Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

Tarekat Sebagai Respon Kultural


Judul : Ensiklope 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawwuf
Penulis : K.H. Azis Masyhuri
Penerbit : Imtiyaz, Surabaya
Cetakan : I, Juli 2011
Tebal : xx+338 hal.
Peresensi : Ahmad Shiddiq *

Sungguh beruntung Indonesia mempunyai tokoh sekaliber HB Yasin, karena selama hidupnya, H.B. Jassin juga dikenal sangat ahli dan tekun dalam mendokumentasikan perkembangan sastra Indonesia. Hasil jerih-payahnya saat ini dapat di temukan pada Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. dengan ketelatenannya mendokumentasikan sastra yang berserakan menjadi himpunan sastra yang tak ternilai harganya, Sehingga generasi selanjutnya, turut menikmati sastra peninggalan para pujangga masa lalu. Begitu juga Nahdlatul Ulama sangat beruntung mempunyai KH. A Azis Masyhuri yang dengan telaten mendokumentasikan tentang ke-NU-an, hal ini di akui oleh Martin Van Bruinessen, peneliti senior Universitas Utrecht Belanda, yang rajin menulis tentang NU.

Buku Ensiklopedi 22 aliran tarekat dalam tasawwuf karya kiai yang produktif ini, memuat berbagai aspek esotoris maupun eksotoris 22 aliran tarekat yang sudah masyhur : Alawiyah, Ahmadiyah Badawiyah, Aidrusiyah, Chistiyah, Dasuqiyah, Ghazaliyah, Haddadiyyah, Idrisiyah, Khaltiyah, Malamatiyah, Maulawiyah, Naqsabandiyah, Naqsabandiyah Haqqaniyah, Qadiriyah, Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, Rifa’iyah, Sammaniyah, Sanisiyah, Suhrawandiyah, Syadiliyah, Sattariyah dan lain-lain.

Tidak hanya itu, penulis buku ini begitu detail menceritakan asal-usul berdirinya aliran tarekat, siapa pendiri, bagaimana ajaran, tempat tumbuh dan berkembang dimana aliran tarekat tersebut. Sedangkan Tasawwuf sendiri merupakan bentuk mistisisme dalam Islam. Tasawwuf bukanlah satu tatanan ajaran, tetapi lebih sebagai mudus pemikiran dan perasaan dalam kerangka agama. Pada awal kemunculannya, mistisisme Islam menampilkan suatu reaksi perlawanan terhadap upaya intelektualisme dan formalisme ajaran Islam dan al-Qur’an yang berkembang sebagai konsekuensi. Secara psikologis landasannya harus dicari dalam hasrat besar manusia untuk menyingkap kebenaran tuhan dan kebenaran agama, upaya untuk mendekati Tuhan secara langsung, serta pengalaman yang lebih personal dan lebih mendalam tentang kedua kebenaran itu.

Pada mulanya, tasawwuf berkembang sebagai gaya hidup aksetis, lebih khusus lagi komtemplatif, pada abad kedua Hijriyah dan seterusnya tasawwuf berkembang menjadi gerakan sinkretis, menyerap berbagai elemen dari kristen, Neo-Platonik, Gnotisisme, dan Budhisme, serta berkembang melalui tahap-tahap mistis, teosofis, dan panteistis. Pakaian wol (shuf) diadopsi sebagai pakaian khas mereka, meniru para pendeta kristen yang juga menjadi model penerapan gaya hidup selibat yang tidak pernah diterapkan sebelumnya oleh kalangan muslim ortodoks.

Kelompok sufi (tarekat) yang berkembang pada abad tiga belas mengembangkan konsep relasi antara guru (syaikh) dengan muridnya. Adapun ritual keagamaan dalam tarekat adalah dzikir, merupakan ritual yang sangat rumit dan berbeda dengan praktik dari berbagai ajaran agama lain.

Seperti dalam pengantar buku oleh K.H. Said Agil Sirajd, bahwa tasawwuf merupakan bentuk perlawanan dari merajalelanya penyimpangan yang dilakukan penguasa dengan dalih agama demi tujuan pribadi dan gaya hidup mewah yang menjadi kebiasaan para raja dengan membuang sisi dari ajaran agama yang tidak sesuai dengan kehendak pribadi. Sejak saat itu dan seterusnya, sejarah mencatat adanya kebangkitan pembaharuan serta militansi yang kian lama kian mantap dikalangan umat islam yang tulus, untuk mengembalikan pesan orisinil dan sakral yang dibawa nabi Muhammad. Seorang sufi adalah penegak dan penjunjung tinggi pesan-pesan Islam.

Kesufian adalah wilayah yang menghubungkan dimensi luar (lahiriyah) dan realitas yang bersifat fisik dengan dimensi yang tak beruang dan berwaktu (batiniyah) yang hanya dapat dialami oleh kedirian sebelah dalam manusia. Seorang sufi hidup laksana puncak gunung es yang nampak dalam dunia kasat mata. Namun, demikian, juga memiliki aspek-aspek dunia yang terselubung dan tersembunyi oleh indera yang justru merupakan fondasi dari yang terlihat nyata sekaligus bentuk realitas lain yang tidak kasat mata.

Ia akan melakukan yang terbaik guna memahami hukum-hukum kausal dan kehidupan sebelah luar yang bersifat fisik sekaligus meresapi guna meningkatkan kesadarannya terhadap “realitas” sebelah terdalam yang “maha luas” yang berarti meliputi dunia yang diketahui maupun tidak, serta menggabungkan realitas yang nampak dengan yang tidak nampak dan dunia yang beruang serta berwaktu dengan dunia yang tidak beruang dan berwaktu.

Itu sebab kehidupan sebelah dalam seorang sufi tanpa ada batasnya. Namun demikian, ia tetap mengakui dan menerima batasan-batasan lahiriyah dengan menghormati hukum alam. Seorang sufi sepenuhnya riang dengan kebahagian yang tiada tara dalam jiwanya. Secara lahiriyah, para sufi berjuang kearah kualitas hidup yang lebih di muka bumi dan melakukan yang terbaik tanpa memperlihatkan secara berlebih-lebihan terhadap hasil akhir. Dengan kata lain, mereka memancarkan cahaya dan kesadaran hati manusia serta penghormatan dan pengabdian secara lahiriyah bagi kemanusian.

Tokoh-tokoh Sufi dengan aliran dan ajaran banyak sekali bahkan Islam Nusantara tidak ketinggalan, ada Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Abdurrauf al-Singkili, Syekh Khotib Sambas, Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Saleh Darat, ada banyak kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh tersebut dan menjadi rujukan dan berperan besar dalam transformasi ke-Indonesian. Bahkan di Jawa proses islamisasi dengan tarekat sufi berkembang pesat sebagai pendukung imperium islam. Karena sufi di Nusantara dikenal sebagai cendikiawan yang berwawasan luas, penulis kreatif dan produktif serta terlibat dalam berbagai aspek kehidupan.

Wal-hasil, melalui buku karya ulama produktif sekaligus ahli dukomentasi NU ini, merupakan sebuah pencapaian yang sangat luar biasa, karena bukuse tebal 338 halaman, diulas dengan padat, buku ini menyajikan gambaran kompreherensif tentang tarekat dan dunia sufisme. Artinya, melalui karya munomental ini, membuktikan kecakapan dan pengetahuan yang luas tentang tarekat-tarekat dan tokoh-tokoh sufi.Sehingga buku ini patut mendapat apresiasi dan layak menjadi bacaan bagi pembaca umum, para sarjana, peneliti atau siapapun yang berminat dengan dunia tarekat dan kesufian.

*)Penulis adalah Direktur Pena Pesantren dan Aktif pada Pondok Budaya Ikon Surabya.
Read More “Tarekat Sebagai Respon Kultural”
ad

Jejak Pengunjung

Mengenai Saya

Foto saya
saya adalah alumni pesantren desa yang jauh dari heruk pikuk informasi dan teknologi, jadi saya berkomitmen untuk memakmurkan pesantren dalam rangka memberdayakan masyarakat kecil

Labels