><br />•) pengurus Forum Study Ilmu Sosial dan keagamaan (Fosiska) IAIN Sunan Ampel Surabaya.Pena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-70465411204598702832009-05-15T10:49:00.000-07:002009-05-15T10:58:16.889-07:00Selendang Cinta dari Sang Nabis1600-h/nuku+burdah.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 138px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhalNiNGnh8st7-icx6MekUZ_AjNB5MJwmIfAvYk0n4KUigljGSRWAOau77k20EoeEi4XvrbGXQYqprWWX3X7lp9WiXS63EjZTi4GfWmLJ8oBTNOb2-6UOTIN-xVgVteDMYfcna7k-HIgZn/s200/nuku+burdah.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5336110329141814994" /><br /><br />Judul Buku : Burdah Imam al-Bushiri : <br /> Kasidah Cinta dari tepi Nil untuk Sang Nabi<br />Penulis : Masykuri Abdurrahman<br />Penerbit : Pustaka Sidogiri<br />Distributor : Khalista<br />Cetakan : I, Maret 2009<br />Tebal : 121 hlm.<br />Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*<br /><br />“Aku tidur dan bermimpi didatangi Rasululah SAW. Beliau mengusap bagian tubuhku yang lumpuh dengan tangannya yang mulia. Lalu beliau memberikan sehelai burdah (Selendang) kepadaku”.<br /> <br />Potongan cerita diatas adalah jalan panjang seorang penyair dalam menyelesaikan syair-syair sanjungan untuk sang nabi yang kemudian sangat terkenal didunia Islam dengan Sebutan “Burdah”. Burdah merupakan karya al-Buzairy yang sangat fenomenal ketimbang karyanya yang lain, kemashurannya memang telah muncul sejak awal bukan hanya karena faktor keindahan bahasa atau kualitas penulisnya, namun ada faktor keajaiban supranatural didalamnya.<br /><br />Tak heran, sebab susunan bahasanya indah lagi mudah dilagukan. Burdah memang satu-satunya bentuk puisi dalam khazanah kesustraan arab yang paling kuat bertahan. karena, mudah dihafal, berbobot, karya estitik, romantik, dan memang telah banyak orang yang menghafalnya di luar kepala. Makanya sebagian sastrawan arab pun ada yang mencoba untuk menirukan. Dan para kritikus sastra arab pun mengakui keindahan burdah yang semula memandang remeh berbalik arah mengaguminya. Menurut de Sacy, seorang pengamat satra arab bahwa diera kontemporer saat ini, Burdah tidak tertandingi.<br /><br />Buku ini merupakan ulasan atas burdah sendiri yang diperuntukan bagi kaum muslim agar lebih paham maksud dan isi burdah itu sendiri. Burdah terdiri dari 160 bait, berisi padat anasir nasehat beserta peringatan, baik soal angkara nafsu, pujian kepada nabi, keagungan al-qur’an, peristiwa isra’ mi’raj, jihad prajurit Nabi Muhammad SAW. Munajat-Munajat, serta shalawat pada Nabi, Shahabat, dan keluarganya. Bahwa hakikat cinta pada Nabi SAW. Bukanlah menganggap beliau sebagai tuhan melainkan menyanjung Rasullah adalah sebagai manusia pilihan yang diutus sebagai utusan tuhan.<br /><br />Seperti sebuah magnet, burdah mampu menyihir pendengar dengan khikmat bila dilantunkan pada perhelatan, baik dibaca sendiri secara solo maupun koor. Semangat pendengar makin terpompa, harapan sudah di depan dan spirit kecintaan pada kekasih Allah SWT. Untuk mencintai kekasih, al-qur’an mengajarkan dan menganjurkan kepada umat islam, sebagaimana yang tertera dalam kitabullah yang artinya “sesungguhnya Allah dan para Malaikat ber-salat atas nabi, hai orang-orang yang beriman salat-lah atas dan berilah salam dengan sehormat-hormatnya salam” (QS al-Ahzab 33:56).<br /><br />Namun, seiring fenomenalnya Burdah bukan tanpa hambatan dan tantangan dalam menyampaikan risalah lewat syair-syair yang ditujukan pada sang baginda Rasulillah Muhammad SAW. Baik penulis Burdah ataupun Pengagumnya kaum Muslimin. Ada banyak hal, rintangan yang membuat Burdah harus dijauhi dan dibuang jauh dari dunia muslim. Pertama al-Bushiry dianggap penyair kontroversial karena kecendungannya mengejek orang lain menggunakan sajak-sajaknya dan hanya mencari keuntungan dari kepandaiannya dalam bersyair, mengubah sanjungan untuk penguasa Mamluk yang menguasai Mesir pada saat itu. Al-busyiri tidak memperhatikan apakah penguasa itu baik atau tidak.<br /> <br />Kedua datangnya kritikan dari pengikut Ibnu Taimiyah dan diteruskan oleh kaum Wahabi. Mereka menganggap Burdah termasuk bagian dari Ghuhuwwul mutashawwifah fi madhin Nabi, kelompok sufi yang keterlaluan ekstrem menyanjung Rasullah. Bahkan, sebagian mereka menganggap Burdah menampilkan kesyirikan karena dianggap memanjat doa kepada nabi Muhammad SAW. Dan ketiga merupakan pengalaman al-bushiry dalam proses penyelesaian sajak-sajak buat baginda nabi, beliau menagalami kelumpuhan yanga sangat parah sehiungga tidak bisa melanjutkan karangan syair-syair hingga ia bermimpi bertemu nabi dan nabipun mengusapnya disertai memberi selendang ( Burdah ), hingga ia bangun dan sembuh.<br /><br />Terlepas, pro-kontranya atau bagiamana berliku proses dan perjalannan Burdah tetaplah sebuah mahakarya yang diakui kalangan luas dan dibaca ribuan umat islam untuk mengenang sang pelita hati. Selanjutnya, meskipun menurut Dr.Ali Najib Athawi bahwa secara kesustereaan beberapa sajak al-Bushiri lebih indah dan cerdas dibanding sajak Burdahnya Kaab bin Zubair dan namapun diambil dari sajak nya (tabarrukan). Tetaplah sajak-sajak Kaab bin Zubair lebih agung kedudukan dari pada al-Bushiry karena memiliki keistimewaan dibaca dihadapan Rasullah dan Rasullah langsung memberikan cindera mata berupa selendang kepada Kaab di Dunia nyata.<br /><br />Terakhir, buku karangan Masykury Abdurrahman ini patut mendapat tempat dihati kaum muslim tidak hanya menjadi pelengkap dari Burdah al-Bushiry dan Burdah Kaab bin Zubair tapi memjadi referensi untuk menambah penghayatan kita atas perjuangan rasul, dan menambah spirit kita demi tegaknya Izzul Islam wal Muslimin.<br /><br /><br />Penulis Alumni Pondok Pesantren Nasy’Atul Muta Allimin Gapura -Sumenep dan Aktif di PENA PESANTREN Surabaya.Pena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-32325997624272932872009-05-15T10:41:00.000-07:002009-05-15T10:45:50.508-07:00Amplop Kletek Gus Mus<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHrqxjfkESIz5D0Bnx4zgRXt3Ar1ftzUDtl3SL76JvAURZ75u6iBoBcmiN1ILPxFzmgBIGu1hyphenhyphenn-_9D_GiMcpFxawJuGfcbRXDQKEWhlK2wYTYsuECWh4eWV6A3BzIXo_OzW-P3qzRbM_p/s1600-h/Gus+Mus+Percik.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 191px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHrqxjfkESIz5D0Bnx4zgRXt3Ar1ftzUDtl3SL76JvAURZ75u6iBoBcmiN1ILPxFzmgBIGu1hyphenhyphenn-_9D_GiMcpFxawJuGfcbRXDQKEWhlK2wYTYsuECWh4eWV6A3BzIXo_OzW-P3qzRbM_p/s200/Gus+Mus+Percik.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5336107928872014306" /></a><br /><br />Judul Buku :Percik, Coretan & Siratan<br />Penulis :A.MUSTOFA BISRI<br />Penerbit :Mata Air Publishing <br />Cetakan :I, Maret 2009<br />Tebal :73 hlm<br />Peresensi :Ahmad Shiddiq Rokib*<br /><br /><br /><br />Sosok Gus Mus di dunia sastra bukanlah hal baru, aneh dan menakut, meskipun menyandang gelar “ulama”. Memang sastra dan seni merupakan hal universal yang tak terbelenggu oleh sekat-sekat, antara satu manusia ke manusia lain. Dengan demikian, semakin jelas bahwa Gus Mus adalah sosok manusia yang mampu melintasi ruang keulamaannya tanpa harus kehilangan roh dan identitasnya. karya-karyanya berberserakan dalam bentuk buku dan tersebar di berbagai media nasional dan lokal.<br /><br />Buku berjudul “Percik, coretan & Siratan” ini merupakan kumpulan lukisan Gus Mus yang dilukis pada amplop yang Akan dikirim pada temannya. Seperti yang diceritakan Gus Mus saat dia sedang akan mengamati surat yang hendak dikirim, amplop yang ada didepan mejanya. Tiba-tiba beliau teringat pada pipa rokoknya yang belum dan saatnya untuk di bersihkan, saat dibuka kletek, residu rokok, dalam pipanya menetes ke amplop. sambil membersihkan pipa tadi, beliau memandangi amplop yang putih. Alangkah terkejutnya, ketika melihat keindahan yang belum ia lihat pada lukisan-lukisan warnanya berkarakter dan sulit dicari padanannya.<br /><br />Saat itulah, Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin ini, makin tidak sabar kalau melihat amplop di depannya dan mulailah corat- coret dengan kleteknya. Ternyata kiriman surat dari berbagai koleganya bermunculan dan mengatakan bahwa ia senang atas gambar kleteknya. Sebagai penyair sekaligus pelukis Gus Mus adalah seorang yang secara total menghayutkan dirinya dalam telaga kehidupan. Dengan berbekal kejujuran nuraninya, ia selalu menghayati dan memberi kesaksian hidup, baik hidup jiwa personal maupun komunalnya.<br /><br />Penyair atau pelukis seperti dirinya adalah orang berkesadaran bahwa anugerah dan hikmah kehidupan bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain juga. Kesadaran personalnya juga berangkat dari penghayatan sosial karena seorang penyair dan pelukis selalu melakukan apa yang disebut transpersonalisasi atau transubjektivitas kehidupan. Nah, ini yang terlihat dari lukisan dan puisi penjelas lukisannya “Keindahan ada/ dimana-mana/ asal/ kau tahu tempatnya” dan “ketika engkau/ tak menyadari/ keindahanmu/ tiba-tiba engkau semakin indah”.<br /><br />Sebagai hasil kebudayaan, lukisan memang selalu berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan serta perkembangan masyarakat yang menghasilkan kebudayaan itu.<br /><br />Kerananya, setiap batasan yang ada seharusnya selalu diperhitungkan sifat relatifnya, dan konteks manakah yang dijadikan pijakan batasan itu. Yang jelas, apapun corak dan ragamnya meniscayakan yang hakiki dan universal. <br /><br />Buku hasil lukisan Gus Mus ini, seperti diakui, Prof. Edy Sedyawati, meskipun antara amplop dan residu rokok adalah dua media yang tidak ada relevansisinya baik dalam segi fungsi ataupun penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun pandangan Gus Mus dua media ini dapat menciptakan dan mampu melahirkan suatu gagasan untuk di ekspresikan serta dikreasikan menghasilkan karya seni lukis yang unik. <br /><br />Seperti puisi pinggiran lukisannya .“ seandainya aku sengaja/ melukis gejolak hatiku /tentu aku kesulitan memilih warna /dan/ terutama menyusun komposisinya”<br />Perbedaaan yang ada diantara dua media tersebut terletak pada titik berat keterkaitan objek, atau “Dunia lukis” yang ditampilkan dengan media, yakni keterkaitan antara pelukis, denga objek itu sendiri, dengan realitas, dan dengan audiensi. Dalam kaitan ini, apa pun yang menjadi titik berat keterkaitannya, tetap terdapat satu hal yang mengikat, yakni bahasa lukisan dan maknanya. Pemanfaatan media ataupun realitas dalam lukisan memang berbeda dengan pemakaian pada umumnya. Hal ini secara intingtif disadari oleh kebanyakan penikmat lukisan, bahkan penikmat tak terpelajar sekalipun.<br /><br />Dalam sejumlah hal, media lukisan memang menggunakan berbeda dengan sarana sehari-hari atau yang sering kita jumpai, terutama dalam hal strukturnya. Sarana lukisan seolah-olah memiliki/menjadi semacam perangkat khusus. Meskipun terjadi penyimpangan secara normatif, ini di mungkinkan demi pencapaian tujuan estetis. Karya estetis yang memanfaatkan media secara khas, hal ini sejalan dengan pandangan yang menyatakan bahwa jika suatu realitas yang memanfaatkan media lukisan yang bersifat “luar biasa”, maka akan menghasikan yang luar biasa juga.<br /><br />Al-hasil lukisan Gus Mus inilah yang memang luar biasa, hingga ada seorang kawan pelukis dan pematung yang tertarik pada amplop kleteknya dan mengusulkan untuk dipamerkan, meskipun Gus Mus Sendiri belum yakin amplop-amplop buatannya untuk dipamerkan. Hingga pada suatu saat dari” Rumah Dongeng Indonesia” datang bermaksud untuk memamerkan, kemudian dilaksanakan pada tanggal 20-23 Desember 1997 di Gedung Seni Rupa DEPDIKBUD Jakarta dengan tema “99 Lukisan a. Mustafa bisri”<br /> Demi tercapainya penghatan komunal tadi, buku ini hadir dan merupakan coretan kegelisan Gus Mus atas karya yang luar biasa. Dengan menyajikan lukisan hasil perpaduan antara residu rokok dan amplop yang telah dikirimkan pada kolega lengkap puisi penjelas dengan media atau sarana sepele ini menjadi sesuatu yang tidak bisa disepelekan begitu saja, karya ini patut dibaca dan dinikmati estika lukisan yang secara normatif berbeda dengan lukisan lain. Akhirnya, fungsi lukisan Gus Mus bukan semacam karya yang lain, dimana karya mereka mengambil tempat di dunia seni rupa. Tapi karya-karya Gus Mus ini mengmabil tempat dihati kita, lebih condong kepada “cara-cara itikaf yang memadai” dalam menagurngi lautan kehidupan yang makin hari makin ganas.<br /><br />*)Penulis Pengelola Pondok Budaya Ikon SurabayaPena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-45864292410110889772009-04-29T20:16:00.000-07:002009-05-10T13:03:34.066-07:00Teka-teki Keindahan Sastra Al-Qur’an<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWh-rlu6MHoGyPaEDZ9fAxWmFQ3yvw2vVDSWMmZaK-1ePagPWqfbqONQfbsSRt3DDqEJSxa14UyEVWb1sGl87Pzg-tkLLoKGTqUidzEu9SECgPnH_USCDhhgNdk2h4EJsS4aeGkSo06ZzZ/s1600-h/QUR'AN1.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 138px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWh-rlu6MHoGyPaEDZ9fAxWmFQ3yvw2vVDSWMmZaK-1ePagPWqfbqONQfbsSRt3DDqEJSxa14UyEVWb1sGl87Pzg-tkLLoKGTqUidzEu9SECgPnH_USCDhhgNdk2h4EJsS4aeGkSo06ZzZ/s200/QUR'AN1.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5330319009031778226" border="0" /></a><br /><span style="font-weight: bold;">Judul Buku</span><b><span style="" lang="SV">:STILISTIKA Al-QUR’AN</span></b> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1in; text-align: justify;"><b><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>Makna dibalik kisah Ibrahim</span></b><b><span dir="rtl" style="" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="SV">Penulis <span style=""> </span>: Dr. Syihabuddin Qalyubi</span></b><b><span dir="rtl" style="" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="SV">Penerbit <span style=""> </span>: LKIS Yogyakarta <o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="SV">Cetakan <span style=""> </span>: I, Januari 2009</span><span dir="rtl" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="PT-BR">Tebal <span style=""> </span>: xii+258 hlm.<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="PT-BR">Peresensi <span style=""> </span>: Ahmad Shiddiq Rokib*<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="PT-BR">Banyak Orang yang tertarik pada Al-Qur’an, Namun<span style=""> </span>tanpa dapat Menjelaskan mengapa mereka kagum dan tertarik. Pesona Qur’an sebenarya bukan karena faktor dogma teologis yang mengharuskan orang beriaman untuk mengagungkan dan mengimaninya, melainkan ada faktor <i>inheren </i>dalam teks Al-Qur’an<span style=""> </span>itu sendiri.<span style=""> </span>Teks Al-Qur’an memang mengandung sesuatu yang dapat memikat pembaca atau pendengarnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="PT-BR">Buku karangan Dr. Syahabuddin Qulyubi ini mengkaji teori stilistika dan bagaimana menerapkan dalam kisah yang termuat dalam Al-Qur’an. Meskipun didalamnya<span style=""> </span>terdapat banyak sekali kisah,<span style=""> </span>namun pembahasan yang dipilih oleh Doktor lulusan Universitas Sunan Kalijaga adalah seputar kisah Nabi Ibrahim, seperti yang diakui penulis bahwa daya tarik penelitian kisah nabi Ibrahim terletak pada tersebarnya ayat yang menjelaskan tentang nabi Ibrahim dihampir surat Al-Qur’an, berbeda dengan kisah nabi Yusuf<span style=""> </span>yang hanya terdapat pada satu surat saja.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="PT-BR">Buku ini sebuah penelitian hasil disertasi yang<span style=""> </span>pembahasan disajikan dalam empat bab. Pada bagian pertama, pembaca diajak wacana stilistika kesebuah disiplin ilmu. Bagian kedua membahas unsur-unsur pembentukan wacana nabi Ibrahim, juga membahas aspek leksikal, gramitika, gaya bahasa retoris dan kiasan, seta kohesi. Bab ini, merupakan aplikasi teori yang telah dibahas sebelumnya. Bagian yang ketiga berisi tentang <span style=""> </span>gaya pemaparan kisah, gaya, dialog dan repitisi, juga analisis kisah nabi Ibrahim, sehingga diperoleh informasi tentang kekhasannya. Bagian pemungkas menuturkan kesimpulan penulis buku sekaligus saran.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="PT-BR">Al-Qur’an sebagai kitab sastra mempunayi kesamaan dengan kitab sastra arab lainya, yang juga dalam pemilihan kata menggunakan sinonim, polisemi, kata-kata asing dan kata-kata khas. Hal ini, menunjukkan bahwa bahasa Qur’an menggunakan bahasa arab yang membumi, bukan “bahasa langit” yang jauh dari bahasa manusia. Tetapi, dalam pemilihan-pemilihannya itu mempunyai kekhasan tersendiri, yang terdapat dalam pemilihan kata, kalimat, dan wacananya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="PT-BR">Pemilihan unsur-unsur pembentukan wacana kisah nabi Ibrahim, baik berupa pemilihan kata maupun kalimat adalah untuk mendukung makna dan nuansa yang akan ditampilkan. Sering terjadi subtansi makna yang ditampilkan itu sama, tetapi dalam nuansa yang berbeda sehingga kata atau kalimat yang dipergunakanpun berbeda. Dengan kata lain, kata atau kalimat<span style=""> </span>tidak disusun hanya demi keindahan semata, melainkan untuk mendukung makna karena makna merupakan tujuan sebuah tuturan, sedangkan kata atau kalimat merupakan mediasi untuk mencapai tujuan tersebut. Meskipun demikian itu, tidak mengorbankan kata atau kalimat. Bahkan tiap kata ada dalam batasan semantiknya, dan masing-masing kalimat ada dalam jangkauan fungsi. Semuanya ini, bisa saling mendukung dalam pilihan dan batasan yang tepat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="PT-BR">Dari kisah dalam Al-qur’an yang sangat banyak, diantaranya kisah nabi Ibrahimlah yang dominan sebanyak 186 ayat tersebar dalam 25 surat Al-Qur’an Seperti yang dipaparkan oleh penulis buku ini bahwa kisah nabi Ibrahim bukan karya sastra gaya bebas, baik dalam tema, teknik pemaparan, maupun setting peristiwa-peristiwanya, sebagimana pada umumnya, melainkan suatu media untuk mencapai tujuan yang mulia. Tema, teknik pemaparan, dan setting peristiwa senantiasa tunduk pada tujuan keagamaan, namun ketundukan ini tidak menghalangi munculnya karakteristik seni dalam pemaparannya sehingga kisah Ibrahim dalam Al-Qur’an merupakan perpaduan antara seni dengan aspek keagamaan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="PT-BR">Jika disimak gaya bahasa Al-qur’an dalam menuturkan kisah maka akan terlihat bahwa berbagi macam gaya bahasa yang ada pada zaman modern ini, ternyata sudah digunakan dalam kisah nabi Ibrahim kurang lebih 14 abad yang lalu. Dengan ini, menandakan bahwa Allah sudah menyesuikan dengan gaya bahasa tuturan manusia modern dan cocok sepanjang masa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="PT-BR">Tentunya, sebagai sebuah disiplin ilmu, stilistika memeng masih sangat mudah bahkan terlalu sangat muda untuk dianggap mapan. Kemandirian sebagai disiplin ilmu, terutama pada tradisi keilmuan Arab, masih banyak kontoversi. Ia banyak ia banyak bergantung pada ilmu lain, baik ilmu bahasa maupun sastra. penyerapan yang besar dari materi-materi <i>‘Ilmu al Balaghah </i>membuat banyak kalangan memasukkannya ke dalam wilayah kajian <i>Balaghah</i> bahkan terkatagorikan pada <i>Balaghah al-Mu’ashirah </i>(Kontemporer).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="PT-BR">Untaian singkat tentag buku ini, kehadirannya dapat membantu seseorang dalam menafsirkan Al-qur’an, meningkatkan apresiasi umat islam terhadap gaya bahasa Al-Qur’an, kemudian memahami dan menikamatinya. sehingga karya ini sangat penting bukan hanya<span style=""> </span>untuk kalangan akademis, melainkan juga untuk kalangan umum yang berkeinginan memahami dan menikmati bahasa Al-qur’an. Ditengah derasnya kajian ( hantaman! ) barat yang mempersoalakan otentisitas dan keutuhan Al-Qur’an, buah pikiran seperti ini diharapkan sangat diharapkan menjadi penyejuk dibawah panasnya terik yang membakar.<span style=""> </span>Dengan demikian, semakin jelas bahwa Al-Qur’an memang menjadi teka-teki penuh dengan keindahan sastrawi, tiap titik dan komanya. Anda tertarik ? silahkan baca.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="PT-BR">. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: left;" align="left"><span style="" lang="PT-BR">*) Penulis Alumni Pondok Pesantren Nasy-Atul Muta’allimin Gapura timur-Sumenep dan Pengelola<span style=""> </span>Pondok Budaya Ikon Surabaya<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: left;" align="left"><span style="" lang="PT-BR"><br /><o:p></o:p></span></p>Pena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-79572827108512432072009-04-25T05:31:00.000-07:002009-04-25T05:41:59.455-07:00ASWAJA dan Tantangan Multikulturalisme<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQNShmakIj6iyZzQ6Hr4wEb2LptXOAtRnhAhvwouZJ2YgI66wsT6YagdaBq5f47PfVfK8UVa8Jrly7g-b-Zoaa_Kingsx0-lyDWL-QWb-WuwiAn0LSbaA5NJLcbHu9M6PSlooGm9JETAHE/s1600-h/buku+Tantangan+Multikulturalisme+2.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 150px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQNShmakIj6iyZzQ6Hr4wEb2LptXOAtRnhAhvwouZJ2YgI66wsT6YagdaBq5f47PfVfK8UVa8Jrly7g-b-Zoaa_Kingsx0-lyDWL-QWb-WuwiAn0LSbaA5NJLcbHu9M6PSlooGm9JETAHE/s200/buku+Tantangan+Multikulturalisme+2.JPG" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5328608278833818402" /></a><br /><br />Judul Buku :Tantangan Multikulturalisme di Indonesia, <br />dari Radikalisme Menuju kebangsaan <br />Penulis : Prof. Dr. H Nur Syam, M.Si<br />Penerbit : IMPLUSE Jojakarta<br />Cetakan : I, 2008<br />Tebal : 282 hal<br />Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*<br />“Jika Kita memiliki Pemimpin yang mengerti pentingnya keberagaman ( Multikulturalisme ), maka kita dengan sendirinya akan beruntung, tetapi jika kita mengutamakan keseragaman, maka mau tidak mau kita lalu menyimpang dari semboyan ; Bhinneka Tunggal Ika” ( Gus Dur).<br />Pernyataan Gus Dur, ada benar karena pada saat ini, bangsa Indonesia mengalami disintegrasi yang makin tajam dan kuat intensitasnya berupa sentimen kelompok berbau SARA, dan jika tidak ditanganin secara serius, tidak menutup kemunkinan bangsa sebesar Indonesia, akan terjadi perpecahan dan perang antar saudara, akibat tidak memahami arti perting perbedaan antar elemen bangsa.<br />Dalam buku Tantangan Multikulturalisme di Indonesia, karangan Prof. Nur Syam ini, mengulas dinamika gerakan keagamaan yang menjadi batu sandungan Multikulturalisme dan Cita-cita paham Akhlusunnah Wal jama’a. Pasca reformasi, ia melihat gerakan keagamaan yang cendrung radikal seperti momentum yang sangat kuat untuk berkembang. Gerakan keagamaan seperti ini ditandai dengan sekuarang-kurangnya tiga hal, yaitu: kembali kepada islam sebagaimana dilakukan oleh ulama sholeh, penerapan syariah dan khilafah islamiyah, dan kecendrungan menolak produk barat. Gerakan teo-demokrasi tentunya bukan isapan jempol. Gerakan ini berkembang, terutama dikalangan generasi muda, karena tawaran-tawaran problem solving yang dianggap relevan ditengah berbagai kehidupan yang semakin kompleks, padahal hanya kamuflase.<br /> Nah, menurut pandangan orang-orang memahami multikulturalisme, perbedaaan kebudayaan adalah bagian dari ciri kehidupan bermasyarakat dan merupakan keniscayaan yang harus dihargai. Makanya, di dalam kerangka saling menghargai pemahaman itu diharuskan untuk saling tidak memaksakan pendapat, apalagi yang menyangkut kepentingan publik yang multikultural.<br />Lalu, Aswaja yang menjadi jalan tengah dan mampu mengakomodasi kesenjamgan antar elemen masyarakat juga tidak luput dari tantangan serupa, baik gerakan ekslusif maupun gerakan inklusif. Tentu aswaja yang menjadi doktrin terbuka lebih dekat pada yang inklusif atau pribumisasi islam. Yaitu corak yang islam yang memiliki kedekatan bahkan akomodasi pada akomodasi budaya lokal. <br />Dan disatu sisi, dalam pemikiran dan praksis islam juga muncul gerkan-gerakan islam fundamendal yang tujuan untuk menjaga genuitas islam. Secara transplanted muncul Ikhwanul al-Muslimin yang semula tumbuh dan berkembang di Mesir, Hizbut Tahrir yang tumbuh di Libanon dan gerakan-gerakan fundamental lain yang tumbuh dan berkembang di Indonesia seperti Front Pembela Islam ( FBI ), Lasykar Akhlus Sunnah Wal Jama’ah dan sebaginaya. <br />Meskipun memiliki perbedaan dalam cara pandang dan metodologi gerakan, tetapi ada kesamaan dalam visi dan misinya. Diantanya: mendirikan khilafah, mengikuti ulama salaf yang saleh, memusuhi barat sebagi setan dan memusuhi islam liberal, hal inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi tercapainya Akhlusunah wal Jama’ah dan Multikuturalisme di Indonesia.<br />Dalam buku Pendidikan Multikultural choirul Mahfud , mengatakan bahwa menjadi penting dan sangat mendesak dinegara yang masyarakatnya semakin majemuk. Karena pertama penyelenggaraan pendidikan multikultural diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi dimasyarakat, khususnya yang kerap terjadi di Indonesia yang secara realitas prural. Dengan kata lain pendidikan multikultural dapat dijadikan sarana alternatif pemecahan konflik sosial, budaya dan gerakan keagamaan masyarakat yang cendrung puritan. Spektrum kultul masyarakat Indonesia yang amat beragam ini, menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi sesuatu aset, bukan sumber perpecahan. <br />Kedua upaya pembinaan terhadap siswa agar tidak tercerabut dari akar budaya indonesia yang dimeliki sebelumnya, tatkala ia berhadapan dengan dengan realitas sosial-budaya diera globalisasi, pertemuan antar budaya menjadi ancaman serius bagi anak didik. Ketiga mengujudkan masyarakat yang multikutural, sebab dalam masyarakat Indonesia yang multikultural dengan bhinneka tunggal ika bukan hanya dimaksudkan keanekaragaman suku bangsa an sich, melainkan juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat indonesia secara keseluruhan. Eksistensi keragaman kebudayan tersebut selalu dijaga yang bisa tampak dalam sikap saling menghormati, menghargai, toleransi antar kebudayaan lainnya Dengan pendidikan multikultural tersebut dapat membuahkan hasil harmonisasi agama. Artinya, didalam harmoni itu terpancar “kesadaran bersama” untuk mengujudkan agama sesuai dengan fitrahnya masing-masing akan tetap toleransi dan tenggang rasa yang mendalam mengenai adanya perbedaan dan sekaligus kesamaan didalam agama-agama. <br />Kesalehan teologis adalah ciri khas masing-masing agama yang tidak bisa dikompromikan, namun kesolehan sosial adalah adalah ruang humanitas yang bisa ditoleransikan dan sekilgus dikerjasamakan. Dan islam sendiripun, perbedaan budaya adalah bagian keniscayaan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan sekaligus mengakui dan menghargai perbedaan yang ditampakkan dengan wajah bangsa, etnis, tradisi, dan berbagai tindakan lokal yang bersifat diversifikatif.<br />Kehadiran Buku Terbitan IMPULSE ini, merupakan salah satu karya penting yang bisa dijadikan rujukan bagi seluruh elemen masyarakat yang ingin menelaah secara lebih mendalam tentang diskursus tentang multikultural yang saat ini sedang ramai diperbincangkan oleh berbagi kalangan, baik akademisi pendidikan, budayawan, dan aktivis LSM yang sedang mengeluti masalah-masalah multikulturalisme, termasuk para agamawan yang perhatin pada bangsa yang menghadapi radikalisme agama.<br />Tak pelak, profesor ilmu sosiologi islam ini, mampu memadukan kegelisan penganut paham Aswaja dan Multikulturalisme, karena pemikiran aswaja terus seirama dengan dinamika zaman dan tuntutan kebutuhan masyarakat ditengah kehidupan yang makin globalisti dan kapitalistik.<br />Jadi, indonesia yang seperti mozaik akan semakin kaya keberagaman budaya. Jika multikulturalisme dijadikan landasan menghormati dan menghargai terhadap segala bentuk keberagaman dan perbedaan, baik etnis, suku, ras, agama, maupun simbol-simbol perbedaan lainya menjadi penting untuk ditanamkan dalam dunia pendidikan. Sebab media pendidikan amat strategis untuk menyemai nilai-nilai multikultural dan diyakini mampu mencetak seseorang siapa saja, seperti profesor, koruptor, birokrat, pejabat maupun penjahat. Sehingga, dirasa kurang dan tidak menjadi manusia Indonesia yang baik, kalau tidak mengerti sekaligus mengenal multikulturalisme.<br /><br />*) Penulis Mantan Aktivis Ikatan Pelajar Nahdlatu Ulama Gapura Sumenep.<br />HP: 081938398773Pena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7336428922315041817.post-56828687173492857362009-04-07T20:09:00.000-07:002009-04-07T20:31:43.189-07:00Memaknai Ulang Peran NU<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLEv0cicplnZSED4DV3XQhagwwKSe-sczodfOeQuklBsJHHlSpeh88VmO7YePNrH163svP9k57IZ8FvwCr580wbhpjhjkKEjmExku7bo1phAa35Qy2xPgUfnfimCnT7bqROHmOobRQQnOb/s1600-h/cover_sarung.JPG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 138px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLEv0cicplnZSED4DV3XQhagwwKSe-sczodfOeQuklBsJHHlSpeh88VmO7YePNrH163svP9k57IZ8FvwCr580wbhpjhjkKEjmExku7bo1phAa35Qy2xPgUfnfimCnT7bqROHmOobRQQnOb/s200/cover_sarung.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5322154219738423282" border="0"></a><br /><meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 11"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 11"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Cperpus03%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; text-align:right; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:113.4pt 85.05pt 85.05pt 113.4pt; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1in; text-align: center; text-indent: -1in;" align="center"><b><font size="16" lang="SV"><br /><o:p></o:p></font></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1in; text-align: justify; text-indent: -1in;"><b><font style="" lang="SV">Judul Buku <font style=""> </font>:SARUNG & DEMOKRASI, Dari NU untuk Peradaban keIndonesiaan</font><font dir="rtl" lang="AR-SA"><o:p></o:p></font></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><font style="" lang="SV">Penulis <font style=""> </font>: Abu Dzarrin Al-Hamidy, dkk.<o:p></o:p></font></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><font style="" lang="SV">Pengantar <font style=""> </font>: K.H.Miftachul Akhyar </font><font dir="rtl" lang="AR-SA"><o:p></o:p></font></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><font style="" lang="SV">Penerbit <font style=""> </font>: Khalista</font><font dir="rtl" lang="AR-SA"><o:p></o:p></font></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><font style="" lang="SV">Cetakan <font style=""> </font>: Juli 2008</font><font dir="rtl" lang="AR-SA"><o:p></o:p></font></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><font style="" lang="PT-BR">Tebal <font style=""> </font>: xiv+288hlm; 14,5 x 21cm.<o:p></o:p></font></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><font style="" lang="PT-BR">Perensi <font style=""> </font>: Ahmad Shiddiq Rokib*<o:p></o:p></font></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><font style="" lang="PT-BR"><o:p> </o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><font style="" lang="PT-BR">Peran NU bagi perjalanan peradaban ke-indonesia-an tidak bisa dipandang sebelah mata. sikap akomodatif terhadap kebudayaan lebih diletakkan dalam rangka menunjukkan bahwa agama (islam) selalu memberi peluang bagi tumbuh kembangnya kebudayaan yang memang menjadi “naluri” masing-masing komunitas. itu sebabnya, NU selalu merawat kebudayaan (lokal) sebagai alat untuk mengembangkan tradisi keagamaan yang berpahamkan <i>ahlussunnah Wal Jama’ah</i>. Wajah agama (islam) yang ditawarkan oleh NU adalah agama yang berwajahkan ke-indonesia-an. Sikap akomodatif ini tidaklah diambil berdasar kalkulasi opurrtunistik, melainkan eksternalisasi paradigma keagamaan yang terbuka dan tidak memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang hitam putih.<o:p></o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><font style="" lang="PT-BR"><o:p> </o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><font style="" lang="PT-BR">Peradaban ke-indonesia-an yang kemudian hendak dibentuk oleh NU adalah peradaban kebangsaan kebebasan yang dilandasi oleh moral keagaman (Islam). Nilai-nilai islam memberikan inspirasi dan sekaligus menggerakkan kehidupan kebangsaan indonesia, meskipun hal<font style=""> </font>tersebut tidak diletakkan untuk mendirikan negara agama, melainkan negara beragama. NU sadar bahwa realitas empirik kebangsaan indonesia adalah kebangsaan yang prulal. yakni yang dibangun dengan mensinergikan secara adil suku bangsa yang berbeda dan agama yang berlainan, bahkan paham agama yang yang lainan pula, baik ekonomi, hukum,dan sebagainya. <o:p></o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><font style="" lang="PT-BR"><o:p> </o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><font style="" lang="PT-BR">Buku ini adalah hasil<font style=""> </font>Lomba karya tulis ilmiyah (LKTI) yang diselenggarakan oleh PW NU Jawa Timur Ini, banyak menjelaskan tentang NU dan keislaman, politik, pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan. Ada yang menarik untuk direnungkan dan diaplikasikan dalam mengaktualisasikan<font style=""> </font>peranan NU sebagai organisasai sosial<font style=""> </font>keagamaaan, <font style=""> </font>sehingga tidak hanya menjadi macan podium belaka tapi juga bermanfaat (maslahah) bagi warganya, terutama yang berada dipinggiran dan terjepit oleh kapitalisme dan neo kolonialisasi..<o:p></o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><font style="" lang="PT-BR"><o:p> </o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><font style="" lang="PT-BR">Dalam salah satu tulisan M. Suhaidi RB. Misalnya yang berjudul <i>NU dan Transformasi Keaswajaan Revitalisasi Gerakan Pembebasan Sosial NU dalam memberdayakan ummat secara kaffah,</i> mencoba menghadirkan<font style=""> </font>sebuah kritik tentang dinamika (politik) NU yang terlalu dominan. Akibat dominanasi politik tersebut<font style=""> </font>peran serta NU dalam berbagi bidang mengalami pasang surut dan cendrung acuh tak acuh terhadap realitas yang dihadapi umat. Stadi kasus pada mayarakat madura yang menanam tembakau dan petani garam notabene adalah warga Nahdiyin selalu mengalami nasib tidak beruntung. tembakau yang dianggap daun emas dan merupakan penghidupan tersendiri ternyata tidak seindah namanya. Yang rata-rata<font style=""> </font>harganya antara 5000-8000/ kg. Dengan harga sedemikian murah sulit kiranya petani tembakau untuk mencicipi hasil manis, sebab modal yang dikeluarkan tak sebanding dengan hasilnya dan harga tembakau, cendrung dipermainkan oleh pemilik modal.(hal 7)<o:p></o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><font style="" lang="PT-BR"><font style=""> </font><o:p></o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><font style="" lang="PT-BR">NU sebagiai institusi tempat mengadu berbagai persoalan yang hadapi dan tempat bernaung warganya, menurut koordinator<font style=""> </font>Forum Studi Agama dan Demokrasi ( ForSAD ) ini, harus melakukan<font style=""> </font>langkah-langkah <i>amaliyah </i>(praksis) yang nyata, dan tidak hanya kata-kata (<i>qaul)</i>. Dan menjadikan<font style=""> </font>pendiri NU contoh dan teladan dalam merespon realitas yang dihadapi masyarakat dengan senantiasa merasakan penderitaan warganya. Sehingga prinsip pokok <i>Mabadi khairul ummah</i> dan <i>Amar ma’ruf nafi mungkar</i>, yang betul-betul membumi.<o:p></o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><font style="" lang="PT-BR"><font style=""> </font><o:p></o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><font style="" lang="PT-BR">Dalam mempetegas gambaran diatas sekaligus menjadikan evaluasi ulang terhadap peran NU pada warganya. Ada beberapa pilar<font style=""> </font>bisa dijadikan komitmen untuk memasyarakatkan dan mempertegas politik kebangsaan NU, seperti yang ditulis oleh Fathor Rahman Jm, dengan judul <i>Revitalisasi Gerakan Politik Kebangsaan NU Untuk Pemberdayaan Bangsa</i>. Diantaranya pesantren, semangat politik NU, Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Tujjar, Tasywirul Afkar, dan basis ajaran tasawwuf NU, bisa menjadi intrumen untuk mengujudkan komitmen dan pembelaannya terhadap wargnya. Misalnya saja, diantara salah satu dari pilar-pilar diatas diberdayakan atau dijadikan sebagai sumber kekuatan terutama dalam menopang ekonomi dan memperbaiki kehidupan ummat.<o:p></o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><font style="" lang="PT-BR"><o:p> </o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><font style="" lang="PT-BR">Pesantren yang merupakan pusat pendidikan tertua di Indonesia dengan kunikan dan kekhasan tersendiri.<font style=""> </font>didalamnya terdapat interaksi diantara orang –orang,<font style=""> </font>pasca kemerdekaaan<font style=""> </font>menjadi pusat pemberdayaan masyarakat secara sosial, ekonomi, dan budaya. dalam hal ini pondok pesantren Sidogiri bisa menjadi cerminan. Dengan memanfaatkan alumni dari berbagi daerah untuk jaringan ekonomi dalam mendirikan kopersai simpan pinjam, BPRS, dan <i>Baitul mal Wattanwil </i>.jika semua pesantren yang ada di Indonesia mengikuti langkah PP.Sidogiri, maka komunitas NU dan yang berada diberbagi daerah pelosok Negeri ini, bisa jadi <font style=""> </font>masyarakat<font style=""> </font>yang seperti kasus tembakau dimadura diatas, cukup diselesaikan oleh pesantren.dan tidak dibayangi oleh neo kolonialisme lagi. Sedangkan NU sendiri membangun dan memberikan jaringan disertai<font style=""> </font>penambahan modal bagi pesantren dalam mengelola ekonomi kerakyatan atau NU menhidupkan <i>Nahdltul Tujjar</i> yang di gagas oleh K.H.Wahab Chasbullah dengan Tujuan memperkuat Modal Pedagang dan pertanian warga NU. Hal ini, sesuai dengan statuten dari perkumpulan NU di Surabaya pada tahun 1930 pasal 3<font style=""> </font>mengenai usaha-usaha yang mesti dilakukan NU, item f berbunyi:”Memperhatikan Perekonomian Umat Islam”<font style=""> </font>(hal 68-75) <o:p></o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><font style="" lang="PT-BR"><font style=""> </font>Buku setebal 288 halaman ini, sangat penting dibaca oleh akadimisi, politisi,<font style=""> </font>peneliti, pemerhati, dan warga nahdiyin, untuk memberikan wawasan baru tentang ke-NU-an dan langkah apa saja yang menjadi pekerjaan rumah NU untuk melangka lebih maju. Namun sayang bukan buku utuh yang ditulis satu tim atau satu orang (perorangan), akan tetapi hasil LKTI yang dimungkin terdapat tumpang tindihnya gagasan. <o:p></o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><font style="" lang="PT-BR">Dari gasasan diatas, adalah upaya penyegaran memori dan menberikan motivasi bagi elit NU dari PB sampai Ranting untuk selalu berkomitmen dan ikhlas dalam mengerakkan NU sesuai semangat khittah, agar benar-benar membela kepentingan umat secara praksis.dan tidak lagi terjebak politik praktis. <o:p></o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><font style="" lang="PT-BR"><o:p> </o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><font style="" lang="PT-BR"><o:p> </o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><font style="" lang="PT-BR">* Penulis:mantan aktivis IPNU Gapura-Sumenep, saat ini menjadi pengelola Taman Baca Surabaya (TMS)<font style=""> </font><o:p></o:p></font></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><font style="" lang="PT-BR">dimuat di NU Online<br /><o:p></o:p></font></p> Pena Pesantrenhttp://www.blogger.com/profile/06594667673577509068noreply@blogger.com0