Judul Buku : JEJAK SPRIRITUAL Kiai Jampes
Penulis : Murtadho Hadi
Penerbit : Pustaka Pesantren
Cetakan : I, 2008
Tebal : xii+76 hlm.
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*
“Kiai kerjanya kok cuman ngopi ngrokok-ngopi ngrokok. Kopi dan rokok kan haram !?”.
Begitu kira-kira kritik tajam yang terlontarkan dari seorang kiai berpandangan ekstrim tentang kopi dan rokok terhadap kiai ihsan. Lalu bagaimana reaksi kiai ihsan terhadap kritikan yang ditujukan pada dirinya. Akankah ia marah, beradu argumen dengan seribu dalil atau mengeluarkan celurit untuk berkelahi? Tidak, beliau hanya tersenyum seakan-akan tidak ada beban. Karena melayani hal demikian hanya bisa menimbulkan jidal ( poro padu dalam istilah jawa ). Dan begitu ada ksempatan yang memungkinkan malah beliau menyempatkan untuk menyusun risalah tentang “kopi dan rokok” dengan judul irsyadul Ikhwan fi Bayani Hukmi Qahwati Wa ad-Dukhan, syair-syair yang amat indah tentang kopi dan rokok.
Kitab sederhana itu hendak mengulas hukumnya “kopi dan rokok” dalam pandangan ulama dengan melakukan menelusuri perjalanan asal-usul tembakau sampai ke kampung-kampung terpencil Amerika, Meksiko, dan Afrika. Hal ini, yang ingin ditunjukkan oleh seorang sufi dari kediri bahwa perang sehat para ulama adalah sebuah wacana (karya) bukan justru berkoar-koar yang hanya sakitkan telinga dan seperti ini kearifan-arifan muncul yang hendak memakmurkan umat dengan hikmah dan Uswatun Hasanah.
Dan tradisi kopi ini sangat kuat dipulau jawa utamanya masyarakat Nganjuk, Tulungagung, Blitar dan bahkan belum ada yang menandingi dikota-kota lain indonesia. Kedai-kedai kopi pun menjadi laris manis dari pagi hingga malam hari sekalipun. Kita bisa bayangkan pemilik warung sekali ngadoni (menyeduh kopi) tiga puluh sampai empat puluh cangkir dalam sekali tuang. Tradisi yang kuat membuktikan bahwa keramaian tidak harus dikota besar yang notabene sibuk dengan aktivitas ekonomi dan dunia hedonis, tapi dibangun dari cangkruan dengan suasana keakraban antar elemen masyarakat.
Tidak heran, kalau hal semacam ini menelorkan gagasan cerdas, memberikan pencerahan pada masyarakat sekitar dengan segala topik pembicaraan mengalir bak air bening. Adalah kiai Ihsan jempes, tokoh karismatis yang dengan kretivitasnya melahirkan karya monomental, yakni siraj ath thalibin yang berarti “pelita para pencari” sarah dari kaya imam Ghazali “minhajul Abidin” .800 halaman, intelektualitas beliau bisa disejajarkan dengan ulama muslim dunia. Didalamnya memaparkan makna-makna lughat bukan dari pengertian yang tunggal, melainkan dalam menyusun redaksi hadist dia memaparkan perbedaan para perawinya.
Sebagai bukti lain bahwa beliau seorang arif yang produktif yang mampu melahirkan karya-karya layak menjadi rujukan bacaan dan referensi umat muslim sedunia adalah Tashrihul Ibarat ( kitab falak syarah Natijatul Miqatnya kiai Dahlan Semarang ) dan kitab Manahijul Imdad ( Syarah Irsyadul Ibadnya kiai Zainuddin dari India-Selatan, yakni kota Malaibari atau Malabar ) setebal 1000 halaman, sayangnya belum terbit.
Dalam buku ini, sebetulnya ingin mengungkapkan prisma pemikiran kiai Ihsan Jempes yang tertuang kitab Siraj at Thalibin dalam bentuk biografi singkat. Dan pemikiran tasawwuf seperti yang dilakukan oleh ulama terdahulu utama al Ghazali yang menjadi rujukan ulama sunni dibelahan dunia islam. seperti tentang kata “aqabah adalah jalan terjal pada sebuah tebing “yang harus dilalui oleh “salikin” ( penempuh jalan ) yang terbungkus dalam tujuh hal yakni petama jalan terjal didalam “Ilmu”maksudnya ilmu prioritas utama yang harus didahulukan, ibarat ilmu sebuah obor yang menyinari ruangan gelap bagi para pencari. kedua jalan terjal didalam “taubat” karena untuk mencapai suatu maqam, taubat merupakan yang harus dipertahankan dan menjadi asas setiap maqam dan ahwal yang harus dilalui para penempu jalan “suluk” dengan tingkatn permulaan (bidayah) dan pencapaian tertinggi menuju tuhan (hihayah).
ketiga Aqabatul-Awa’iq merupakan bisa dikatakan yang yang paling pokok dalam pembahasan sirat at thalibin adalah jalan yang harus ditempuh untuk menyingkirkan setiap rintangan dan penghalang. Imam ghazali menjelaskan bahwa yang dimaksud rintangn dan halangan adalah Dunia, mahkluk, setan dan hawa nafsu manusia. Keempat Aqabatul- Awaridh suatu jalan terjal ( mendaki ) yang harus dituntaskan “persoalaan yang menyibukkan” yang menganggu aktivitas lahir dan batinyang membuat tertatih-tatih dalam beribadah dan tidak cepat beranjak untuk melihat kegaiban alam malakut. Kelima Aqabqtul-Bawa’its yaitu jalan terjal dalam upaya menyingkirkan penghalang ( aghyar, sesuatu selainAllah ) dan dengan membangkitkan kerinduan pada Allah.
Keenam Aqabatul-qawadhil adalah upaya total seorang pejalan untuk mencapai kebersihan jiwa dan mencapai maqam “kemurnian”. Ketujuh Aqabatul-hamdi yang menjadi pemungkas dalam berta’abbud sehingga jalan terjal dalam maqam Syukur menjadi keharusan bagi seorang hamba dan bisa mencapai maqam arif. (hal, 39-45)
Buku setebal 76 halaman ini, merupakan kegelisan dan pesarannya sang penulis terhadap sosok kiai jempes yang lebih suka berdakwah ditempat yang tak terjangkau oleh kendaran dan tempat yang sederhana bahkan di musholla kecil lembah sungai Gajah Wong.dan bagaimana lika-liku menjadi sosok sufi yang disegani hingga melahir karya monomental.meskipun buku ini, risalah kecil hasil diskusi diwarung kopi bisa menambah refensi dunia tasawwuf kita. Meskipun perlu penyempurnaan referensi kuat dari sang penulis tapi tetap patut diapresiasi karena jarang orang menyingkap tokoh yang telah memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman keagamaan yang kita yakini.
Dengan demikian, prinsipnya manusia diciptakan untuk mengabdikan dirinya pada tuhan, namun pengabdiantidak semulus yang dibayangkan, banyak kerikil yang menghalangi manusia sampai padanya. Oleh karena itu, manusia perlu mengasah hatinyadengan selalu berdzikir dan bertaqarrub padanya.dimensi terpenting pergulatan spritual hamba mencapai insan kamil dan menjadi tujuan hakiki.
*) Alumni PP. Ibrahimy Gapura Sumenep dan Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya