Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

Jejak Sjahrir yang Terlupa


Judul : Mengenang Sjahrir. Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan
Penulis : H. Rosihan Anwar
Penerbit : Gramedia, Jakarta
Cetakan : I, Marat 2010
Tebal : 508 hal.
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Kedewasaan berpikir suatu bangsa dapat diukur dari sikap terbuka untuk membicarakan kembali secara rasional dan wajar tokoh-tokoh sejarahnya. Pembicaraan kembali itu menunjukkan adanya kebutuhan rohani untuk meninjau kembali penilaian mereka sehingga dapat dicapai suatu persepsi yang lebih matang tentang tokoh-tokoh yang bersangkutan. Usaha ini mencerminkan dinamika bangsa itu, yang senantiasa berikhtiar untuk wawas diri dalam rangka mengenal diri secara lebih mendalam. Dari pengenalan diri itu diharapkan tumbuh strategi pembangunan manusia dewasa.

Tema sentral buku Sjahrir yang ditulis oleh wartawan senior, dari kumpulan karangan ini adalah seorang tokoh nasional yang secara menentukan telah memberi arah dan isi kepada arus revolusi Indonesia dalam suatu kurun sejarah yang penuh emosi dan kekacauan. Jangka waktu hidupnya yang merentang lebih dari setengah abad (lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, 5 Maret 1909 dan meninggal 9 April 1966 di Zurich, Swiss) penuh dengan tantangan dan perjuangan. Dia tumbuh sebagai manusia utuh. Dia menjadi korban orang yang bersikap tak acuh dan membencinya, sekaligus menjadi pujaan banyak orang yang mengagumi dan mencintainya. Penilaian yang objektif terhadap tokoh yang sudah meninggal ini sekarang sangat dibutuhkan oleh generasi tua dan muda. Dan bangsa ini ditantang untuk mengukur kedewasaan berpikirnya dalam menilai kembali kepribadian Sjahrir.

Sjahrir, menyelesaikan sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan pada 1926. Sejak remaja, ia sudah menggemari berbagai buku-buku asing dan novel Belanda. Juga senang seni, dimana kadangkala ia mengamen di Hotel de Boer, hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih. Setamat dari MULO, ia masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung. Di sekolah ini, bakat seninya makin berkembang setelah dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis). Di sini, ia berperan sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor.

Dalam perjalanannya, akhir tahun 1931, Syahrir kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Ia bergabung dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), yang kemudian pada Juni 1932 dipimpinnya. Ia pun mempraktekkan dunia proletar di tanah air. Ia terjun dalam pergerakan buruh. Juga banyak menulis tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Juga sering berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Kemudian, Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia. Hatta menyusul kembali ke tanah air pada Agustus 1932. Hatta tampil memimpin PNI Baru bersama Syahrir. Organisasi ini berhasil mencetak kader-kader pergerakan. Bahkan pemerintahan kolonial Belanda menilai, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru itu justru lebih radikal daripada gerakan Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. Menurut polisi kolonial, PNI Baru cukup setara dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi, tetapi secara cerdas, berhasil mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.Sehingga, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda memenjarakan dan membuang Syahrirdan Hatta, serta beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul. Setelah hampir setahun Syahrir dan Hatta dipindahkan ke Banda Neira, di sini mereka menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

Pada masa pendudukan Jepang, Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif
Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.

Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan." Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan. (hlm, 56)

Mengenang Sjahrir adalah kumpulan karangan dari kenalan-kenalan Sjahrir. Mereka memahami makna julukan "Bung Sjahrir", "Bung Kecil". Kata-kata itu menunjukkan hubungan emosional mereka. Bacaan ini tidak hanya dimaksudkan untuk generasi tua yang punya kenangan tentang Sjahrir, tetapi terutama untuk generasi muda yang ingin menentukan sikapnya sendiri terhadap tokoh-tokoh nasional. Setiap generasi merasa perlu menentukan sendiri makna sejarah setiap tokoh nasional dengan melihatnya dari sudut keperluan, aspirasi, dan nilainya sendiri.Usaha suatu bangsa untuk secara terus-menerus menginterpretasikan kembali sejarah nasionalnya memang sarana mutlak dalam meningkatkan kesadaran diri dan pengetahuan tentang diri sendiri. Dan kisah tentang tokoh sejarah seperti Sjahrir merupakan suatu contoh usaha semacam itu.

Buku ini, mengupas tuntas perjuangan seorang pahlawan yang sedemikian objektif, karenanya buku setebal 508 patut direkomendasikan dan dibaca pada sejarawan, akademis, mahasiswa dan siapa saja yang menaruh perhatian pada proses terbentuk republik ini. Dengan demikian, menjadi memoar yang tak terlupakan dari perjalanan putra terbaik bangsa Indonesia sepanjang masa.

*) Penulis adalah pengelola Pondok Budaya Ikon Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ad

Jejak Pengunjung

Mengenai Saya

Foto saya
saya adalah alumni pesantren desa yang jauh dari heruk pikuk informasi dan teknologi, jadi saya berkomitmen untuk memakmurkan pesantren dalam rangka memberdayakan masyarakat kecil

Labels