Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

Amplop Kletek Gus Mus



Judul Buku :Percik, Coretan & Siratan
Penulis :A.MUSTOFA BISRI
Penerbit :Mata Air Publishing
Cetakan :I, Maret 2009
Tebal :73 hlm
Peresensi :Ahmad Shiddiq Rokib*



Sosok Gus Mus di dunia sastra bukanlah hal baru, aneh dan menakut, meskipun menyandang gelar “ulama”. Memang sastra dan seni merupakan hal universal yang tak terbelenggu oleh sekat-sekat, antara satu manusia ke manusia lain. Dengan demikian, semakin jelas bahwa Gus Mus adalah sosok manusia yang mampu melintasi ruang keulamaannya tanpa harus kehilangan roh dan identitasnya. karya-karyanya berberserakan dalam bentuk buku dan tersebar di berbagai media nasional dan lokal.

Buku berjudul “Percik, coretan & Siratan” ini merupakan kumpulan lukisan Gus Mus yang dilukis pada amplop yang Akan dikirim pada temannya. Seperti yang diceritakan Gus Mus saat dia sedang akan mengamati surat yang hendak dikirim, amplop yang ada didepan mejanya. Tiba-tiba beliau teringat pada pipa rokoknya yang belum dan saatnya untuk di bersihkan, saat dibuka kletek, residu rokok, dalam pipanya menetes ke amplop. sambil membersihkan pipa tadi, beliau memandangi amplop yang putih. Alangkah terkejutnya, ketika melihat keindahan yang belum ia lihat pada lukisan-lukisan warnanya berkarakter dan sulit dicari padanannya.

Saat itulah, Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin ini, makin tidak sabar kalau melihat amplop di depannya dan mulailah corat- coret dengan kleteknya. Ternyata kiriman surat dari berbagai koleganya bermunculan dan mengatakan bahwa ia senang atas gambar kleteknya. Sebagai penyair sekaligus pelukis Gus Mus adalah seorang yang secara total menghayutkan dirinya dalam telaga kehidupan. Dengan berbekal kejujuran nuraninya, ia selalu menghayati dan memberi kesaksian hidup, baik hidup jiwa personal maupun komunalnya.

Penyair atau pelukis seperti dirinya adalah orang berkesadaran bahwa anugerah dan hikmah kehidupan bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain juga. Kesadaran personalnya juga berangkat dari penghayatan sosial karena seorang penyair dan pelukis selalu melakukan apa yang disebut transpersonalisasi atau transubjektivitas kehidupan. Nah, ini yang terlihat dari lukisan dan puisi penjelas lukisannya “Keindahan ada/ dimana-mana/ asal/ kau tahu tempatnya” dan “ketika engkau/ tak menyadari/ keindahanmu/ tiba-tiba engkau semakin indah”.

Sebagai hasil kebudayaan, lukisan memang selalu berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan serta perkembangan masyarakat yang menghasilkan kebudayaan itu.

Kerananya, setiap batasan yang ada seharusnya selalu diperhitungkan sifat relatifnya, dan konteks manakah yang dijadikan pijakan batasan itu. Yang jelas, apapun corak dan ragamnya meniscayakan yang hakiki dan universal.

Buku hasil lukisan Gus Mus ini, seperti diakui, Prof. Edy Sedyawati, meskipun antara amplop dan residu rokok adalah dua media yang tidak ada relevansisinya baik dalam segi fungsi ataupun penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun pandangan Gus Mus dua media ini dapat menciptakan dan mampu melahirkan suatu gagasan untuk di ekspresikan serta dikreasikan menghasilkan karya seni lukis yang unik.

Seperti puisi pinggiran lukisannya .“ seandainya aku sengaja/ melukis gejolak hatiku /tentu aku kesulitan memilih warna /dan/ terutama menyusun komposisinya”
Perbedaaan yang ada diantara dua media tersebut terletak pada titik berat keterkaitan objek, atau “Dunia lukis” yang ditampilkan dengan media, yakni keterkaitan antara pelukis, denga objek itu sendiri, dengan realitas, dan dengan audiensi. Dalam kaitan ini, apa pun yang menjadi titik berat keterkaitannya, tetap terdapat satu hal yang mengikat, yakni bahasa lukisan dan maknanya. Pemanfaatan media ataupun realitas dalam lukisan memang berbeda dengan pemakaian pada umumnya. Hal ini secara intingtif disadari oleh kebanyakan penikmat lukisan, bahkan penikmat tak terpelajar sekalipun.

Dalam sejumlah hal, media lukisan memang menggunakan berbeda dengan sarana sehari-hari atau yang sering kita jumpai, terutama dalam hal strukturnya. Sarana lukisan seolah-olah memiliki/menjadi semacam perangkat khusus. Meskipun terjadi penyimpangan secara normatif, ini di mungkinkan demi pencapaian tujuan estetis. Karya estetis yang memanfaatkan media secara khas, hal ini sejalan dengan pandangan yang menyatakan bahwa jika suatu realitas yang memanfaatkan media lukisan yang bersifat “luar biasa”, maka akan menghasikan yang luar biasa juga.

Al-hasil lukisan Gus Mus inilah yang memang luar biasa, hingga ada seorang kawan pelukis dan pematung yang tertarik pada amplop kleteknya dan mengusulkan untuk dipamerkan, meskipun Gus Mus Sendiri belum yakin amplop-amplop buatannya untuk dipamerkan. Hingga pada suatu saat dari” Rumah Dongeng Indonesia” datang bermaksud untuk memamerkan, kemudian dilaksanakan pada tanggal 20-23 Desember 1997 di Gedung Seni Rupa DEPDIKBUD Jakarta dengan tema “99 Lukisan a. Mustafa bisri”
Demi tercapainya penghatan komunal tadi, buku ini hadir dan merupakan coretan kegelisan Gus Mus atas karya yang luar biasa. Dengan menyajikan lukisan hasil perpaduan antara residu rokok dan amplop yang telah dikirimkan pada kolega lengkap puisi penjelas dengan media atau sarana sepele ini menjadi sesuatu yang tidak bisa disepelekan begitu saja, karya ini patut dibaca dan dinikmati estika lukisan yang secara normatif berbeda dengan lukisan lain. Akhirnya, fungsi lukisan Gus Mus bukan semacam karya yang lain, dimana karya mereka mengambil tempat di dunia seni rupa. Tapi karya-karya Gus Mus ini mengmabil tempat dihati kita, lebih condong kepada “cara-cara itikaf yang memadai” dalam menagurngi lautan kehidupan yang makin hari makin ganas.

*)Penulis Pengelola Pondok Budaya Ikon Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ad

Jejak Pengunjung

Mengenai Saya

Foto saya
saya adalah alumni pesantren desa yang jauh dari heruk pikuk informasi dan teknologi, jadi saya berkomitmen untuk memakmurkan pesantren dalam rangka memberdayakan masyarakat kecil

Labels