Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

Korupsi dilingkaran Kekuasaan


Judul Buku : Kekuasaan Dan Perilaku Korupsi
Penulis        : Saldi Isra
Pengantar  : Mochtar Pabottinggi
Penerbit     : KOMPAS
Cetakan      : I, Januari 2009
Tebal           : xIii +210 hal
Peresensi    : Ahmad Shiddiq Rokib*

Buku Saldi Isra berjudul kekuasaan dan perilaku korupsi merupakan kumpulan tulisan tentang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur pemerintah. Kegelisahan dosen Hukum Tata Negara andalas cukup beralasan atas perilaku tangan-tangan jahil. Seperti dalam pengantar buku ini, Mochtar Pabottinggi mengatakan ada kesalahpahaman dalam memaknai korupsi, sehingga antara pelaku dan masyarakat merasa perilaku tersebut adalah hal yang biasa dan dapat dimafhumi dalam kekuasaan dengan kata lain korupsi sebagai budaya dan terbudayakan.

Memerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, dari sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan. Mati satu tumbuh seribu, kata pepatah.

Salah satu kekeliruan upaya pemberantasan korupsi selama ini adalah terlalu fokus pada upaya menindak para koruptor. Sedikit sekali perhatian pada upaya pencegahan korupsi. Salah satunya lewat upaya pendidikan antikorupsi. Terakhir, era reformasi melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selain diserahi tugas penindakan, juga tugas pencegahan tindak pidana korupsi.

Pendidikan anti korupsi sebagai Jawaban

Tidak ketinggalan banyak pada peranan birokrasi pendidikan pun. Bukan rahasia lagi, jika praktek korupsi di sekolah juga memiliki korelasi dengan lembaga di atasnya, seperti dinas pendidikan. Mereka menikmati keuntungan melalui setoran-setoran atau jasa tanda terima kasih, malah tidak sedikit yang aktif menjadi bagian dari rantai korupsi di sekolah. Dengan demikian, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum kurikulum antikorupsi diterapkan. Mulai mereformasi institusi pendidikan, sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan kekuasaan antara kepala sekolah, guru, dan orang tua murid. Selain itu, terus mendorong upaya peningkatan kesejahteraan guru atau dosen. 

Tentu saja, akan ada perlawanan dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan dari praktek korupsi di institusi pendidikan. Tapi tidak ada pilihan lain, institusi pendidikan sebagai benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi sudah menjadi tempat mempromosikan korupsi, karena itu harus direbut. Kalau itu semua sudah dilakukan, tanpa menggunakan kurikulum antikorupsi pun dengan sendirinya sekolah akan menjadi tempat mempromosikan nilai-nilai antikorupsi, karena memang itu khitahnya.

Ide memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum mendapat respons positif masyarakat. Hasil jajak pendapat harian Seputar Indonesia terhadap 400 responden (27/5), sebanyak 87% menyatakan perlunya memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum. Keyakinan masyarakat juga relatif besar. Hampir 200 responden menyatakan keyakinannya bahwa pendidikan antikorupsi bisa berjalan efektif membendung perilaku korupsi di Indonesia

Pokok Bahasan dalam Mata Ajaran. Pertanyaan muncul, haruskah pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran tersendiri? Mestinya tidak, sebab hal ini malah akan menyusahkan anak didik. Saat ini peserta didik sudah demikian sesak dengan melimpahnya mata pelajaran yang harus dipelajari dan diujikan. Dikhawatirkan anak didik akan terjebak dalam kewajiban mempelajari materi kurikulum antikorupsi. Bisa jadi yang akan muncul adalah kebencian dan antipati pada mata pelajaran antikorupsi. Bukannya pemahaman dan kesadaran antikorupsi.

Pendidikan Nilai, Pendidikan antikorupsi bagi siswa SD, SMP, dan SMU akhirnya memang mengarah pada pendidikan nilai. Pendidikan antikorupsi yang mendukung nilai-nilai kebaikan. Pendidikan yang mendukung orientasi nilai, mengutip Franz Magnis Suseno, adalah pendidikan yang membuat orang merasa malu apabila tergoda untuk melakukan korupsi, dan marah bila ia menyaksikannya.

Menurut Franz Magnis Suseno, ada tiga sikap moral fundamental yang akan membikin orang menjadi kebal terhadap godaan korupsi: kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab. Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi. Menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Seseorang perlu berperilaku jujur bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk.

Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Magnis mengatakan, bersikap baik tetapi melanggar keadilan, tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju kebaikan. Tanggung jawab berarti teguh hingga terlaksananya tugas. Tekun melaksanakan kewajiban sampai tuntas. Misalnya, seoarang diberi tanggung jawab mengelola dana kegiatan olahraga di tempatnya tinggal. Rasa tanggung jawab seseorang terlihat ketika dana dipakai seoptimal mungkin menyukseskan kegiatan olahraga. Menurut Magnis, pengembangan rasa tanggung jawab adalah bagian terpenting dalam pendidikan masyarakat menuju kedewasaan. Menjadi orang yang bermutu sebagai manusia.

Nah, buku Saldi Isra ini, mampu menguraikan dengan bahasa sederhana dan gamblang, perihal korupsi yang begitu rumit, mengurita, dan melibatkan segala kekuasaan. Argumen cerdas didukung data kuat.. sehingga buku setebal 209 halaman ini patut dibaca oleh segala kalangan yang peduli akan pemberantasan korupsi dan membangun nalar anti korupsi.

*) Alumni Pondok Nasy Atul Muta’allimin Sumenep, dan pengelola pondok Budaya ikon Surabaya. 

1 komentar:

poetra-zhareank mengatakan...

dik skrng kul dmn??? px alamt email gak??? makin keren az

Posting Komentar