Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

Teka-teki Keindahan Sastra Al-Qur’an


Judul Buku:STILISTIKA Al-QUR’AN

Makna dibalik kisah Ibrahim

Penulis : Dr. Syihabuddin Qalyubi

Penerbit : LKIS Yogyakarta

Cetakan : I, Januari 2009

Tebal : xii+258 hlm.

Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Banyak Orang yang tertarik pada Al-Qur’an, Namun tanpa dapat Menjelaskan mengapa mereka kagum dan tertarik. Pesona Qur’an sebenarya bukan karena faktor dogma teologis yang mengharuskan orang beriaman untuk mengagungkan dan mengimaninya, melainkan ada faktor inheren dalam teks Al-Qur’an itu sendiri. Teks Al-Qur’an memang mengandung sesuatu yang dapat memikat pembaca atau pendengarnya.

Buku karangan Dr. Syahabuddin Qulyubi ini mengkaji teori stilistika dan bagaimana menerapkan dalam kisah yang termuat dalam Al-Qur’an. Meskipun didalamnya terdapat banyak sekali kisah, namun pembahasan yang dipilih oleh Doktor lulusan Universitas Sunan Kalijaga adalah seputar kisah Nabi Ibrahim, seperti yang diakui penulis bahwa daya tarik penelitian kisah nabi Ibrahim terletak pada tersebarnya ayat yang menjelaskan tentang nabi Ibrahim dihampir surat Al-Qur’an, berbeda dengan kisah nabi Yusuf yang hanya terdapat pada satu surat saja.

Buku ini sebuah penelitian hasil disertasi yang pembahasan disajikan dalam empat bab. Pada bagian pertama, pembaca diajak wacana stilistika kesebuah disiplin ilmu. Bagian kedua membahas unsur-unsur pembentukan wacana nabi Ibrahim, juga membahas aspek leksikal, gramitika, gaya bahasa retoris dan kiasan, seta kohesi. Bab ini, merupakan aplikasi teori yang telah dibahas sebelumnya. Bagian yang ketiga berisi tentang gaya pemaparan kisah, gaya, dialog dan repitisi, juga analisis kisah nabi Ibrahim, sehingga diperoleh informasi tentang kekhasannya. Bagian pemungkas menuturkan kesimpulan penulis buku sekaligus saran.

Al-Qur’an sebagai kitab sastra mempunayi kesamaan dengan kitab sastra arab lainya, yang juga dalam pemilihan kata menggunakan sinonim, polisemi, kata-kata asing dan kata-kata khas. Hal ini, menunjukkan bahwa bahasa Qur’an menggunakan bahasa arab yang membumi, bukan “bahasa langit” yang jauh dari bahasa manusia. Tetapi, dalam pemilihan-pemilihannya itu mempunyai kekhasan tersendiri, yang terdapat dalam pemilihan kata, kalimat, dan wacananya.

Pemilihan unsur-unsur pembentukan wacana kisah nabi Ibrahim, baik berupa pemilihan kata maupun kalimat adalah untuk mendukung makna dan nuansa yang akan ditampilkan. Sering terjadi subtansi makna yang ditampilkan itu sama, tetapi dalam nuansa yang berbeda sehingga kata atau kalimat yang dipergunakanpun berbeda. Dengan kata lain, kata atau kalimat tidak disusun hanya demi keindahan semata, melainkan untuk mendukung makna karena makna merupakan tujuan sebuah tuturan, sedangkan kata atau kalimat merupakan mediasi untuk mencapai tujuan tersebut. Meskipun demikian itu, tidak mengorbankan kata atau kalimat. Bahkan tiap kata ada dalam batasan semantiknya, dan masing-masing kalimat ada dalam jangkauan fungsi. Semuanya ini, bisa saling mendukung dalam pilihan dan batasan yang tepat.

Dari kisah dalam Al-qur’an yang sangat banyak, diantaranya kisah nabi Ibrahimlah yang dominan sebanyak 186 ayat tersebar dalam 25 surat Al-Qur’an Seperti yang dipaparkan oleh penulis buku ini bahwa kisah nabi Ibrahim bukan karya sastra gaya bebas, baik dalam tema, teknik pemaparan, maupun setting peristiwa-peristiwanya, sebagimana pada umumnya, melainkan suatu media untuk mencapai tujuan yang mulia. Tema, teknik pemaparan, dan setting peristiwa senantiasa tunduk pada tujuan keagamaan, namun ketundukan ini tidak menghalangi munculnya karakteristik seni dalam pemaparannya sehingga kisah Ibrahim dalam Al-Qur’an merupakan perpaduan antara seni dengan aspek keagamaan.

Jika disimak gaya bahasa Al-qur’an dalam menuturkan kisah maka akan terlihat bahwa berbagi macam gaya bahasa yang ada pada zaman modern ini, ternyata sudah digunakan dalam kisah nabi Ibrahim kurang lebih 14 abad yang lalu. Dengan ini, menandakan bahwa Allah sudah menyesuikan dengan gaya bahasa tuturan manusia modern dan cocok sepanjang masa.

Tentunya, sebagai sebuah disiplin ilmu, stilistika memeng masih sangat mudah bahkan terlalu sangat muda untuk dianggap mapan. Kemandirian sebagai disiplin ilmu, terutama pada tradisi keilmuan Arab, masih banyak kontoversi. Ia banyak ia banyak bergantung pada ilmu lain, baik ilmu bahasa maupun sastra. penyerapan yang besar dari materi-materi ‘Ilmu al Balaghah membuat banyak kalangan memasukkannya ke dalam wilayah kajian Balaghah bahkan terkatagorikan pada Balaghah al-Mu’ashirah (Kontemporer).

Untaian singkat tentag buku ini, kehadirannya dapat membantu seseorang dalam menafsirkan Al-qur’an, meningkatkan apresiasi umat islam terhadap gaya bahasa Al-Qur’an, kemudian memahami dan menikamatinya. sehingga karya ini sangat penting bukan hanya untuk kalangan akademis, melainkan juga untuk kalangan umum yang berkeinginan memahami dan menikmati bahasa Al-qur’an. Ditengah derasnya kajian ( hantaman! ) barat yang mempersoalakan otentisitas dan keutuhan Al-Qur’an, buah pikiran seperti ini diharapkan sangat diharapkan menjadi penyejuk dibawah panasnya terik yang membakar. Dengan demikian, semakin jelas bahwa Al-Qur’an memang menjadi teka-teki penuh dengan keindahan sastrawi, tiap titik dan komanya. Anda tertarik ? silahkan baca.

.

*) Penulis Alumni Pondok Pesantren Nasy-Atul Muta’allimin Gapura timur-Sumenep dan Pengelola Pondok Budaya Ikon Surabaya


Read More “Teka-teki Keindahan Sastra Al-Qur’an”

ASWAJA dan Tantangan Multikulturalisme



Judul Buku :Tantangan Multikulturalisme di Indonesia, 
dari Radikalisme Menuju kebangsaan 
Penulis : Prof. Dr. H Nur Syam, M.Si
Penerbit : IMPLUSE Jojakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : 282 hal
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*
“Jika Kita memiliki Pemimpin yang mengerti pentingnya keberagaman ( Multikulturalisme ), maka kita dengan sendirinya akan beruntung, tetapi jika kita mengutamakan keseragaman, maka mau tidak mau kita lalu menyimpang dari semboyan ; Bhinneka Tunggal Ika” ( Gus Dur).
Pernyataan Gus Dur, ada benar karena pada saat ini, bangsa Indonesia mengalami disintegrasi yang makin tajam dan kuat intensitasnya berupa sentimen kelompok berbau SARA, dan jika tidak ditanganin secara serius, tidak menutup kemunkinan bangsa sebesar Indonesia, akan terjadi perpecahan dan perang antar saudara, akibat tidak memahami arti perting perbedaan antar elemen bangsa.
Dalam buku Tantangan Multikulturalisme di Indonesia, karangan Prof. Nur Syam ini, mengulas dinamika gerakan keagamaan yang menjadi batu sandungan Multikulturalisme dan Cita-cita paham Akhlusunnah Wal jama’a. Pasca reformasi, ia melihat gerakan keagamaan yang cendrung radikal seperti momentum yang sangat kuat untuk berkembang. Gerakan keagamaan seperti ini ditandai dengan sekuarang-kurangnya tiga hal, yaitu: kembali kepada islam sebagaimana dilakukan oleh ulama sholeh, penerapan syariah dan khilafah islamiyah, dan kecendrungan menolak produk barat. Gerakan teo-demokrasi tentunya bukan isapan jempol. Gerakan ini berkembang, terutama dikalangan generasi muda, karena tawaran-tawaran problem solving yang dianggap relevan ditengah berbagai kehidupan yang semakin kompleks, padahal hanya kamuflase.
 Nah, menurut pandangan orang-orang memahami multikulturalisme, perbedaaan kebudayaan adalah bagian dari ciri kehidupan bermasyarakat dan merupakan keniscayaan yang harus dihargai. Makanya, di dalam kerangka saling menghargai pemahaman itu diharuskan untuk saling tidak memaksakan pendapat, apalagi yang menyangkut kepentingan publik yang multikultural.
Lalu, Aswaja yang menjadi jalan tengah dan mampu mengakomodasi kesenjamgan antar elemen masyarakat juga tidak luput dari tantangan serupa, baik gerakan ekslusif maupun gerakan inklusif. Tentu aswaja yang menjadi doktrin terbuka lebih dekat pada yang inklusif atau pribumisasi islam. Yaitu corak yang islam yang memiliki kedekatan bahkan akomodasi pada akomodasi budaya lokal. 
Dan disatu sisi, dalam pemikiran dan praksis islam juga muncul gerkan-gerakan islam fundamendal yang tujuan untuk menjaga genuitas islam. Secara transplanted muncul Ikhwanul al-Muslimin yang semula tumbuh dan berkembang di Mesir, Hizbut Tahrir yang tumbuh di Libanon dan gerakan-gerakan fundamental lain yang tumbuh dan berkembang di Indonesia seperti Front Pembela Islam ( FBI ), Lasykar Akhlus Sunnah Wal Jama’ah dan sebaginaya. 
Meskipun memiliki perbedaan dalam cara pandang dan metodologi gerakan, tetapi ada kesamaan dalam visi dan misinya. Diantanya: mendirikan khilafah, mengikuti ulama salaf yang saleh, memusuhi barat sebagi setan dan memusuhi islam liberal, hal inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi tercapainya Akhlusunah wal Jama’ah dan Multikuturalisme di Indonesia.
Dalam buku Pendidikan Multikultural choirul Mahfud , mengatakan bahwa menjadi penting dan sangat mendesak dinegara yang masyarakatnya semakin majemuk. Karena pertama penyelenggaraan pendidikan multikultural diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi dimasyarakat, khususnya yang kerap terjadi di Indonesia yang secara realitas prural. Dengan kata lain pendidikan multikultural dapat dijadikan sarana alternatif pemecahan konflik sosial, budaya dan gerakan keagamaan masyarakat yang cendrung puritan. Spektrum kultul masyarakat Indonesia yang amat beragam ini, menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi sesuatu aset, bukan sumber perpecahan. 
Kedua upaya pembinaan terhadap siswa agar tidak tercerabut dari akar budaya indonesia yang dimeliki sebelumnya, tatkala ia berhadapan dengan dengan realitas sosial-budaya diera globalisasi, pertemuan antar budaya menjadi ancaman serius bagi anak didik. Ketiga mengujudkan masyarakat yang multikutural, sebab dalam masyarakat Indonesia yang multikultural dengan bhinneka tunggal ika bukan hanya dimaksudkan keanekaragaman suku bangsa an sich, melainkan juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat indonesia secara keseluruhan. Eksistensi keragaman kebudayan tersebut selalu dijaga yang bisa tampak dalam sikap saling menghormati, menghargai, toleransi antar kebudayaan lainnya Dengan pendidikan multikultural tersebut dapat membuahkan hasil harmonisasi agama. Artinya, didalam harmoni itu terpancar “kesadaran bersama” untuk mengujudkan agama sesuai dengan fitrahnya masing-masing akan tetap toleransi dan tenggang rasa yang mendalam mengenai adanya perbedaan dan sekaligus kesamaan didalam agama-agama. 
Kesalehan teologis adalah ciri khas masing-masing agama yang tidak bisa dikompromikan, namun kesolehan sosial adalah adalah ruang humanitas yang bisa ditoleransikan dan sekilgus dikerjasamakan. Dan islam sendiripun, perbedaan budaya adalah bagian keniscayaan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan sekaligus mengakui dan menghargai perbedaan yang ditampakkan dengan wajah bangsa, etnis, tradisi, dan berbagai tindakan lokal yang bersifat diversifikatif.
Kehadiran Buku Terbitan IMPULSE ini, merupakan salah satu karya penting yang bisa dijadikan rujukan bagi seluruh elemen masyarakat yang ingin menelaah secara lebih mendalam tentang diskursus tentang multikultural yang saat ini sedang ramai diperbincangkan oleh berbagi kalangan, baik akademisi pendidikan, budayawan, dan aktivis LSM yang sedang mengeluti masalah-masalah multikulturalisme, termasuk para agamawan yang perhatin pada bangsa yang menghadapi radikalisme agama.
Tak pelak, profesor ilmu sosiologi islam ini, mampu memadukan kegelisan penganut paham Aswaja dan Multikulturalisme, karena pemikiran aswaja terus seirama dengan dinamika zaman dan tuntutan kebutuhan masyarakat ditengah kehidupan yang makin globalisti dan kapitalistik.
Jadi, indonesia yang seperti mozaik akan semakin kaya keberagaman budaya. Jika multikulturalisme dijadikan landasan menghormati dan menghargai terhadap segala bentuk keberagaman dan perbedaan, baik etnis, suku, ras, agama, maupun simbol-simbol perbedaan lainya menjadi penting untuk ditanamkan dalam dunia pendidikan. Sebab media pendidikan amat strategis untuk menyemai nilai-nilai multikultural dan diyakini mampu mencetak seseorang siapa saja, seperti profesor, koruptor, birokrat, pejabat maupun penjahat. Sehingga, dirasa kurang dan tidak menjadi manusia Indonesia yang baik, kalau tidak mengerti sekaligus mengenal multikulturalisme.

*) Penulis Mantan Aktivis Ikatan Pelajar Nahdlatu Ulama Gapura Sumenep.
HP: 081938398773
Read More “ASWAJA dan Tantangan Multikulturalisme”

Memaknai Ulang Peran NU



Judul Buku :SARUNG & DEMOKRASI, Dari NU untuk Peradaban keIndonesiaan

Penulis : Abu Dzarrin Al-Hamidy, dkk.

Pengantar : K.H.Miftachul Akhyar

Penerbit : Khalista

Cetakan : Juli 2008

Tebal : xiv+288hlm; 14,5 x 21cm.

Perensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Peran NU bagi perjalanan peradaban ke-indonesia-an tidak bisa dipandang sebelah mata. sikap akomodatif terhadap kebudayaan lebih diletakkan dalam rangka menunjukkan bahwa agama (islam) selalu memberi peluang bagi tumbuh kembangnya kebudayaan yang memang menjadi “naluri” masing-masing komunitas. itu sebabnya, NU selalu merawat kebudayaan (lokal) sebagai alat untuk mengembangkan tradisi keagamaan yang berpahamkan ahlussunnah Wal Jama’ah. Wajah agama (islam) yang ditawarkan oleh NU adalah agama yang berwajahkan ke-indonesia-an. Sikap akomodatif ini tidaklah diambil berdasar kalkulasi opurrtunistik, melainkan eksternalisasi paradigma keagamaan yang terbuka dan tidak memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang hitam putih.

Peradaban ke-indonesia-an yang kemudian hendak dibentuk oleh NU adalah peradaban kebangsaan kebebasan yang dilandasi oleh moral keagaman (Islam). Nilai-nilai islam memberikan inspirasi dan sekaligus menggerakkan kehidupan kebangsaan indonesia, meskipun hal tersebut tidak diletakkan untuk mendirikan negara agama, melainkan negara beragama. NU sadar bahwa realitas empirik kebangsaan indonesia adalah kebangsaan yang prulal. yakni yang dibangun dengan mensinergikan secara adil suku bangsa yang berbeda dan agama yang berlainan, bahkan paham agama yang yang lainan pula, baik ekonomi, hukum,dan sebagainya.

Buku ini adalah hasil Lomba karya tulis ilmiyah (LKTI) yang diselenggarakan oleh PW NU Jawa Timur Ini, banyak menjelaskan tentang NU dan keislaman, politik, pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan. Ada yang menarik untuk direnungkan dan diaplikasikan dalam mengaktualisasikan peranan NU sebagai organisasai sosial keagamaaan, sehingga tidak hanya menjadi macan podium belaka tapi juga bermanfaat (maslahah) bagi warganya, terutama yang berada dipinggiran dan terjepit oleh kapitalisme dan neo kolonialisasi..

Dalam salah satu tulisan M. Suhaidi RB. Misalnya yang berjudul NU dan Transformasi Keaswajaan Revitalisasi Gerakan Pembebasan Sosial NU dalam memberdayakan ummat secara kaffah, mencoba menghadirkan sebuah kritik tentang dinamika (politik) NU yang terlalu dominan. Akibat dominanasi politik tersebut peran serta NU dalam berbagi bidang mengalami pasang surut dan cendrung acuh tak acuh terhadap realitas yang dihadapi umat. Stadi kasus pada mayarakat madura yang menanam tembakau dan petani garam notabene adalah warga Nahdiyin selalu mengalami nasib tidak beruntung. tembakau yang dianggap daun emas dan merupakan penghidupan tersendiri ternyata tidak seindah namanya. Yang rata-rata harganya antara 5000-8000/ kg. Dengan harga sedemikian murah sulit kiranya petani tembakau untuk mencicipi hasil manis, sebab modal yang dikeluarkan tak sebanding dengan hasilnya dan harga tembakau, cendrung dipermainkan oleh pemilik modal.(hal 7)

NU sebagiai institusi tempat mengadu berbagai persoalan yang hadapi dan tempat bernaung warganya, menurut koordinator Forum Studi Agama dan Demokrasi ( ForSAD ) ini, harus melakukan langkah-langkah amaliyah (praksis) yang nyata, dan tidak hanya kata-kata (qaul). Dan menjadikan pendiri NU contoh dan teladan dalam merespon realitas yang dihadapi masyarakat dengan senantiasa merasakan penderitaan warganya. Sehingga prinsip pokok Mabadi khairul ummah dan Amar ma’ruf nafi mungkar, yang betul-betul membumi.

Dalam mempetegas gambaran diatas sekaligus menjadikan evaluasi ulang terhadap peran NU pada warganya. Ada beberapa pilar bisa dijadikan komitmen untuk memasyarakatkan dan mempertegas politik kebangsaan NU, seperti yang ditulis oleh Fathor Rahman Jm, dengan judul Revitalisasi Gerakan Politik Kebangsaan NU Untuk Pemberdayaan Bangsa. Diantaranya pesantren, semangat politik NU, Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Tujjar, Tasywirul Afkar, dan basis ajaran tasawwuf NU, bisa menjadi intrumen untuk mengujudkan komitmen dan pembelaannya terhadap wargnya. Misalnya saja, diantara salah satu dari pilar-pilar diatas diberdayakan atau dijadikan sebagai sumber kekuatan terutama dalam menopang ekonomi dan memperbaiki kehidupan ummat.

Pesantren yang merupakan pusat pendidikan tertua di Indonesia dengan kunikan dan kekhasan tersendiri. didalamnya terdapat interaksi diantara orang –orang, pasca kemerdekaaan menjadi pusat pemberdayaan masyarakat secara sosial, ekonomi, dan budaya. dalam hal ini pondok pesantren Sidogiri bisa menjadi cerminan. Dengan memanfaatkan alumni dari berbagi daerah untuk jaringan ekonomi dalam mendirikan kopersai simpan pinjam, BPRS, dan Baitul mal Wattanwil .jika semua pesantren yang ada di Indonesia mengikuti langkah PP.Sidogiri, maka komunitas NU dan yang berada diberbagi daerah pelosok Negeri ini, bisa jadi masyarakat yang seperti kasus tembakau dimadura diatas, cukup diselesaikan oleh pesantren.dan tidak dibayangi oleh neo kolonialisme lagi. Sedangkan NU sendiri membangun dan memberikan jaringan disertai penambahan modal bagi pesantren dalam mengelola ekonomi kerakyatan atau NU menhidupkan Nahdltul Tujjar yang di gagas oleh K.H.Wahab Chasbullah dengan Tujuan memperkuat Modal Pedagang dan pertanian warga NU. Hal ini, sesuai dengan statuten dari perkumpulan NU di Surabaya pada tahun 1930 pasal 3 mengenai usaha-usaha yang mesti dilakukan NU, item f berbunyi:”Memperhatikan Perekonomian Umat Islam” (hal 68-75)

Buku setebal 288 halaman ini, sangat penting dibaca oleh akadimisi, politisi, peneliti, pemerhati, dan warga nahdiyin, untuk memberikan wawasan baru tentang ke-NU-an dan langkah apa saja yang menjadi pekerjaan rumah NU untuk melangka lebih maju. Namun sayang bukan buku utuh yang ditulis satu tim atau satu orang (perorangan), akan tetapi hasil LKTI yang dimungkin terdapat tumpang tindihnya gagasan.

Dari gasasan diatas, adalah upaya penyegaran memori dan menberikan motivasi bagi elit NU dari PB sampai Ranting untuk selalu berkomitmen dan ikhlas dalam mengerakkan NU sesuai semangat khittah, agar benar-benar membela kepentingan umat secara praksis.dan tidak lagi terjebak politik praktis.

* Penulis:mantan aktivis IPNU Gapura-Sumenep, saat ini menjadi pengelola Taman Baca Surabaya (TMS)

dimuat di NU Online

Read More “Memaknai Ulang Peran NU”

Urgensitas Pendidikan Multikultural untuk Inedonesia ?



Judul Buku :Pendidikan Multikulturalisme
Penulis :Choirul Mahfud
Prolog :Prof. Dr.Syafiq A. Mughni, MA
Epilog :Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan
Penerbit :Pustaka Pelajar
Cetakan :Mei 2008
Tebal :302 hal

Peresensi :Ahmad Shiddiq Rokib*

“Jika Kita memiliki Pemimpin yang mengerti pentingnya keberagaman ( Multikulturalisme ), maka kita dengan sendirinya akan beruntung, tetapi jika kita mengutamakan keseragaman, maka mau tidak mau kita lalu menyimpang dari semboyan ; Bhinneka Tunggal Ika” ( Gus Dur).

Pernyataan Gus Dur, ada benar karena pada saat ini, bangsa Indonesia mengalami disintegrasi yang makin tajam dan kuat intensitasnya berupa sentimen kelompok berbau SARA, dan jika tidak ditanganin secara serius, tidak menutup kemunkinan bangsa sebesar Indonesia, akan terjadi perpecahan dan perang antar saudara, akibat tidak memahami arti perting perbedaan antar elemen bangsa.

Dalam buku Tantangan Multikulturalisme di Indonesia, karangan Prof. Nur Syam, bahwa pasca reformasi, gerakan keagamaan yang cendrung radikal seperti momentum yang sangat kuat untuk berkembang. Gerakan keagamaan seperti ini ditandai dengan sekuarang-kurangnya tiga hal, yaitu: kembali kepada islam sebagaimana dilakukan oleh ulama sholeh, penerapan syariah dan khilafah islamiyah, dan kecendrungan menolak produk barat. Gerakan teo-demokrasi tentunya bukan isapan jempol. Gerakan ini berkembang, terutama dikalangan generasi muda, karena tawaran-tawaran problem solving yang dianggap relevan ditengah berbagai kehidupan yang semakin kompleks, padahal hanya kamuflase.

 Nah, menurut pandangan orang-orang memahami multikulturalisme, perbedaaan kebudayaan adalah bagian dari ciri kehidupan bermasyarakat dan merupakan keniscayaan yang harus dihargai. Makanya, di dalam kerangka saling menghargai pemahaman itu diharuskan untuk saling tidak memaksakan pendapat, apalagi yang menyangkut kepentingan publik yang multikultural.

Untuk kepentingan tersebut, buku Pendidikan Multikultural choirul Mahfud ini, menjadi penting dan sangat mendesak dinegara yang masyarakatnya semakin majemuk. Karena pertama penyelenggaraan pendidikan multikultural diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi dimasyarakat, khususnya yang kerap terjadi di Indonesia yang secara realitas prural. Dengan kata lain pendidikan multikultural dapat dijadikan sarana alternatif pemecahan konflik sosial, budaya dan gerakan keagamaan masyarakat yang cendrung puritan. Spektrum kultul masyarakat Indonesia yang amat beragam ini, menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi sesuatu aset, bukan sumber perpecahan. 

Kedua upaya pembinaan terhadap siswa agar tidak tercerabut dari akar budaya indonesia yang dimeliki sebelumnya, tatkala ia berhadapan dengan dengan realitas sosial-budaya diera globalisasi, pertemuan antar budaya menjadi ancaman serius bagi anak didik. Ketiga mengujudkan masyarakat yang multikutural, sebab dalam masyarakat Indonesia yang multikultural dengan bhinneka tunggal ika bukan hanya dimaksudkan keanekaragaman suku bangsa an sich, melainkan juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat indonesia secara keseluruhan. Eksistensi keragaman kebudayan tersebut selalu dijaga yang bisa tampak dalam sikap saling menghormati, menghargai, toleransi antar kebudayaan lainnya (hal, 236). 

Dengan pendidikan multikultural tersebut dapat membuahkan hasil harmonisasi agama. Artinya, didalam harmoni itu terpancar “kesadaran bersama” untuk mengujudkan agama sesuai dengan fitrahnya masing-masing akan tetap toleransi dan tenggang rasa yang mendalam mengenai adanya perbedaan dan sekaligus kesamaan didalam agama-agama. 

Kesalehan teologis adalah ciri khas masing-masing agama yang tidak bisa dikompromikan, namun kesolehan sosial adalah adalah ruang humanitas yang bisa ditoleransikan dan sekilgus dikerjasamakan. Dan islam sendiripun, perbedaan budaya adalah bagian keniscayaan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan sekaligus mengakui dan menghargai perbedaan yang ditampakkan dengan wajah bangsa, etnis, tradisi, dan berbagai tindakan lokal yang bersifat diversifikatif.

Kehadiran Buku ini, merupakan salah satu karya penting yang bisa dijadikan rujukan bagi seluruh elemen masyarakat yang ingin menelaah secara lebih mendalam tentang diskursus pendidikan multikultural yang saat ini sedang ramai diperbincangkan oleh berbagi kalangan, baik akademisi pendidikan, budayawan, dan aktivis LSM yang sedang mengeluti masalah-masalah multikulturalisme dan pendidikan, termasuk para agamawan yang perhatin pada bangsa yang menghadapi radikalisme agama.

Jadi, indonesia yang seperti mozaik akan semakin kaya keberagaman budaya. Jika multikulturalisme dijadikan landasan menghormati dan menghargai terhadap segala bentuk keberagaman dan perbedaan, baik etnis, suku, ras, agama, maupun simbol-simbol perbedaan lainya menjadi penting untuk ditanamkan dalam dunia pendidikan. Sebab media pendidikan amat strategis untuk menyemai nilai-nilai multikultural dan diyakini mampu mencetak seseorang siapa saja, seperti profesor, koruptor, birokrat, pejabat maupun penjahat. Sehingga, dirasa kurang dan tidak menjadi manusia Indonesia yang baik, kalau tidak mengerti sekaligus mengenal multikulturalisme.
Waallahu a’lam bi al shawab.


*) Penulis mahasisawa IAIN Sunan Ampel Surabaya, pengelola Pena Pesantren Surabaya.
Read More “Urgensitas Pendidikan Multikultural untuk Inedonesia ?”

Strategi Politik Kebudayaan Ulama



Judul Buku : LESBUMI, Strategi Politik kebudayaan 
Penulis : Choirotun Chisaan
Penerbit : LKIS, Jogjakarta
Cetakan : I, Maret 2008
Tebal : xvi+247 hal

Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Keberadaan NU sebagai payung dari komunitas keagamaan memang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai budaya. Sebagai kelompok keagamaaan yang dibangun diatas otoritas tradisi, budaya menjadi pilar tidak terpisahkan dalam tata sosial NU. Sebagai organisasi keagamaan yang lekat masyarakat rural, warna kultur agraris dengan kolektivitas dan komunalitas, sangat tampak dalam tradisi NU.

Dan aktivitas NU, sejak kelahirnya tidak lepas dari politik yang melingkupi gerakan sosial keagamaan. Hal ini, terlihat pada pra kemerdekaan, menjelang kemerdekaan, dan pasca kemerdekaan. Tahun 1950-1960 an terjadi fenomena menarik dari partai peserta pemilu saat masa “demokrasi terpimpin”. Dimana, dalam rangka merebut hati konstetuen kaum seniman dan budayawan. Tak pelak bila peserta pemilu membentuk wadah otonom yang bergerak dibidang seni dan budaya.

Nah, dalam buku karangan Choirotun Chisaan yang berjudul “LESBUMI, Strategi Politik kebudayaan ini, merupakan hasil Tesis pada Program Mester Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Jogyakarta. Berhasil dipertahankan pada akhir Januari 2007, mengulas tentang sejarah berdirinya lesbumi dan kiprahnya pada awal berdirinya di pentas perpolitikan nasional. Dalam benah penulis buku, ada kegelisahan intelektual dan kepenasaranan tentang lesbumi pada masa lalu, yang dinilainya mampu untuk mengatualisasikan diri menjadi organisasi survive. Namun, keberadaan organisasi otonom NU ini, lenyap dari perbincangan sejarah seni-budaya dan politik nasional.

Pada tahun 1950-1960 an, lembaga kesenian dan kebudayaan tumbuh subur, utamanya badan-badan otonom partai, seperti Lembaga Kebudayaan Nasional ( LKN/ yang berfiliasi dengan PNI), Lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra dengan PKI-nya), Lembaga seniman budayawan Muslimin Indonesia (lesbumi yang berada dibawah naungan NU), dan lembaga kebudayaan lain bentukan partai peserta pemilu saat itu.

Menarik untuk dicermati berdirinya Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lebumi), bukan sekedar cari simpati seniman-budayawan tapi juga menyebarkan paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan membentengi umat, di kalangan kaum seniman dan budayawan dari pengaruh dan paham komunis. hal ini, di perkuat testimoni H. Misbach Yusa Biran dalam buku yang ditulis pengurus PW. Fatayat DKI Jogjakata ini, bahwa partai NU tidak terlalu membutuhkan pada lembaga seni dan budaya ini. Lekra yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia ( PKI ), sudah mendapatkan hati masyarakat dan mengakar ke bawah.

Temuan penulis buku ini, tiga peristiwa yang menjadi catatan penting dan menonjol yang patut mendapatkan perhatian serius dalam “momen historis” kelahiran historis. Pertama, dikeluarkannya Manifesto politik pada tahun 1959 oleh soekarno. Kedua, pengarusutmaan Nasakom dalam tata kehidupan sosial-budaya dan politik pada tahun 1960-an.dan Ketiga, perkembangan Lekra (1950), organisasi kebudayaan yang sejak akhir tahun 1950-an dan seterusnya semakin menampakkan kedekatan hubungan dengan PKI baik secara kelembagaan maupun ideologis.

Disamping tiga faktor ekstren yang melingkupi kelahiran Lesbumi juga memperlihakn faktor intern “momen budaya” yaitu, Kebutuhan akan pendampingan terhadap kelompok-kelompok seni budaya dilingkungan nahdhiyyin dan kebutuhan akan modernisasi seni budaya. Dengan mempertimbangkan faktor ekstern dan intern diatas lesbumi lahir dari rahim NU (hal, 120).

Fenomena munculnya Lesbumi adalah kaitan dengan faktor ekstern kedekatan Lekra dengan PKI, hubungan ini dirasa tidak hanya seniman dan budayawan Lesbumi tapi juga seniman dan budayawan “non-partai”. Tidak terbantahkan lagi kelahiran Lesbumi merupakan reaksi umum dari kedekatan Lekra-PKI dan perumusan tujuan pendefinesian ‘agama’ sebagai unsur nation bulding yang sedang dijalankan bangsa indonesia, khususnya di bidang kebudayaan.

Landasan tujuan itulah, kemudian membentuk konsep yang ditawarkan pada kesenian dan kebudayaan indonesia. Dalam upaya mencari titik persesuaian secara positif, Lesbumi mengedepankan pandangan “humanisme religius”.suatu landansan yang bertumpu pada ke-tauhid-an dan ke-manusia-an. konsep ini dikenal dikalangan seniman dan budayawan Lesbumi Hablum minallah dan Hablum minan naas.

Dari konsep yang ditawarkan Lesbumi tadi, menjadikan buku ini layak di apresiasi oleh pengkaji keislaman baik kalangan NU, pengamat islam ke-indonesia-an, praktisi kesenian dan kebudayaan. Sebab, belum adanya buku yang secara khusus mengulas lesbumi dalam konteks “polemik kebudayaan” kurun waktu 1950-1960 dan mampu menyajikan perspektif berbeda sekali sekaligus baru tentang NU, dalam padangan NU tentang relasi agama dan politik perspektif kebudayaan.

Sehingga buku ini, mampu dengan jitu menunjukkan dibentuknya Lesbumi tidak hanya sekedar counter responses kedekatan Lekra-PKI yang banyak diyakini oleh banyak pihak, tapi justru harus dilihat dari dua momen historisnya, yakni politik dan kebudayaan yang melingkupinya. Dengan ini, kehadiran Lesbumi dianggap sebagai penanda kemodernan ditubuh NU. 

Modern jika dilihat dari pandangan NU-melalui Lesbumi yang sama sekali baru terhadap seni-budaya, dan Modern jika dilihat dari personifikasi ketiga pendirinya; Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul sani. Inilah respon NU terhadap modernitas, terutama menyangkut relasi agama dan politik dalam kemusliman melalui pendefinian ulang seni-budaya “islam”

Akhirnya, dengan sedikit bertanya pada generasi dan pejuang NU, mampukah mengembalikan mendefinesikan ulang nilai-tujuan perjuangan NU. dan akankah lahir ide kreatif tokoh-tokoh seperti Djamaluddin Malik, Usmar Islmail dan Asrul Sani, Jilid II ditubuh organisasi terbesar di Indonesia ini..? Waallahu A’lam bis Showab.

*) Penulis Mantan Aktivis IPNU Gapura Sumenep, Aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya

Read More “Strategi Politik Kebudayaan Ulama”

Profil pena Pesantren

pena pesantren adalah lembaga yang mewadahi kreativitas santri, mahasiswa, akademisi yang mempunyai latar belakang pesantren dan atau peduli pada upaya-upaya pemberdayaan pesantren, jadi blog ini sebagai jawaban alternatif atas ketidak berdayaan pesantren menghadapi tantangan Global. 
Read More “Profil pena Pesantren”