Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

IDEOLOGI POLITIK GUS DUR


Judul Buku :Pemikiran dan Sikap Politik GUS DUR
Penulis : Dr. Ali Masykur Musa, M.Si, M.Hum.
Penerbit : Erlangga, Jakarta
Cetakan : I, Januari 2010
Tebal : 162 hal.
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Sebagai Intelektual Indonesia bulan oktober 1999 KH. Abdurrahman Wahid, yang hampir buta dan baru sembuh dari stroke parah, terpilih sebagai presiden Indonesia keempat. Tokoh panutan yang sangat dihormati karena pengabdiannya pada masyarakat, demokrasi, dan Islam toleran tampil dengan pribumisasi Islam, dengan konsep ahlus sunnah wal jamaah yang menjadi jalan tengah dan mampu mengakomodasi kesenjamgan antar elemen masyarakat. Tentu aswaja yang menjadi doktrin terbuka lebih dekat pada yang inklusif atau pribumisasi islam. Yaitu corak yang islam yang memiliki kedekatan bahkan mengakomodasi budaya lokal.

Bahkan ia menyerukan ditemukannya cara pandang Islam terhadap dunia atau weltanchauung Islam. Dengan menemukan cara pandang ini, Islam bisa tampil dengan wajah yang lebih akomodatif terhadap lokalitas pemeluknya, karena praktik-praktik lokal itu tidak mutlak ditolak, melainkan akan masuk dibawah bingkai weltanchauung Islam itu. Maka ia mengusulkan digantinya ucapan salam yang berbahasa Arab itu dengan “selamat pagi”, misalnya. Karena toh sama-sama merupakan ekspresi dari harapan akan keselamatan. Ia mengklaim mekanisme dari Islam itu sendiri. Dengan konsep desakralisasi dan sekuralisasi (bukankah penyaringan seperti itu sudah tersedia dalam metodologi Islam), yaitu berupa teori ‘adah dan ‘urf
Buku yang ditulis oleh Ali Masykur Moesa ini, adalah upaya anak ideoligis Gus Dur untuk mengenang sekaligus menjelaskan gagasan besar dan bagaimana peranannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gus Dur, persepektif buku ini, adalah sosok yang tidak tinggal diam dan “berpangku tangan” menyaksikan apa yang terjadi dalam kehidupan bangsanya. Ia tidak hanya berkata-kata, tapi juga bertindak. Mengambil sikap tegas terhadap apa yang ia pikir patut untuk dibantu atau dibela. Sejumlah peristiwa nasional yang terjadi semasa hidupnya, baik aspek kehidupan beragama, bermasyarakat maupun berpolitik, yang secara langsung melibatkan dirinya, adalah contoh totalitas Gus Dur dalam pemikiran dan perbuatan. Ia selalu berdiri didepan dan siap mengambil risiko apa pun untuk membela orang-orang yang secara politik lemah dan tertindas.

Selain memaparkan pemikiran politik Gus Dur dan wawasan kebangsaan dalam perspektif NU, penulis buku ini juga ingin membuktikan bahwa pemikiran NU tidak sekonservatif dan setradisional seperti ditudingkan oleh beberapa pengamat. Secara internal, NU hingga saat ini telah mengalami pembaruan pemikiran baik dalam tataran keagamaan maupun kemasyarakatan dan kenegaraan.

Menurut KH. Abdurrahman Wahid, jika kita memiliki Pemimpin yang mengerti pentingnya keberagaman ( Multikulturalisme ), maka kita dengan sendirinya akan beruntung, tetapi jika kita mengutamakan keseragaman, maka mau tidak mau kita lalu menyimpang dari semboyan; Bhinneka Tunggal Ika. Pernyataan ini, ada benarnya karena pada saat ini, bangsa Indonesia mengalami disintegrasi yang makin tajam dan kuat intensitasnya berupa sentimen kelompok berbau SARA, dan jika tidak ditangani secara serius, tidak menutup kemunkinan bangsa sebesar Indonesia, akan terjadi perpecahan dan perang antar saudara, akibat tidak memahami arti perting perbedaan antar elemen bangsa.

Kemudian dalam prinsip dasar sistem negara dalam Islam yaitu assyura (permusyaratan), Gus Dur berpandangan hal itu sangat tergantung pada batas hak dan kewajiban yang berlaku dalam suatu negara. Di sinilah, menurut Gus Dur, pentingnya merumuskan sejumlah kerangka pemikiran bagi pengembangan pemikiran negara dalam pandangan Islam, yang memasukkan dalam dirinya pemikiran politik yang dasar. Menurutnya, hal ini menjadi penting karena beberapa sebab. Pertama, bagaimapun Islam tidak kenal agama dan politik. Kedua, adanya kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam berbagai bidang kehidupan perlu juga dicermati pemikiran diluar Islam, misalnya Pancasila. Ketiga, perlu adanya keharusan pemeliharan keseimbangan antara konsep pemikiran tersebut. Misalnya, Islam diajukan untuk merumuskan pandangan positif dan konstruktif dalam kehidupan, seperti bidang keluarga berencana, perkawinan, kelangsungan hidup anak, dan pembinaan keluarga. (hal, 96)

Sedangkan kekuasaan negara harus berjalan sebagai operasionalisasi dari dalil naqli yang menghendaki agar terjadi proses permusyawaratan antara pemimpin dan yang dipimpin. Dalam hal ini, ia mengkritik para pemikir Islam terdahulu yang hanya merumuskan hak dan kewajiban rakyat pemerintah, tapi kurang memikirkan hak dan kewajiban rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Menurutnya hak dan kewajiban seorang pemimpin negara memang dirumuskan secara teliti, namun tidak diberikan perhatian cukup besar pada bagaimana hak-hak dan kewajiban kewajiban itu secara organik dengan hak dan kewajiban warga negara, baik secara individu maupun secara kolektif. Dengan kata lain, pemikiran negara selalu berurusan dengan pembagian kekuasaan antara yang memerintah dan diperintah.

Meskipun, dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya, Gus Dur telah membuktikan bahwa ia adalah pejuang sejati yang tidak mengenal lelah, bahkan hingga akhir hidupnya. Pemikiran politik Gus Dur dan paham kebangsaan yang dikembangkannya selalu integratif dan inklusif dengan dinamika berbangsa dan bernegara. Terlepas dari potret Gus Dur yang penuh warna itu, usul pemberian gelar pahlawan Nasional kepadanya patut disandangkan karena ia tokoh besar yang pernah dimiliki bangsa ini.

Buku setebal 162 yang sebagian besar uraian menyangkut pemikiran politik Gus dur ini, merupakan hasil tesis pada pascasarjana bidang ilmu sosial dan ilmu politik UI yang berjudul “pemikiran politik Nahdlatul Ulama periode 1987-1994” dapat memberikan tambahan referensi pada pembaca untuk mengenal Gus Dur secara lebih komprehensif, terutama ketika terkesan tidak umum, nyeleneh, dan melawan arus. Gus Dur pun seperti mozaik kaya yang takkan pernah lekang oleh zaman.

*)Penulis adalah Gusdurian, aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya
Read More “IDEOLOGI POLITIK GUS DUR”
ad

Jejak Pengunjung

Mengenai Saya

Foto saya
saya adalah alumni pesantren desa yang jauh dari heruk pikuk informasi dan teknologi, jadi saya berkomitmen untuk memakmurkan pesantren dalam rangka memberdayakan masyarakat kecil

Labels