Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

MENGAPRESIASI KREATIFITAS SANTRI



Judul Buku : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Editor : Tsanin A Zuhairi, M.si
Penulis : Rizal Mumazziq Zionis, dkk.
Prolog : Prof. Dr. H.Nur Syam, M.Si
Epilog : Prof. Dr. Abd. A’la, MA
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya
Cetakan : I, 2009
Tebal : xii+224 hlm.
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*


Santri yang dulu sering disebut sebagai kelompok tradisioanal, dewasa ini sudah tidak relevan lagi. Santri sudah bermain-main dengan facebook, blog, dan dunia teknologi informasi lainnya. Bahkan santri banyak yang menjadi penulis, jadi kalau sekarang banyak santri yang menjadi penulis hakikatnya adalah bagian dari proses kreatifitas ditengah dunia kompetensi dalam berbagai bidang yang luar biasa.

Buku berjudul “Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis” adalah bukti santri yang menekuni dunia kreatifaitas menulis, dan menunjukkan pada dunia bahwa mereka juga bisa berbuat sesuatu, dengan menjadi penulis tidaklah gampang seperti yang dibayangkan. Buku ini, menggambarkan bagaimana beratnya seorang santri menulis, penuh dengan liku-liku. Betapa tidak, menjadi seorang penulis, harus meredam dan menahan keinginan untuk bersenang-senang bahkan sekedar untuk bersenda gurau dengan teman-teman santri lainnya.

Menjadi penulis memang bukan hanya iseng untuk mengisi waktu luang tapi butuh intensitas yang sangat tinggi dan membutuhkan pengorbanan yang luar biasa dari seorang penulis. Disamping itu juga, menyediakan waktu dalam proses menulis, karena menulis membutuhkan tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu ; Membaca, inspirasi, dan kemauan untuk menulis. Ada yang suka baca, tidak menemukan inspirasi, ada yang hanya mempunyai inspirasi tapi tidak ada kemauan untuk menulis atau sebaliknya, jadi ketiga-tiganya harus berjalan senada dan seirama.

Memang, kadang menjadi penulis bukan karena hobi atau bakat yang dimiliki seseorang, tapi karena ada faktor-faktor yang mendukung kreatifitas itu muncul. Pertama, faktor kebutuhan perut alias penulis kelaparan, sehingga menumbuhkan ide-ide dan mampu menghadang tantangan yang ada, dengan menjadi motivasi keronik tersebut, maka honorlah yang terbayang. Kedua, ideologi, karena semua penulis buku ini adalah alumni pesantren. Nuansa ke-pesantren-annya kental, yaitu paradigma yang khas ala pesantren yang tetap mempengaruhi gaya kepenulisan dan pola pikir dalam memanen ide-ide kreatifitas, dengan konsep al-muhafadzatu ala al-qadimi al-sholeh wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah.

Dalam buku setebal 224 ini, pembaca akan disuguhi curhat dari 13 penulis bagaimana ia memulai menulis, proses kreatifnya, dan setelah dimuat di berbagai media baik lokal maupun nasional. Membaca tulisan Suhaidi RB, pembaca akan tergelitik dengan menelusuri perjalanan mengukir kreatifitas. Ia merasa mendapat teror oleh seniornya dengan ucapan “jangan bermimpi, anda masih pemula sudah berani mengirim ke media besar (Nasioanal)”. Teror mental tersebut hampir saja membunuh semangat dan karakter kepenulisan yang sebelumnya bangkit, atau kisah Fathorrahman JM, yang honor pertamanya dimuat dimedia Nasional ludes di meja kantin, Karena di paksa jadi bos kecil oleh teman-teman santri lainnya. Ada yang lebih ngeri lagi dengan menghukum diri sendiri, dengan pegang ballpoint dan kertas meski ada ide atau tidak, tak pelak jika ide masih belum muncul-muncul, ia merubah posisi duduk dari mulai berbaring, terlentang, jongkok dan bahkan berdiri. Demikian seterusnya, hal ini dilakukan oleh ahmad khotib hingga akhirnya “hukuman” padanya berhasil menumbuhkan produktifitasnya. (hal. 155)

Kisah-kisah mengenaskan sekaligus mengesankan, juga dituturkan dengan kocak oleh Muhammadun, Mukhlis amrin yang selama ini terperanjab di Dunia sastra, menulis curhatnya dengan gaya prosais. Refleksi gado-gado ala Salman Rusydi Anwar dan Rizal Mumazziq Zionis juga terasa renyah dengan penekanan. “…..bahwa menjadi penulis adalah menjadi sosok yang belajar banyak hal”. Ada pula Ach. Syaiful a’la yang memilih lelaki sunyi seorang penulis, sekedar meniru kreatifitas tuhan, katanya.

Selain itu, ada juga pola adaptasi gaya tulisan penulis idola sebagaimana yang dilakukan Nur faishal yang kesemsem berat dengan gaya estetika essainya Goenawan Mohammad, maupun gaya detail mengalir ala Pramoedya Ananta Toer. Juga layak di baca bagaimana para perempuan yang terbiasa lebih intuitif-estetis dalam mengolah kata, mencoba melarutkan ide-idenya dalam bentuk cerpen maupun novel, sebagaimana yang dilakukakan oleh Azizah Hepni, Noviana Herliayanti, Ana FM, Hana al-Ihriyyah. Dengan membaca buku ini sampai penghabisan pun, seakan-akan dibawa pada dunia realitas bahwa kita lah pelakunya.

Yang jelas buku ini, membawa cita-rasa baru dalam kepenulisan yaitu menulis membutuhkan semacam perangsang yaitu kesabaran, kerja keras, komitmen, ketelatenan, keuletan dan kemauan untuk belajar. Dengan demikian, buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang berminat belajar menulis agar lebih mengenal pola lika-liku, bahkan jalan terjal sekalipun yang hendak dilewati, sehingga mudah dan mempersiapkan diri untuk membekali diri. Sedia payung sebelum hujan.

Ahkirnya, mengutip pernyataan D. Zawawi Imron di cover belakang buku ini “Pada era modern ini, anak-anak santri pun mengalami keresahan dengan kemelut sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Diantara mereka ada yang mencari denyut hidup dalam dunia penulisan”, lalu, Andakah yang mencari denyut nadi hidup di dunia kepenulisan berikutnya?.

Penulis adalah alumni Pondok Pesantren NASA, sekarang melanjutkan studi pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Read More “MENGAPRESIASI KREATIFITAS SANTRI”
ad

Jejak Pengunjung

Mengenai Saya

Foto saya
saya adalah alumni pesantren desa yang jauh dari heruk pikuk informasi dan teknologi, jadi saya berkomitmen untuk memakmurkan pesantren dalam rangka memberdayakan masyarakat kecil

Labels