Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

Strategi Politik Kebudayaan Ulama



Judul Buku : LESBUMI, Strategi Politik kebudayaan 
Penulis : Choirotun Chisaan
Penerbit : LKIS, Jogjakarta
Cetakan : I, Maret 2008
Tebal : xvi+247 hal

Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Keberadaan NU sebagai payung dari komunitas keagamaan memang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai budaya. Sebagai kelompok keagamaaan yang dibangun diatas otoritas tradisi, budaya menjadi pilar tidak terpisahkan dalam tata sosial NU. Sebagai organisasi keagamaan yang lekat masyarakat rural, warna kultur agraris dengan kolektivitas dan komunalitas, sangat tampak dalam tradisi NU.

Dan aktivitas NU, sejak kelahirnya tidak lepas dari politik yang melingkupi gerakan sosial keagamaan. Hal ini, terlihat pada pra kemerdekaan, menjelang kemerdekaan, dan pasca kemerdekaan. Tahun 1950-1960 an terjadi fenomena menarik dari partai peserta pemilu saat masa “demokrasi terpimpin”. Dimana, dalam rangka merebut hati konstetuen kaum seniman dan budayawan. Tak pelak bila peserta pemilu membentuk wadah otonom yang bergerak dibidang seni dan budaya.

Nah, dalam buku karangan Choirotun Chisaan yang berjudul “LESBUMI, Strategi Politik kebudayaan ini, merupakan hasil Tesis pada Program Mester Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Jogyakarta. Berhasil dipertahankan pada akhir Januari 2007, mengulas tentang sejarah berdirinya lesbumi dan kiprahnya pada awal berdirinya di pentas perpolitikan nasional. Dalam benah penulis buku, ada kegelisahan intelektual dan kepenasaranan tentang lesbumi pada masa lalu, yang dinilainya mampu untuk mengatualisasikan diri menjadi organisasi survive. Namun, keberadaan organisasi otonom NU ini, lenyap dari perbincangan sejarah seni-budaya dan politik nasional.

Pada tahun 1950-1960 an, lembaga kesenian dan kebudayaan tumbuh subur, utamanya badan-badan otonom partai, seperti Lembaga Kebudayaan Nasional ( LKN/ yang berfiliasi dengan PNI), Lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra dengan PKI-nya), Lembaga seniman budayawan Muslimin Indonesia (lesbumi yang berada dibawah naungan NU), dan lembaga kebudayaan lain bentukan partai peserta pemilu saat itu.

Menarik untuk dicermati berdirinya Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lebumi), bukan sekedar cari simpati seniman-budayawan tapi juga menyebarkan paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan membentengi umat, di kalangan kaum seniman dan budayawan dari pengaruh dan paham komunis. hal ini, di perkuat testimoni H. Misbach Yusa Biran dalam buku yang ditulis pengurus PW. Fatayat DKI Jogjakata ini, bahwa partai NU tidak terlalu membutuhkan pada lembaga seni dan budaya ini. Lekra yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia ( PKI ), sudah mendapatkan hati masyarakat dan mengakar ke bawah.

Temuan penulis buku ini, tiga peristiwa yang menjadi catatan penting dan menonjol yang patut mendapatkan perhatian serius dalam “momen historis” kelahiran historis. Pertama, dikeluarkannya Manifesto politik pada tahun 1959 oleh soekarno. Kedua, pengarusutmaan Nasakom dalam tata kehidupan sosial-budaya dan politik pada tahun 1960-an.dan Ketiga, perkembangan Lekra (1950), organisasi kebudayaan yang sejak akhir tahun 1950-an dan seterusnya semakin menampakkan kedekatan hubungan dengan PKI baik secara kelembagaan maupun ideologis.

Disamping tiga faktor ekstren yang melingkupi kelahiran Lesbumi juga memperlihakn faktor intern “momen budaya” yaitu, Kebutuhan akan pendampingan terhadap kelompok-kelompok seni budaya dilingkungan nahdhiyyin dan kebutuhan akan modernisasi seni budaya. Dengan mempertimbangkan faktor ekstern dan intern diatas lesbumi lahir dari rahim NU (hal, 120).

Fenomena munculnya Lesbumi adalah kaitan dengan faktor ekstern kedekatan Lekra dengan PKI, hubungan ini dirasa tidak hanya seniman dan budayawan Lesbumi tapi juga seniman dan budayawan “non-partai”. Tidak terbantahkan lagi kelahiran Lesbumi merupakan reaksi umum dari kedekatan Lekra-PKI dan perumusan tujuan pendefinesian ‘agama’ sebagai unsur nation bulding yang sedang dijalankan bangsa indonesia, khususnya di bidang kebudayaan.

Landasan tujuan itulah, kemudian membentuk konsep yang ditawarkan pada kesenian dan kebudayaan indonesia. Dalam upaya mencari titik persesuaian secara positif, Lesbumi mengedepankan pandangan “humanisme religius”.suatu landansan yang bertumpu pada ke-tauhid-an dan ke-manusia-an. konsep ini dikenal dikalangan seniman dan budayawan Lesbumi Hablum minallah dan Hablum minan naas.

Dari konsep yang ditawarkan Lesbumi tadi, menjadikan buku ini layak di apresiasi oleh pengkaji keislaman baik kalangan NU, pengamat islam ke-indonesia-an, praktisi kesenian dan kebudayaan. Sebab, belum adanya buku yang secara khusus mengulas lesbumi dalam konteks “polemik kebudayaan” kurun waktu 1950-1960 dan mampu menyajikan perspektif berbeda sekali sekaligus baru tentang NU, dalam padangan NU tentang relasi agama dan politik perspektif kebudayaan.

Sehingga buku ini, mampu dengan jitu menunjukkan dibentuknya Lesbumi tidak hanya sekedar counter responses kedekatan Lekra-PKI yang banyak diyakini oleh banyak pihak, tapi justru harus dilihat dari dua momen historisnya, yakni politik dan kebudayaan yang melingkupinya. Dengan ini, kehadiran Lesbumi dianggap sebagai penanda kemodernan ditubuh NU. 

Modern jika dilihat dari pandangan NU-melalui Lesbumi yang sama sekali baru terhadap seni-budaya, dan Modern jika dilihat dari personifikasi ketiga pendirinya; Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul sani. Inilah respon NU terhadap modernitas, terutama menyangkut relasi agama dan politik dalam kemusliman melalui pendefinian ulang seni-budaya “islam”

Akhirnya, dengan sedikit bertanya pada generasi dan pejuang NU, mampukah mengembalikan mendefinesikan ulang nilai-tujuan perjuangan NU. dan akankah lahir ide kreatif tokoh-tokoh seperti Djamaluddin Malik, Usmar Islmail dan Asrul Sani, Jilid II ditubuh organisasi terbesar di Indonesia ini..? Waallahu A’lam bis Showab.

*) Penulis Mantan Aktivis IPNU Gapura Sumenep, Aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar