Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

Gur Dur dan Konflik PKB


Judul Buku :GUS DUR GARIS MIRING PKB
kumpulan Tulisan Khusus Tentang Gus Dur dan PKB
Penulis :A.MUSTOFA BISRI
Penerbit :Mata Air Publishing
Cetakan :I, Mei 2008
Tebal :137 hlm
Peresensi :Ahmad Shiddiq Rokib*


Boleh dibilang antara K.H. Abdurrahman Wahid yang biasa dikenal Gus Dur dan K.H. A.Mustofa Bisri atau Gus Mus. Ibarat, dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan apalagi kedua tokoh tersebut memang lengket sejak menempuh studi ke Negeri para Nabi ( Mesir ) hingga kembali ke Tanah Air, meskipun keduanya beda jalan dalam mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan ummat dan bangsa. Gus Dur sibuk dengan mengurus partai politik (PKB) sebagai instrumen, sedangkan Gus Mus sendiri lebih banyak menyapa ummat lewat tulisan, lukisan, dan pengajian. namun keduanya bisa saling mengisi dan melengkapi satu sama lain.

Ada banyak hal, yang membedakan kedau tokoh ini, salah satunya adalah kalau Gus Dur lebih banyak melontarkan pernyataan kontroversial, sehingga gaya yang seperti itu banyak orang rasan-rasan dan menimbulkan pro-kontra, ada yang benci oleh sebagian orang sekaligus dipuji oleh pengagumnya. Gus Mus yang bergelut dengan sastra yang identik dengan estetika ( keindahan ) dan kelembutan membuat kyai bersahaja selalu menjadi penengah atau mengakurkan orang yang bertikai, tidak terkecuali saat konflik menyerang Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB ) dan sering kalangan yang berkonflik menyebut-nyebut namanya untuk segera turun gunung meredakan api yang membara.

Buku yang ditulis oleh Gus Mus yang berjudul ”GUS DUR Garis Miring PKB, Kumpulan Tulisan Khusus Tentang Gus Dur dan PKB” ini merupakan respon seorang kyai kesohor sekaligus pendiri partai berlambang bola dunia dengan dikelilingi bintang sembilan, terhadap konflik yang tak kunjung usai, meskipun sudah banyak makan korban atau lebih tepatnya adanya kepentingan tidak terakomodasi secara rapi.

Bisa dibayangkan, sudah tujuh kali menyelenggarakan Muktamar hampir semuanya menjadi catatan merah ditangan Gus Mus. Ada yang menarik dari apa yang dituturkan oleh pengasuh pondok Roudhotut Thalibin ini, apa yang yang menjadi kemelut ditubuh partai yang selalu meneriakkan jargon “Membela yang benar” disebabkan. Pertama terpilih Gus Dur sebagai Dewan Syuro untuk pertama kali di Surabaya dan masih menjadi Presiden RI dengan Dewan Tanfidznya H.Mathori Abdul Djalil. Sejak itulah, PKB identik dengan Gus Dur atau sebaliknya Gus Dur identik dengan PKB, tepatnya Gus Dur menjadi institusi sendiri dalam partainya. Kedua Gus Dur yang merupakan tokoh besar untuk PKB, sehingga, mempersempit sekaligus tidak menyisakan ruang gerak bagi kader-kader PKB. Seperti, Mathori Abdul Jalil, Alwi Shihab dan yang terakhir A. Muahimin Iskandar menjadi wujuduhu Ka ‘adamihi, adanya seperti tidak adanya.

Ketiga lemahnya kader partai yang belum matang berorganisasi dan belum terbiasa berpartai, sehingga memperparah sekaligus memicu ketidak stabilnya organisasi. Konflik yang terjadi antar elit ditubuh partai besar ini, seharusnya bisa diminimalisir oleh kubuh yang berseberangan dan tidak perluh mengikut sertakan pengikut yang tidak tahu apa-apa.

Gus Mus sendiri telah mewanti-wanti untuk menyelesaikan persoalan yang tidak berujung secara kekeluargaan sebab tidak akan menguntung pada PKB sendiri, utamanya kyai dan warganya yang mulai kebingungan bahkan kecewa oleh tingkah laku pembesar partai. Dari ini Gus Mus, sering melayangkan surat berupa masukan maupun teguran pada partai, meskipun pada diri Gus Mus sendiri harus mengorbankan perasan demi terciptanya tatanan yang harmonis dan mengujudkan tujuan awal dibentuknya partai yang harapkan menampung aspirasi warganya. Misalnya, surat yang ditujukan pada Pinpinan Partai berisi tentang keresahan warga NU atas perilaku pinpinan yang sibuk bertikai dan kebijakan yang diambil DPP seringkali menimbulkan keributan dibawah tanpa memberikan klarifikasi yang jelas. Dari klarifikasi tersebut menjadi semacan jembatan pada tingkat akar rumput agar tidak meninbulkan pro-kontro antar pendukung.

Namun disatu sisi, Gus Mus menjadi seorang romantisme sejati terhadap sahabatnya, ini terlihat dari surat Gus Mus yang ditujukan pada Gus Dur, dengan maksud merindukan sosok yang dianggap selalu demokrat, egalitarian, dan romantis yang dibangun sejak kuliah dimesir, berubah legal-formal lantaran jarak kekuasan, yang menurutnya mengurangi keakraban antara keduanya. Dengan sangat indah ia menulis kata-kata, layak orang kasmaran dan tak lupa diselah-selah kalimat romantisnya menyelipkan pesan agar orang disayangi itu tidak terjebak pada bithanaah lantaran ia berpandangan tokoh sebesar Gus Dur pasti akan dikerumuni banyak orang yang mempunyai kepentingan untuk diri sendiri.(hal 123)

Kumpulan tulisan tentang Gus Dur dan PKB yang tersebar diberbagai media ini ditulis dengan gaya fimilar, mudah dicernah siapapun, membuat orang yang membaca ingin melanjut kata demi kata dan judul demi judul. Demikian juga buku ini patut dibaca oleh para politisi, simpatisan partai, dan insan akademis yang menaruh perhatian pada perjalanan sebuah partai besar. Disamping masih ada kekurangan yang tidak begitu subtansial seperti kesalahan pengetikan teks dan tidak ada tanggal penulisan yang jelas. Namun, patut mendapat apresiasi, hal ini membuktikan bahwa ia memang menaruh perhatian besar dan menyayangi Gus Dur dan PKB.

Meskipun demikian, tetap saja konsekuensi yang barangkali sangat disadari oleh Gus Gur sendiri dari sikapnya yang tidak suka mememdam sikap dan cueknya terhadap reaksi pro-kontra orang lain, Gus Dur pun menjadi tokoh kontroversial sejati yang dipuja sekaligus dalam waktu yang sama dibenci. Konsekuensi ini justru lebih merugikan pihak yang memuja dan membencinya, ketimbang Gus Dur sendiri, bukankah begitu, Gus ?.

*) Penulis : Mantan Aktivis PAC. Ikatan Pelajar NU Gapura-Sumenep dan saat ini studi di IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar