Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

Tokoh Legendaris Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah


Judul Buku :MENGENAL K.H.NAWAWI Berjan Purworejo, Tokoh diBalik Berdirinya Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah
Penulis :Drs.HR.Mahsun Zain, Dkk ( Tim PP . An-Nawawi )
Pengantar :K.H.Ahmad Idris Marzuki
K.H.Maimoen Zubair
Penerbit :Khalista Surabaya
Cetakan :I, Agustus 2008
Tebal :xx+184 hlm
Peresensi :Ahmad Shiddiq Rokib*

Dunia tasawwuf muncul akibat kepongahan kelompok umat islam yang merasa tidak puas dengan kedekatan diri mereka kepada tuhan melalui ritual-ritual formal seperti sholat, puasa, dan sebagainya. Mereka ingin mencapai intisari ibadah yaitu adanya kesadaran akan adanya komunikasi antara roh manusia dan tuhan. Kesadaran inilah yang pada akhirnya memunculkan ajaran-ajaran tasawwuf baik yang hanya disampaikan secara lisan dari seorang guru kepada muridnya maupum yang ditulis dalam bukunyasemisal Ihya Ulum al-din Oleh al-Ghazali. Bahkan pada abad XII Masehi ikatan guru dan murid dalam kontek usaha transfer ajaran ( tranfer of doctrine) mulia terorganisir yang dikenal dengan nama tharikat.

Adalah K.H. Nawawi bin Shiddiq yang merupakan mursyid thoriqah sekaligus pendiri Organisasi Jam’iyyah Thariq al-Mu’tabarah yang cukup dikenal dan patut menjadi tokoh teladan oleh segenap guru dan santri thoriqat dari berbagai aliran utamanya Thariqah Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah dan umumnya seluruh muslim-muslimat dipenjuru tanah air ini. Pasalnya, derajat yang tinggi dalam beberapa kepengurusan organisasi sosial kemasyarakatan baik dalam lingkup organisasi Nahdhtul Ulama (NU), Thariqh, dan sebagainya, tidak menjadikan “ menyembulkan” keluar dari jati dirinya. Tetap mampu menahan godaan pengaruh kewibawaan, yang kini banyak dicari orang.
Posisinya yangat strategis sebagai salah seorang pendiri dan pelopor berdirinya Jam’iyyah Ahli Thariqh Al-Mu’tabarah yang dideklarisikan di Pondok Pesantren Tegalrego Magelang pada tahun 19-20 Rabi’ul Awal 1377 H. /12-13 Oktober 1957 M. Tidak dijadikannya ajang untuk mencari keuntungan Pribadi. Beliau, seorang kyai yang matang dalam berorganisasi khususnya di NU dan Thariqah Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah, tidak pernah mbalelo dalam masa pengabdian yang panjang, banyak kawan sederhana, tidak neko-neko, namun tetap dihormati oleh kalangan tua dan digandrungi anak muda.

Jadi tidak heran, jika semua dilakukan hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Sebab ulama pengasuh Pondok Pesantren ini, seperti ynang dituturkan oleh K.h. Ahmad Idris Marzuki pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri bahwa ia mengawali karir pengabdiannya dengan menimbah ilmu pada beberapa pesantren di Jawa Tengah dan Jawa timur. kesederhanaannya dalam hidup, diwarisi dari ayahandanya K.H.Shiddiq bin Zarkazi, dan nampak jelas dalam ingatan teman-teman selama enam tahun mondok di pondok lirboyo Kediri yang diasuh oleh Syech Abdul Karim bahwa penghidupannya terlalu sederhana karena diperoleh dengan jalan “ buruh ngeseh kitab ” pada teman-temannya.

Semangat pengabdian kepada umat pula yang memompa keprihatinannya menyaksikan pada masanya, banyak terjadi penyimpangan dalam ajaran thariqat. Keprihatinannya inilah yang menuntutnya menemukan ide brilian dengan memprakarsai terselenggaranganya kongres I Alim Ulama Thariqah Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah pada tanggal 12-13 Oktober 1957 dan pada saat ini pula dideklarasikannya Jam’iyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah. Sebelumnya beliau membuat kesepakatan antara K.H.Nawawi Berjen dengan K.H. Masruhan Brumbung pada tanggal 31 Desember 1955 untuk meluruskan dan menyepakati perlunya membentuk jam’iyah tharikat shohihah karena ditengarai terjadi penyimpangan ajaran dan tidak terorganisirnya pengikut thoriqat. Demi memuluskan ide tersebut beliau berkeliling untuk silaturrahim pada pengasuh pondok-pondok yang ada di Jawa tengah dan Jawa Timur ( hal 96).
Disamping itu, beliau adalah sosok pemikir yang tidak kalah produktif dengan pemikir kontemprer ini, utamanya berkaitan dengan din maupun masalah duniawiyah. Ini terlihat dari sejumlah karya tentang keutamaan al Qur’an, Aqidah, tasawwuf / thariqat, fiqih hingga kemandirian ekonomi dan tata Negara, yang hampir semuanya berbahasa arab dan jawa dengan berbentuk syair. Pada bagian pembahasan tentang tata negara beliau sangat cerdas memeparkan bahwa umat islam indonesia harus bisa menata agama dan negara dengan sebaik-baiknya dan bagaimana rakyat indonesia bisa maju dan mandiri secara ekonomi yang tidak berergantung pada negara asing dan peminpin yang mengelolanya untuk kesejahteraan bersama.

Sungguh, buku ini cukup runtut dalam memaparkan fakta sejarah karena didukung sumber yang terpercaya. Lebih dari itu, buku ini saja memaparkan sejumlah peristiwa tetapi penulisannya telah diberikan penjelasan makna sejarah dan fakta yang ditampilkan, sehingga melalui buku ini, pembaca akan dibuat terkaget-kaget dan kagum akan kebesaran visibelitas sang tokoh dengan segalah karya dan pemikiranya yang boleh dibilang komplit. Sehingga patut direkomendasikan bagi akademisi, peneliti, dan tokoh ulama-intelektual yang ingin mendapatkan fakta baru tentang sejarah thariqat di Indonesia, sekaligus menaruh perhatian pada dunia tasawwuf kontemporer.
Akhirnya, dari sejarah tokoh legendaris ini, kita sebagai generasi dan penerus perjuangan ulama terdahulu bisa mengambil suri tauladannya yang suka pengetahuan, kesederhanaan, mengutamakan orang lain, ikhlas, mandiri, disiplin, sabar dan tak kalah penting cintanya pada tanah air dan bangsa indonesia ini. Luar biasa bukan ?.


*) Santri Pondok Pesantren Luhur Husna dan koorditor Student Association of Moslem Indonesia ( SAMI ) di surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar